Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Ciuman Balas Dendam

Kebencian, jika didiamkan, akan mengendap dan menjadi dingin. Tapi kebencian Kayana Setiawan, yang terus diprovokasi oleh keberanian Naruga Indra, justru mendidih. Ia merasa jijik dan terhina. Seorang Naruga, si anak miskin yang berbau mie ayam dan kecerdasan murahan, berani membalikkan keadaan. Kayana bahkan membuang papan nama Donatur No. 15 demi mainannya itu, karena Ruga tidak mau menuruti perkataan Kayana untuk melawan Bayu sendiri. Keangkuhan Kayana tergores parah. Ini bukan sekadar masalah harga diri, ini adalah ancaman bagi seluruh identitasnya.

Di matanya, Ruga harusnya menunduk, menerima, dan menjauh. Itulah takdir si miskin. Tetapi Ruga tidak melakukannya. Ruga justru menatapnya dengan senyum remeh, seolah mengatakan, 'Lo kaya, tapi lo gak bisa beli gue.' Itu adalah penghinaan terbesar bagi Kayana, yang seluruh hidupnya dibangun di atas premis bahwa segalanya bisa dibeli. Baginya, uang adalah kekuatan, perlindungan, dan validasi. Ruga menolak semua itu.

"Gue gak terima," desis Kayana pada Stella, saat mereka berada di ruang klub Kayana yang mewah. Ruangan itu, dengan sofa beludru dan meja marmer, adalah simbol kekuasaannya. Stella mengangguk patuh. Stella adalah bayangannya, selalu ada untuk mendukung dan melindunginya. Tapi kali ini, Kayana merasa Stella tidak sepenuhnya mengerti.

"Kita harus kasih dia pelajaran yang bikin dia tahu diri, Kay. Yang benar-benar bikin dia kabur dari sini. Bukan cuma nendang tas atau nyiram kopi," usul Fariz, yang ironisnya sudah mulai ketakutan Ruga akan membocorkan rahasia joki tugasnya. Fariz adalah antek yang oportunis, selalu mencari keuntungan dalam setiap situasi. Kayana tahu itu, tapi ia membutuhkan Fariz untuk menjaga status sosialnya.

Kayana memikirkan Ayahnya, yang selalu memandangnya rendah. Ia memikirkan Mama Tiri, si guru kontrak yang tersenyum palsu. Semua pengkhianatan itu terakumulasi dan mencari pelampiasan. Ruga adalah pelampiasan yang sempurna. Ia adalah representasi dari semua yang ia benci: kemiskinan, ketidakadilan, dan kelemahan.

"Air comberan," putus Kayana, suaranya mengandung kebekuan yang mematikan. "Kita siram dia pake air comberan dari lantai dua. Biar dia tahu rasanya jadi kotoran di sekolah ini. Dan biar dia sadar, dia gak pantes berdiri di lantai yang sama dengan gue." Ia membayangkan Ruga basah kuyup, malu, dan putus asa. Itu akan menjadi pemandangan yang memuaskan.

Naruga, di sisi lain, merasakan gejolak aneh di dadanya. Perasaan ini bukan lagi sekadar benci. Kayana adalah magnet yang menarik, musuh yang begitu rapuh tapi cantik. Setelah Kayana mencabut papan nama Bayu dan membelanya, Ruga tahu Kayana tidak sepenuhnya jahat.

Apalagi dengan pembahasan Naruga kemarin soal pemuasan hasrat seksual, gadis itu terlihat seperti akan menangis, suaranya bergetar marah, seperti gadis suci yang lugu. Jauh dari kesan liar dan angkuh yang selama ini ditunjukkan ke publik.

Dia hanya ketakutan, dan pride-nya melarangnya menunjukkan ketakutan itu. Ia melihat kelemahan di balik topeng es Kayana. Dia butuh seseorang untuk menembus benteng esnya.

'Dan sialnya, orang itu harusnya bukan gue.' Batin Ruga.

Ia merasa terjebak dalam permainan yang rumit dan berbahaya. Tapi ia tidak bisa mundur. Pride-nya terlalu besar untuk itu.

Ruga sedang menuju loker, membawa tumpukan buku tebal, hasil joki tugas Filsafat untuk anak kelas 3 SMA. Ia berjalan melintasi area inner court yang sepi, di lantai dua gedung akademik yang elegan. Ia merasa lelah dan jenuh. Pekerjaan joki tugas ini membuatnya kaya secara finansial, tetapi miskin secara spiritual.

Saat ia berjalan, telinga Ruga yang terlatih oleh kebisingan ruko dan kejelian analisanya, menangkap suara aneh dari atas. Suara bisik-bisik yang tertahan dan suara berat benda diseret. Ia merasakan bahaya, seperti insting hewan yang mencium predator.

Air comberan? Basi banget. Ruga langsung tahu itu adalah jebakan. Ia menengok, matanya yang tajam menembus bayangan sore. Di balkon, ia melihat Stella dan Fariz. Stella memegang gagang ember logam besar, dan Fariz sudah siap menangkap Ruga di ujung tangga menuju bawah.

Sialan. Ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri, pada pride-nya yang tinggi, bahwa ia tidak akan pernah tunduk pada arogansi siapa pun. Jika ia lari, Kayana menang. Jika ia diam dan tersiram, Kayana juga menang. Ruga harus menciptakan skenario di mana ia yang memegang kendali. Ia harus memutar balikkan keadaan, mengubah jebakan menjadi keuntungan.

Tanpa berpikir panjang, Ruga memacu langkahnya. Bukan ke depan atau ke belakang untuk menghindari siraman. Ia berbelok tajam ke tengah balkon, percis dimana dia dapat melihat lobby lantai 1 dengan papan nama Donatur. Ia berlari. Ia kurus dan tinggi, tetapi ia lincah. Ia adalah genetik yang diciptakan untuk survival. Ia berlari dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa.

Di bawah balkon muncul siluet yang bisa di tebak. Kayana dengan seringai tipis, penuh kemenangan, sudah terpahat di wajah juteknya. Ruga merasa muak melihat wajah Kayana yang penuh kebencian.

Kayana melihat Ruga berlari, dan tertawa. "Stella, dia lari! Dasar pengecut!" Ia senang melihat Ruga ketakutan dan melarikan diri. Ia merasa menang.

Tapi Ruga tidak lari. Ia memiliki rencana yang lebih gila.

Ruga tahu ia tidak akan punya waktu untuk menangkis atau berteriak. Ia harus bertindak cepat dan tegas.

Seketika, insting gila Ruga muncul, insting yang hanya dimiliki oleh orang jenius yang terdesak. Ruga melihat Kayana berdiri tepat di bawah balkon, sedang menunggu Stella dan Fariz menuangkan air bau itu, bersiap untuk menonton sandiwara opera yang menarik.

Ruga menyadari bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Memandang wajah Kayana yang tampak tertawa jahat seperti villain di film-film disney. Menunggu momen Stella mengambil ancang-ancang dengan di bantu Fariz, menuangkan air itu.

Air comberan? Atau ini? Otak Ruga memproses informasi dengan kecepatan kilat. Ia menghitung jarak, sudut, dan momentum. Ia menganalisis risiko dan potensi keuntungan. Ia mengambil keputusan dalam sepersekian detik.

Ruga melompat. Ia melompati pagar balkon lantai dua. Ia merasa seperti burung yang terbang bebas.

Ini adalah keputusan yang sangat gila, bahkan untuk ukuran Ruga. Ia membayangkan rasa sakit tulang yang patah, hantaman ubin marmer, dan teriakan ngeri. Ia membayangkan konsekuensi dari tindakannya. Tapi ia tidak peduli. Ia harus melakukan ini.

Tapi ia tidak mendarat di lantai. Ia melompat bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menimpa targetnya. Ia melompat untuk mengubah jalannya takdir.

Kayana, terkejut melihat bayangan gelap melayang ke arahnya. Ia hanya bisa berteriak pelan. Ia tidak punya waktu untuk bereaksi.

Bruk!

Ruga mendarat. Ia mendarat di atas tubuh yang lebih kecil dan lebih empuk dari yang ia bayangkan. Tubuh Kayana. Ia merasakan tubuh Kayana yang bergetar ketakutan.

Gagasan fisika-nya benar: momentum vertikalnya berkurang drastis karena landing di atas Kayana. Air comberan itu terbuang ke arah lain, membasahi Stella dan Fariz yang berdiri di dekatnya. Mereka berteriak jijik dan panik.

Kayana dan Ruga sama-sama terpelanting ke lantai. Tumpukan buku Ruga yang tebal berserakan. Mereka berdua merasa sakit dan bingung.

Dan kemudian, momennya. Ciuman Tak Terduga.

Saat mereka terpelanting, karena momentum dan sudut jatuh yang gila, bibir Ruga yang hangat dan terkejut, menimpa bibir Kayana yang dingin dan keras. Hanya sekejap, tetapi cukup untuk menghentikan waktu dan logika. Ciuman itu terasa seperti sengatan listrik, mengejutkan dan membingungkan.

Kayana terlihat takut, ujung matanya terlihat mengeluarkan air mata. Perempuan itu akan menangis. Ruga dalam momen itu, merasa menang. Dirinya menatap dalam dua mata gadis di bawahnya, seolah meminta ampun pada badan Ruga yang menghimpit bibirnya.

Ide gila Naruga lagi-lagi muncul. Smirk khas menyebalkan terpancar di sela bibir miliknya yang masih menghimpit bibir gadis di bawahnya.

Ruga belum pernah melakukan ini sebelumnya, namun di beberapa jurnal yang pernah ia baca, lengkap dengan beberapa film yang pernah ditonton, ini adalah momen yang tepat. Dengan perlahan, Ruga memagut bibir mungil dibawahnya. Membuka jalur untuk bertemu kangen dengan isi yang terkandung dalam bibir perempuan di bawahnya.

Ruga sedikit tertawa dalam kegiatan itu, bahkan suara itu agak keras tertahan dengan bibir yang saling terkunci. Kayana merasa jijik, tetapi perempuan itu malah membuka mulutnya untuk mempersilahkan bibir asing itu masuk. Melakukan hal yang berseberangan daripada instingnya. Lidah yang sedikit menari sebentar di dalam rongga mulut. Bukan bau sampah. Lelaki ini memiliki bau mulut menggoda seperti permen kopi terkenal.

Kayana menggenggam erat seragam sekolah milik Naruga dengan kedua tangan, masih dengan badan yang gemetar. Setelah tarikan bibir bawah yang terakhir kali, Ruga melepas pagutan itu paksa. Padahal dengan jelas kegiatan itu masih belum usai dinikmati oleh wanita dibawahnya. Mempertegas bahwa kendali ada di tangan Ruga. Bunyi keciplak lumayan nyaring terdengar dari kegiatan barusan.

Ruga segera bangkit, shock-nya lebih besar daripada rasa sakit di pinggulnya. Otak jeniusnya tidak memprediksi ia akan terbawa suasana. Wajahnya yang putih mendadak memerah. Ia merasa malu dan bersalah.

Kayana terbaring di lantai, matanya terbelalak seperti piringan hitam, syok yang luar biasa terpancar dari pupilnya. Kayana megap-megap, bagian bawah rahangnya serta bibirnya bergerak tak karuan, seperti menahan tangis. Ia menyentuh bibirnya dengan tangan gemetar. Ia merasa kotor dan ternodai.

"LO NGAPAIN NYIUM GUE RUGA!" teriak Kayana, suaranya pecah antara amarah dan ketidakpercayaan. Seluruh pride-nya hancur. Ciuman pertamanya! Dan itu dari si miskin jenius yang ia benci! Ini adalah penghinaan terburuk yang bisa ia bayangkan.

Ruga, untuk pertama kalinya, kehilangan kata-kata. Ia merapikan kacamatanya, mencoba mengembalikan pride-nya yang sempat hilang. Ia merasa bodoh dan tidak berdaya.

"G-gue nggak sengaja!" seru Ruga, berusaha terdengar meyakinkan padahal jantungnya berdebar brutal. "Lo, lo yang berdiri di situ! Lo yang salah! Lagian ngapain lo berdiri diam disitu, disaat lo lihat gue mau loncat!" Ia mencoba menyalahkan Kayana untuk menutupi rasa malunya.

Stella dan Fariz, yang basah kuyup oleh air comberan yang seharusnya menyiram Ruga, turun dengan panik. Mereka menatap Kayana dan Ruga bergantian. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Kay, lo... lo ciuman sama dia?" tanya Stella, wajahnya jijik. Ia merasa kasihan pada Kayana, tetapi juga merasa geli dengan situasi itu.

Kayana melompat berdiri. Ia menatap Ruga dengan mata penuh api dan air mata yang ditahan. Penghinaan ini terlalu besar. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi.

"Gue sumpahin lo mati, Ruga! Lo udah ngerusak kesucian gue! Gue belum pernah— Lo miskin, tapi berani banget!" Gengsinya kembali menyeruak, lebih keras dari sebelumnya, menutupi kebingungannya.

Kayana ingin muntah, bukan karena air comberan, tetapi karena kontak fisik yang intim dengan orang yang ia benci. Badan gue kotor, menjijikkan. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri.

Ruga berjalan mendekat. Ia menatap Kayana lurus di mata, mencoba mencari celah, dan ia menemukannya: di balik amarah, ada ketakutan yang mendalam. Ia melihat Kayana yang rapuh dan terluka.

"Oh, come on, Kaya. Kesucian lo? Gue belum nidurin lo," Ruga menyindir, nada suaranya kembali dingin dan menantang. "Lo pikir lo putri raja yang bibirnya terbuat dari emas? Jangan lebay. Kalo lo ngerasa jijik, bagus. Berarti fair. Lo mau nyiram gue pake air comberan, gue 'balas' pake ini." Ruga menunjuk bibirnya. "Anggap aja itu harga joki lo yang gak pernah lo bayar. Dan lo nggak bisa bully gue saat sesi belajar. Ingat, I'm the one who controls the game." Ia ingin Kayana tahu bahwa ia tidak bisa dikendalikan.

Kayana terdiam, lidahnya kelu. Ruga, si pengecut yang dikiranya hanya bisa menghindar, ternyata memilih serangan balik yang paling tak terduga dan paling intim. Ia telah merusak kontrol Kayana sepenuhnya. Ia merasa kalah.

Insiden "Lompatan Maut dan Ciuman Tak Terduga" itu sontak menyebar di seluruh SMA Melody, meskipun pihak sekolah berusaha menutupinya. Ruga mengalami keseleo ringan di pergelangan kaki, dan Kayana mengalami sedikit benturan di kepala dan trauma emosional yang jauh lebih parah. Keduanya berakhir di Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Gosip itu menjadi bahan pembicaraan di seluruh sekolah, dari siswa hingga guru.

UKS Melody mewah, seperti ruang rawat VVIP. Ruga duduk di ranjang sebelah Kayana. Ada tirai pemisah, tetapi suasananya sangat canggung dan hening. Mereka berdua merasa tidak nyaman dan malu.

"Lo... kenapa lo nggak lari aja, Ruga?" tanya Kayana dari balik tirai, suaranya lebih pelan, lebih rapuh. Ia ingin tahu apa yang ada di pikiran Ruga.

Ruga mengoleskan pain reliever ke pergelangan kakinya. "Gue? Lari? Sorry, di kamus gue cuma ada lari pagi. Gue nggak akan biarin pride gue diinjak-injak sama siapa pun. Apalagi sama pembully cantik kayak lo." Ia mencoba mencairkan suasana, meskipun ia sendiri merasa tidak nyaman.

Kayana mendengus. "Gue nggak bully lo. Gue cuma ngasih lo pelajaran." Ia masih berusaha mempertahankan harga dirinya.

"Pelajaran apa? Pelajaran bahwa lo nggak sekuat yang lo kira?" balas Ruga tajam. "Lo selalu benci gue karena gue miskin, kan? Lo pikir orang miskin itu lemah, cengeng, gampang disuruh-suruh. Tapi sayangnya, gue nggak kayak gitu. Lo coba hancurkan gue, gue balas." Ia ingin Kayana tahu bahwa ia tidak takut padanya.

"Gue bisa terima kalau lo gak sengaja terjatuh nubruk gue, tapi tadi lo melakukan sesuatu yang salah. Itu—first kiss gue." Kayana dengan suara yang agak serak menahan air mata untuk jatuh lebih banyak. Gadis itu mengelap kasar bulir yang terpaksa jatuh tanpa permisi.

"Lo mau tahu? Dari tadi gue cuma bisa mikir, Kayana Setiawan, si Ratu Es, ternyata rapuh banget. Satu sentuhan fisik aja bisa bikin lo teriak kayak anak kecil. Bahkan sekarang lo nangis cuma karena satu ciuman doang." Ucapan Ruga menusuk. Kayana terdiam. Ia menggigit bibirnya, mengingat ciuman singkat itu. Sensasi itu, meskipun menjijikkan karena datang dari Ruga, terasa... nyata.

Ruga tidak sepenuhnya salah, Kayana sempat lengah dengan membiarkan bibir seksi Ruga dengan belahan di tengah tepat bawah pria itu masuk. Bahkan Kayana sempat membalas pagutan lidah mereka. Walaupun sangat terasa, Ruga bukan pencium yang handal. Karena banyak saliva menetes di ujung bibir mereka. Memberikan kesan newbie.

Kontak fisik tulus terakhir yang ia ingat adalah saat ibunya memeluknya sebelum Ibunya mulai sering masuk RSJ. Sejak itu, semua sentuhan Ayahnya terasa seperti pukulan, dan sentuhan orang lain terasa penuh pamrih. Ia merasa hampa dan kesepian.

"Jangan sok tahu tentang gue!" Kayana akhirnya berseru. "Lo nggak tahu apa-apa tentang hidup gue!" Ia merasa marah dan terluka.

"Oh, gue tahu banyak," Ruga berbisik, nadanya berubah serius. "Gue tahu lo benci orang miskin karena bokap lo cerai demi guru kontrak miskin. Gue tahu lo benci semua kemunafikan. Dan gue tahu... lo cuma mau dilindungi." Ia mengungkapkan apa yang ia lihat di balik topeng Kayana.

Keheningan kembali datang. Ruga baru saja mengucapkan hal yang paling menyentuh kelemahan Kayana. Ia merasa bersalah karena telah menyentuh luka Kayana.

"Dan gue cuma mau bilang, kalau lo mau gue diam, lo harus tunjukin kenapa lo sebegitu bencinya sama gue. Jangan cuma bully gue kayak anak SD. Be professional, Kaya. Kalo lo mau gue jadi musuh lo, jadilah musuh yang setara." Ruga memberikan tantangan baru, lebih berbahaya dari sekadar berkelahi. Ia ingin Kayana memperlakukannya dengan hormat.

Kayana akhirnya menarik tirai. Matanya masih merah karena menangis, tetapi tatapannya sudah kembali dingin. Ia menatap Ruga. Ia merasa tertarik dan terancam oleh Ruga. Ruga melihat dengan jelas jejak air mata di pipi Kayana yang masih basah.

"Apa yang lo mau, Ruga? Uang? Gue bisa bayar lo untuk keluar dari sekolah ini, jauh-jauh dari hidup gue." Ia menawarkan uang sebagai solusi.

"Gue nggak mau uang. Gue mau lo mengakui gue," balas Ruga, matanya berkilat menantang. "Gue mau lo akui, lo butuh gue. Karena gue pinter. Dan lo, lo butuh nilai Sejarah, Kimia, sama Fisika yang ancur itu buat nutupin kelemahan lo dari bokap lo. Lo butuh joki dan guru les terbaik di sini, dan orang itu... ya gue." Ia ingin Kayana mengakui keunggulannya.

Kayana mengepalkan tangan di balik selimut. Ia tertekan oleh Ayahnya, yang menuntut kesempurnaan di Yayasan. Ia tertekan oleh Mama Tiri, yang selalu mengincar posisinya. Ruga benar. Ia butuh Ruga, si jenius. Dan ketergantungan ini membuat Kayana jijik pada dirinya sendiri. Ia merasa lemah dan tidak berdaya.

"Oke," Kayana berbisik, mengalahkan gengsinya dengan susah payah. "Gue butuh lo. Tapi jangan harap lo bisa menang. Lo cuma alat, Ruga. Alat yang gue bayar." Ia mencoba mempertahankan kontrol.

"Deal," Ruga tersenyum puas. Ia tahu ini lebih dari sekadar alat. Ini adalah izin masuk ke benteng es Kayana. Ia merasa menang.

"Tapi ada satu syarat," tambah Kayana. "Lo harus treat gue. Kalo nilai gue bagus di Sejarah, treat gue kencan." Ia memberikan syarat yang aneh dan tidak terduga.

Ruga terkejut. "Kencan? Seriously? Lo gak jijik sama gue?" Ia merasa bingung dan penasaran.

"Gue benci lo," Kayana meralat cepat, wajahnya memerah samar. " Gue hanya mau merasakan jadi remaja biasa. Tapi kencan lo harus normal. Nonton film Marvel, junk food. Kayak anak SMA normal. Dan lo yang bayar junk food-nya, at least itu yang lo bisa." Kayana menantangnya. Ia ingin Ruga tahu bahwa Ruga hanya bisa memberikan hal yang murah, tetapi ia juga ingin tahu bagaimana rasanya menjadi remaja normal, jauh dari tekanan harta dan warisan. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan.

Ruga tertawa. "Deal! I'll treat you the most awkward date ever. Sekarang, lo harus istirahat. Nanti malem, kita mulai les privat Sejarah di tempat lo. No more bullying, only studying. Kalo lo gagal, gue yang akan bully lo." Ia menerima tantangan Kayana.

"Dan, lo harus janji sesuatu Ruga."

"Ya?" Ruga menatap gadis itu yang melirik ke lantai. Sedikit meremas roknya.

"Lo boleh bully gue kalau nilai gue gagal atau gue melakukan yang nggak sesuai kesepakatan kita saat sesi pelajaran. Apapun hukumannya gue terima, asalkan jangan kontak fisik. Seperti tadi."

"Lo takut, Kaya?" Ruga lagi-lagi tersenyum senang. Ada kebanggaan tersendiri saat membuat Ratu Es pembully ini takut. Walaupun menurut Ruga, yang tadi itu lumayan. Nikmat.

"Gue nggak perlu menjawab itu." Kayana masih menatap marmer yang dingin.

"Untuk hal itu gue gak bisa janji, Kaya. Karena itu adalah satu-satunya hal yang lo takutin. Kontak fisik. Dan itu akan jadi salah satu hukuman lo nanti. Hukuman terburuk dan menjijikan."

Ruga mengambil dagu Kayana yang masih tertunduk, matanya menatap dengan senyuman sinis dan ide gila.

"Lo harus akui Kaya, ciuman yang tadi itu lumayan enak. Karena lo juga membalas. Jangan munafik."

Kayana mengangguk, "Tapi cukup sampai situ aja. Gue gak mau hamil."

Ruga menyemburkan sedikit teh hangat yang barusan ia minum. Menaruh kembali cangkir kecil itu sambil melirik heran. Gadis ini pura-pura polos? Ini Ratu Es yang selalu dingin dan sadis itu?

"Sepertinya pelajaran Biologi lo juga jelek ya, Kayana? Ciuman gak bisa bikin lo hamil. Sama seperti rokok lo yang gak langsung bisa bikin lo mati."

Kayana mendelik protes, "Gue nggak pernah ngerokok, Ruga."

Ruga mengangguk kecil, dirinya hanya mengkonfirmasi informasi malam itu dari pak Wira yang mengatakan Kayana di TKP karena sedang merokok di rooftop. Berarti kepala Sekolah itu. Pembohong.

Tatapan kebencian di matanya belum hilang, tetapi kini diselingi oleh percikan rasa ingin tahu satu sama lain.

Di luar, Stella dan Fariz mendengar percakapan itu, shock. Si Ratu Es Kayana baru saja berjanji untuk kencan dengan si miskin Ruga, dan menjadikan Ruga guru privatnya.

SMA Melody baru saja mendapatkan sepasang musuh yang paling membingungkan sekaligus paling menarik.

Rivalitas mereka, kini berbau romance remaja yang canggung dan penuh pride. Ruga tahu, permainan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ia akan menggunakan kedekatan ini untuk mengungkap kebenaran di balik insiden Pangeran.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel