6. Pembully Yang Dilindungi Oleh Terbully
Pagi hari di SMA Melody, bagi Kayana Setiawan, terasa seperti memasuki arena gladiator. Udara, yang biasanya beraroma parfum desainer dan obsesi akan kesuksesan, kini terasa menyesakkan dengan ketegangan yang tak terucapkan. Analisis tajam Naruga Indra tentang luka batinnya, dan pengakuan pahit akan ketergantungannya pada kecerdasan si joki, masih terngiang di benaknya, seperti gema di ruang hampa.
Pikirannya bergejolak: ketakutan yang melumpuhkan terhadap dominasi Ayahnya, rasa bersalah yang tak terhapuskan atas penderitaan Ibunya, dan realitas yang mengerikan bahwa Ruga, si musuh bebuyutan yang selalu ia pandang sebelah mata, kini memegang kunci—kunci yang bisa membuka gerbang menuju kebebasan atau menjerumuskannya ke jurang kehancuran.
Kayana berjalan cepat menyusuri koridor, berusaha keras memancarkan aura dingin dan acuh tak acuh yang telah menjadi perisai pelindungnya selama bertahun-tahun. Setiap langkahnya di atas lantai marmer yang mengkilap terasa berat, seolah ia memikul beban seluruh yayasan di pundaknya. Ia mencoba mengabaikan bisikan-bisikan sinis dan tatapan meremehkan yang selalu mengikutinya, tetapi hari ini, mereka terasa lebih menusuk, seolah semua orang tahu tentang kelemahan yang berusaha ia sembunyikan. Ia merasa seperti seorang ratu yang kehilangan mahkotanya, berjalan di antara rakyatnya yang siap memberontak.
Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba. Di hadapannya, berdiri dua sosok yang paling ia benci, dua orang yang mewakili segala sesuatu yang salah dalam hidupnya: Kepala Sekolah Wira dan Mama Tiri-nya, Prita. Prita, yang dulunya hanyalah seorang guru kontrak yang tidak penting, kini menduduki posisi 'Istri Baru' Ayahnya, sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan.
Mama Tiri, yang bernama Prita, menyunggingkan senyum manis yang berlebihan, senyum yang selalu membuat Kayana mual. Senyum itu terasa palsu, seperti topeng yang menyembunyikan niat jahat. Prita mengenakan pakaian desainer yang jelas dibeli dengan uang yayasan, simbol kekuasaan dan hak istimewa yang baru ia peroleh. Kepala Sekolah Wira berdiri di sampingnya, memasang ekspresi serius dan penuh perhitungan, seperti seorang algojo yang siap melaksanakan perintah.
"Kayana, kami perlu bicara," kata Wira, suaranya berat dan otoritatif, seperti palu hakim yang mengetuk meja untuk menjatuhkan vonis. Matanya yang dingin dan menusuk menatap Kayana dengan intensitas yang menakutkan, membuatnya merasa seperti serangga yang sedang diamati di bawah mikroskop.
Dengan perasaan berat, Kayana mengikuti mereka ke ruang kerja Kepala Sekolah Wira yang mewah. Ruangan itu, dengan perabotan antik yang mahal dan pemandangan kota yang luas dari jendela setinggi langit-langit, terasa seperti penjara yang dilapisi emas. Kayana duduk di kursi yang terasa kaku dan tidak nyaman, merasa seperti sedang diinterogasi.
Ruga, yang kebetulan lewat di koridor, melihat sekilas pemandangan itu. Ia melihat ketegasan palsu di wajah Wira dan senyum licik yang terpancar dari Prita. Instingnya berteriak bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia teringat akan rekaman suara dan file yang ia curi tadi malam, bukti-bukti yang memberatkan mereka dan mengungkap konspirasi yang mengerikan. Ia tahu, Kayana sedang dalam bahaya.
Di dalam ruangan, Prita duduk di samping Kayana, meletakkan tangannya di bahunya dengan gerakan yang terasa canggung dan tidak tulus. Sentuhan itu membuat Kayana merinding, seolah ada laba-laba yang merayap di kulitnya.
"Kayana, Prita mengandung," kata Wira, memecah kesunyian dengan kata-kata yang menghantam Kayana seperti sambaran petir. "Dia akan melahirkan penerus Ayahmu. Calon pewaris. Tentu saja, Pangeran Setiawan, meskipun masih koma, tetaplah anak dari Ayahmu."
Kayana memucat. Anak baru. Ancaman baru. Ayahnya semakin menjauhkannya dari warisan yang seharusnya menjadi miliknya dan Ibunya, warisan yang seharusnya menjadi jaminan masa depan mereka. Ia merasa dikhianati, tidak berdaya, dan sendirian.
"Lalu?" tanya Kayana, berusaha keras agar suaranya tidak bergetar. Ia mencoba menyembunyikan rasa sakit dan ketakutan yang melandanya.
Prita mencondongkan tubuh ke arah Kayana, senyumnya semakin lebar dan menakutkan. "Sayang, kamu harus mengerti. Ayahmu semakin tua. Perusahaan membutuhkan stabilitas. Pangeran memang masih terdaftar sebagai pewaris utama, tetapi jika sesuatu terjadi padanya, Ayahmu harus yakin bahwa kamu, sebagai anak perempuan satu-satunya, akan mendukung kami."
"Aku tidak akan mendukung kalian!" teriak Kayana, suaranya pecah oleh emosi yang meluap-luap. "Aku hanya mendukung Ibuku! Warisan itu milik Ibu!"
Wira tersenyum sinis, senyum yang sama yang ia berikan kepada Ruga saat menawarkan kesepakatan iblis, senyum yang membuat Kayana merinding dan merasa jijik. "Sayangnya, Kayana, Ibumu saat ini berada di rumah sakit jiwa. Dan kami memiliki kendali atasnya. Kami bisa memastikan bahwa dia tidak akan pernah keluar. Kami juga tahu tentangmu, Kayana. Nilai-nilaimu di Sejarah yang terus menurun, ketidakmampuanmu untuk mengelola yayasan, dan oh, tentang teman barumu, Naruga Indra."
Prita mendekat, suaranya berbisik seperti ular yang merayu mangsanya. "Kami mendengar bahwa dia sering mengantarmu pulang, bahwa dia adalah guru pribadimu. Seorang anak miskin yang licik. Jangan biarkan mainan murahanmu itu merusak reputasi dan masa depanmu, Kayana. Jika kamu tidak setuju dengan kami, kami akan memastikan beasiswa Ruga dicabut, dan... kami akan memastikan bahwa Ibumu tidak akan pernah menerima kunjungan atau obat-obatan lagi."
Ancaman itu menghantam Kayana seperti gelombang pasang, menenggelamkannya dalam lautan keputusasaan dan ketakutan. Ibunya. Mereka menggunakan Ibunya sebagai senjata, satu-satunya orang yang benar-benar ia cintai di dunia ini. Kayana merasa dunianya runtuh di sekelilingnya, hancur berkeping-keping menjadi debu dan abu. Selama ini ia berjuang, tetapi kini ia merasa tidak berdaya, seperti boneka yang dikendalikan oleh tali yang tak terlihat. Ia hanyalah seorang gadis muda yang dibebani oleh warisan berdarah, seorang bidak dalam permainan kekuasaan yang kejam dan tidak adil.
Air mata yang telah lama ia tahan, membendung di matanya selama bertahun-tahun, akhirnya pecah, mengalir deras membasahi pipinya. Ia menundukkan kepalanya, bahunya bergetar hebat saat ia mencoba menahan isak tangisnya. Ia hancur, patah, dan sendirian.
"Tolong jangan sakiti ibu. Kenapa kalian begitu kejam?" bisik Kayana di antara isak tangisnya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Wira hanya tersenyum sinis, tanpa menunjukkan penyesalan sedikit pun. "Ini bukan kekejaman, Kayana. Ini bisnis. Kami hanya ingin yang terbaik untuk Ayahmu dan yayasan. Kamu hanya perlu patuh."
Di luar ruangan, Ruga tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Ia mendengar suara Kayana yang bergetar dan isak tangisnya yang tertahan. Ia teringat akan data yang ia curi, bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ibunya Kayana berada dalam bahaya, bahwa Kayana sedang diancam dan diperas.
Cukup! Pride Ruga yang membara, dan naluri protektif yang selama ini ia sembunyikan di balik lapisan sarkasme dan sinisme, meledak dalam dirinya. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan bersabar. Ini bukan lagi sekadar permainan joki tugas, ini adalah tentang menyelamatkan seseorang yang ia benci, tetapi yang entah bagaimana, telah berhasil mencuri hatinya.
Tanpa ragu sedikit pun, Ruga mendorong pintu ruang kerja Kepala Sekolah Wira hingga terbuka lebar.
Brak!
Kayana, Wira, dan Prita tersentak kaget. Kayana mengangkat kepalanya, matanya yang sembab dan merah bertemu dengan tatapan tajam dan penuh tekad Ruga.
"Maafkan saya, Pak Wira, tetapi pertemuan Anda harus dihentikan," kata Ruga, suaranya tenang tetapi penuh dengan otoritas yang aneh, seperti seorang raja yang memasuki istananya. Ia berjalan cepat menuju Kayana, mengabaikan tatapan marah dan terkejut dari Wira dan Prita.
Prita berdiri, terkejut dan marah. "Siapa kamu?! Beraninya kamu!"
"Saya Naruga Indra," jawab Ruga, matanya menatap Prita dari ujung rambut hingga ujung kaki, menilai dan meremehkan. "Dan Anda tidak berhak membentak pacarku!"
Kayana, Wira, dan Prita sama-sama terperangah. Kata-kata itu menggantung di udara, seperti bom yang siap meledak.
"Pacar?" Wira tertawa sinis, meremehkan. "Kayana, kamu berpacaran dengan anak miskin ini? Ya Tuhan, kamu benar-benar merusak reputasimu!"
Ruga mengabaikan Wira, fokusnya hanya pada Kayana. Ia meraih tangan Kayana dan menariknya berdiri. Kayana, yang masih menangis, membiarkan dirinya ditarik, seolah ia telah menemukan jangkar di tengah badai. Ruga kemudian berbalik menghadap Prita, suaranya berubah menjadi ancaman yang dingin dan menusuk.
"Dengarkan baik-baik, Nyonya Prita yang terhormat," kata Ruga, setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti pisau yang menusuk jantung. "Saya tahu semua trik licik Anda. Saya tahu bahwa Ayah Kayana tidak akan senang mengetahui bahwa Anda menggunakan uang yayasan untuk 'berbelanja online'. Saya tahu bahwa Anda tidak lebih dari seorang guru kontrak yang miskin dan serakah. Dan saya tidak akan membiarkan Anda menyentuh Kayana lagi. Kayana tidak lemah, dia hanya membutuhkan seseorang untuk bersandar, dan sandarannya... adalah saya!"
"Dasar kurang ajar!" teriak Prita, wajahnya memerah karena amarah.
"Saya kurang ajar? Anda yang kurang ajar, berani-beraninya menyentuh Ibu Kayana!" balas Ruga dengan nada yang sama kerasnya. "Jika Anda menyentuh Kayana lagi, atau berani menyentuh Ibunya, saya pastikan hidup Anda hancur! Saya pintar, Nyonya. Jangan main-main dengan saya. Saya bisa menyebarkan semua file kejahatan Anda ke semua media, dan anda akan malu seumur hidup. Saya akan memberitahu semua orang bahwa Anda dan Wira yang mendorong Pangeran Setiawan. Mau?!"
Ruga menggunakan semua informasi yang ia miliki, semua rahasia yang ia curi, sebagai senjata. Ruga telah memukul telak. Ia tahu mereka terlibat dalam insiden Pangeran.
"Keluar sekarang, Naruga!" teriak Wira, kembali mengendalikan diri.
"Jangan lupakan juga permasalahan KDRT dan..." Ruga menatap mata Kayana, tidak ingin menyakiti gadis ini lebih banyak lagi.
"Suatu saat saya, Prita. Saya yang akan membuat Anda memuntahkan semua makanan. Semua makanan yang kalian hasilkan dari uang haram! Hasil menyakiti orang lain!"
Ruga tidak peduli. Ia membalikkan badan, dan Kayana masih berdiri di sampingnya. Ruga tahu Kayana benar-benar hancur. Tanpa ragu, Ruga menarik Kayana ke dalam pelukannya. Tubuhnya yang kurus tetapi kuat, menjadi benteng pelindung bagi Kayana.
Kayana membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Air matanya, yang selama ini ia tahan, akhirnya pecah, membasahi seragam Ruga. Bau mie ayam yang dulu ia benci, kini terasa seperti bau kehangatan dan keamanan. Ia merasakan detak jantung Ruga yang cepat dan kuat.
'Dia melindungi gue. Dia nggak jijik sama gue yang lemah.'
"Nangis aja, Kaya. Lo nggak perlu kuat sekarang. Biar gue yang kuat buat lo," bisik Ruga di telinga Kayana.
Setelah beberapa saat, Ruga melepaskan pelukan itu, memegang bahu Kayana, dan menatap Wira dan Prita.
"Ayo, Kaya. Kita pergi. Kita nggak butuh tempat sampah ini," ujar Ruga tegas.
Ruga membawa Kayana keluar dari ruang Kepala Sekolah. Wira dan Prita tidak bisa berbuat apa-apa, terkejut dengan keberanian dan pengetahuan Ruga.
Mereka menyadari, si jenius miskin ini adalah ancaman nyata yang harus segera disingkirkan.
Mereka berjalan menjauh dari gedung utama. Kayana masih tersengguk. Ruga tidak menanyakan apa-apa, ia hanya membiarkan Kayana memulihkan diri.
Mereka berhenti di taman belakang sekolah yang sepi. Kayana menyeka air matanya. Gengsinya kembali perlahan, tetapi ia tidak bisa memandang Ruga dengan kebencian seperti sebelumnya.
"Kenapa lo lakuin itu?" tanya Kayana, suaranya parau. "Kenapa lo bilang lo pacar gue? Lo nggak takut beasiswa lo dicabut?"
Ruga menyandarkan punggungnya di pohon, santai. "Gue? Takut? Beasiswa gue? Come on, Kaya. Mereka butuh gue lebih dari gue butuh mereka. Dan gue udah denger semua ancaman mereka ke lo. Tentang warisan, tentang Ibunya lo. Dan, maaf gue lihat juga video lo yang dipukulin. Gue nggak bisa diem aja. Lo musuh gue, tapi lo juga... tanggung jawab gue."
"Tanggung jawab lo?" Kayana menatap Ruga tidak percaya.
"Ya. Lo harus bayar gue mahal, kan? And I'm not cheap. Harga joki gue sekarang naik: Perlindungan fisik dan mental," Ruga kembali menyindir dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana. "Gue nggak mau asset gue rusak di tangan dua penjahat itu. Lo sekarang milik gue, Kayana."
Kayana mendengus, tetapi matanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus, dan kekaguman yang tersembunyi. "Lo benar-benar gila, Ruga. Lo berani banget. Gue baru tahu, orang miskin juga bisa punya pride sekuat itu."
"Tentu," Ruga membalas. "Pride gue nggak bisa dibeli. Dan pride gue bilang, gue nggak akan biarin orang yang gue anggap penting dihancurin."
Kayana menatap lurus ke mata Ruga. "Jadi itu alasan lo?"
"Apa?"
Ruga masih menggenggam tangan Kayana dengan kuat. Takut kalau gadis pendek di sebelahnya akan terluka lebih dari ini.
"Alasan lo... sering cium gue. Di bawah balkon, saat gue keluar kamar mandi dan... saat gue ketiduran pas sesi belajar kita." Suaranya setengah berbisik. Mencoba menatap ke arah berlawanan dari badan pria disamping. Jantungnya mencelos tak terkontrol. Perasaan ingin menanamkan diri ke dalam tanah menyeruak di inner Kayana.
Ruga tertawa jahil, "Jadi, lo nggak tidur waktu gue cium di ruang belajar?"
Kayana tidak menjawab, hanya menatap lurus ke atas. Mendongakkan kepala kepada Ruga yang lebih tinggi dari dirinya. Meminta penjelasan.
"Yang pertama itu murni ketidak sengajaan. Perhitungan fisika dan momentum gue yang memaksa gue untuk loncat ke bawah, dan sialnya gue mengenai lo." Ruga mulai grogi, membenarkan kacamata yang tidak turun sama sekali. "Yang kedua dan ketiga, gue nggak ada pembelaan. Tapi gue selalu memikirkan concern lo, kalau lo mukul gue dan suruh berhenti. I will stop."
Ruga mengeluarkan deheman yang lumayan keras, mencoba menyambungkan kepada rumus logika miliknya, "Dari beberapa jurnal yang gue baca, ciuman dapat menurunkan hormon stres (kortisol) dan melepaskan hormon-hormon kebahagiaan seperti oksitosin, dopamin, dan serotonin- artinya ciuman itu berguna buat kita."
Kayana mencoba mengangguk setuju, biarpun gadis itu tidak terlalu mengerti apa yang barusan dijelaskan oleh Ruga. "Mobil gue ada di parkiran," ujar Kayana, suaranya sudah kembali normal, meskipun masih sedikit serak. "Lo harus jelasin, kenapa lo bisa seberani itu, dan kenapa lo... nggak jijik sama gue yang nangis kayak gini. Dan lo harus janji, lo akan bantuin Ibu gue."
Ini adalah undangan resmi pertama Kayana untuk Ruga. Undangan yang didasari rasa takut, ketergantungan, dan keingintahuan yang mendalam. Ruga, si joki miskin, resmi masuk ke kehidupan pribadi Kayana Setiawan, si Ratu Es yang rapuh.
"Tentu," Ruga tersenyum, senyum paling tulus yang pernah ia tunjukkan pada Kayana. "Tapi gue yang akan nyetir. Gue nggak mau naik mobil kalau yang nyetirnya lagi kalut."
Kayana mengangguk. "Oke kalau lo bisa, lo yang bawa."
"Gue itu cuma miskin. Bukan orang bodoh. Dan gue punya SIM A, Kaya" Ruga memberikan senyum smirk menyebalkan miliknya.
Kayana masih tidak mau melepaskan pegangan tangan ini. Bagi dirinya, kini ada ksatria yang siap membantunya, melindungi dari keputusasaan dan ketidakmampuan. Kayana, merasa semangat hidupnya bangkit lagi.
Ruga mengemut permen kopi kesukaannya. Setiap hari ia akan mengantongi beberapa untuk penghilang stress atau iseng mengemut permen disaat sibuk berpikir. Dan hal baru satu lagi, ia akan memakan permen sebelum melakukan 'hal ini'.
"Kayana." Suara Ruga terdengar lirih dan pelan. Mampu membuat Kayana merasakan sensasi merinding aneh.
Kayana sebelumnya masih terpaku melihat bunga di taman menuju parkiran, menatap bosan dengan kaki yang sudah mulai pegal karena jauh berjalan. Memerlukan waktu lama bagi mereka untuk berjalan dari ruang kepala sekolah Wira ke arah mobil terparkir.
"Ya." Belum sempat Kayana menengok ke arah pria yang kini menggandeng tangan erat. Ia dikagetkan dengan sebuah bibir yang mendarat tepat diatas bibirnya. Perempuan yang tingginya pas hanya sedada pria di sampingnya kaget bukan main.
Ruga, dengan posisi tinggi badan yang terlalu signifikan, menunduk dan sedikit memiringkan sudut badan. Ia menjaga agar Kayana tetap diam dalam posisi tegak tanpa mendongak atau bahkan diangkat seperti malam itu. Kayana memperkuat genggaman tangan kanannya dengan tangan kiri Ruga yang mengelus lembut genggaman itu dengan jemari jempol, mencoba menyalurkan ketenangan dan kenyamanan yang hangat.
Bibir Ruga memainkan peran, mulai dari pagutan bibir bawah milik Kayana, menariknya untuk membuka jalur. Fokus untuk membenamkan lidah yang bermain di sisi mulut bagian dalam nona yang berjulukan Ratu Es. Kayana sedikit tersentak menarik nafas seperti orang cegukan sesaat setelah lidah itu masuk, ia kaget namun sudah terbiasa. Bibir pria itu adalah yang pertama dan sampai saat ini merupakan satu-satunya yang dapat meruntuhkan pertahanan tembok Es Kayana untuk takluk dan tunduk.
Kali ini permainan itu diakhiri dengan Kayana yang menarik paksa bibir yang masih bergulir. Sedikit menyisakan suara kuat pada perpisahan itu. Kayana kehabisan nafas, ia membuka mulutnya sesaat setelah persatuan itu diakhiri sepihak. Ruga membuka pejaman matanya kembali, menatap wajah Kayana yang masih menyisakan seribu tanya.
"Kalau gue jijik sama lo, gue nggak akan ketagihan melakukan ini, Kaya."
Kayana memilih terdiam, membuang muka ke arah berlawanan. Beberapa langkah terasa sunyi. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran, meninggalkan kekacauan emosional di SMA Melody.
Ruga tahu, ia kini harus mengorbankan rahasia yang ia punya, untuk membangun kepercayaan. Permainan sesungguhnya, kini beralih dari sekolah ke rumah mereka.
