3. Pembully Cantik Membela Mangsanya
SMA Melody adalah museum kekayaan yang hidup, dan di tengah kemegahan itu, terdapat artefak paling penting: Papan Nama Kasta Donatur. Papan itu terbuat dari perunggu mengilap, terpasang kokoh di dinding marmer di samping aula utama, menampilkan peringkat nama-nama keluarga yang menjadi penyokong terbesar Yayasan. Ini adalah Daftar 50 Teratas, penentu hierarki, barometer kekuasaan yang sesungguhnya. Setiap nama terukir dengan huruf kapital yang tegas, seolah berteriak tentang hak istimewa dan pengaruh yang tak terbantahkan.
Naruga Indra menghabiskan waktu istirahatnya untuk menganalisis papan nama itu. Ia berdiri agak jauh, pura-pura membaca pengumuman ekstrakurikuler, padahal matanya sibuk memetakan kekuatan musuhnya. Ia merasa seperti seorang jenderal yang mempelajari peta medan perang sebelum terjun ke dalam pertempuran.
"Kayana Setiawan. Nomor satu," gumam Ruga dalam hati. Kayana bukan hanya anak donatur, ia adalah pewaris tunggal yayasan. Itu memberinya kekuasaan absolut, di atas kepala sekolah sekalipun. Ia membayangkan Kayana sebagai seorang ratu yang duduk di atas takhta es, memerintah dengan dingin dan tanpa ampun.
Ruga sudah mulai menjual jasa joki dan bimbingan belajarnya secara sembunyi-sembunyi, membangun jaringan loyalitas yang terdiri dari para siswa elit yang bodoh namun haus nilai. Klien-klien ini menjadi sumber informasinya, seperti akar yang menyerap nutrisi busuk dari tanah. Ia merasa jijik dengan sistem ini, tetapi ia tahu bahwa ia harus memanfaatkannya untuk bertahan hidup.
"Hei, Naruga!"
Sebuah suara memotong lamunannya. Galih Wira, Donatur No. 2, putra Kepala Sekolah, mendekat. Galih adalah tipe yang memakai kepintaran Ruga sebagai bantal tidur agar ayahnya tidak mengamuk. Wajahnya selalu terlihat khawatir. Ia merasa tertekan oleh ekspektasi ayahnya dan ketidakmampuannya sendiri.
"Gue butuh bantuan lo lagi," bisik Galih, matanya melirik ke sekeliling, takut ada yang melihatnya berbicara dengan Ruga. "Kimia gue anjlok. Bokap gue bisa bunuh gue. Lo harus joki ulangan harian gue besok." Ia memohon dengan nada putus asa.
Ruga menyeringai tipis. "Gue butuh info. Tentang Pangeran Setiawan. Kenapa nama dia masih ada di peringkat tiga padahal dia koma?" Ia mengajukan syarat yang tegas. Ia tidak akan membantu Galih tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan.
Galih bergidik. "Ssst! Jangan sebut-sebut dia! Itu topik sensitif. Bokap gue, Pak Wira, itu yang paling keras nutupin kasusnya. Pokoknya, Pangeran itu anak kesayangan Papa Kayana. Meskipun dia anak diluar nikah, dia dianggap penerus utama. Makanya Kayana benci dia, dan terutama benci Mama Tiri. Kayana merasa warisan ibunya direbut." Ia menceritakan semua itu dengan nada ketakutan dan kehati-hatian.
Ruga mencatat mental-mental informasi itu. Jadi, konflik di keluarga Setiawan ini bukan sekadar uang, tetapi perebutan pride dan trauma. Kayana, si Ratu Es, adalah korban di tengah perebutan warisan. Ia merasa sedikit iba pada Kayana, meskipun ia tetap tidak menyukainya.
"Dan Kayana," lanjut Galih, merendahkan suara, "dia benci lo banget, Ruga. Karena lo ngingetin dia sama Mama Tiri dan semua kepalsuan di hidupnya. Lo itu kayak cermin yang nunjukin semua kebusukan orang miskin di mata dia. Tapi... dia juga takut sama lo."
"Takut kenapa?" tanya Ruga, penasaran.
"Karena lo jenius. Kayana dipaksa bokapnya buat sempurna. Nilainya harus perfect. Tapi dia lemah di mata pelajaran eksak, terutama Sejarah dan Filsafat. Lo lihat Fariz, temen deketnya? Itu Fariz sering joki ke lo, kan? Kayana pasti tahu lo adalah jalan tercepat dia buat 'sempurna'. Itu yang bikin dia benci sekaligus tertekan." Ia menjelaskan dengan nada yang jujur dan terbuka.
Ruga kini mengerti. Kebencian Kayana adalah campuran antara trauma, kecemburuan, dan kebutuhan tersembunyi. Ruga adalah drug yang Kayana butuhkan, dan dia benci mengakui dirinya pecandu. Ia merasa kasihan dan jijik pada Kayana pada saat yang bersamaan.
"Oke, deal," Ruga akhirnya menyetujui. "Gue akan urusin Kimia lo. Sebagai gantinya, lo harus standby buat kasih gue informasi tentang pergerakan Kayana di Yayasan. Jangan sampai lo jadi informan yang bodoh."
Galih mengangguk cepat. "Siap, Ruga! Pokoknya asal gue lulus, gue nurut!" Ia merasa lega bisa mendapatkan bantuan Ruga.
Ruga telah menanamkan akarnya. Ia kini bukan hanya siswa beasiswa, ia adalah shadow power di balik Donatur No. 2. Ia merasa seperti dalang yang menarik tali boneka.
Konflik kian memanas. Kabar tentang keberanian Ruga membalas bullying Kayana dengan sindiran tajam dan kemampuan intelektualnya menyebar seperti api. Hal ini membuat beberapa siswa elit merasa terancam, terutama mereka yang beranggapan bahwa uang harusnya membeli superioritas. Mereka merasa bahwa Ruga telah melanggar aturan yang tidak tertulis.
Salah satunya adalah Bayu, Donatur No. 15, yang papan nama nya dicabut Kayana. Bayu merasa gengsinya jatuh, dan ia menyalahkan Ruga. Ia harus membalas dendam untuk mendapatkan kembali pride-nya di mata teman-temannya. Ia merasa dipermalukan di depan umum.
Bayu menyergap Ruga di koridor menuju kantin. Ia tidak sendirian. Ada dua temannya, sama-sama berotak kosong dan berdompet tebal, mengapitnya. Mereka terlihat seperti bodyguard yang siap melakukan apa saja untuk melindungi kepentingan Bayu.
"Woi, anak ruko! Mau ke mana lo? Mau ngumpulin remah-remah sisa makanan elit, hah?" cibir Bayu, nada suaranya dibuat keras agar didengar oleh semua siswa di kantin. Ia ingin mempermalukan Ruga di depan umum.
Ruga berhenti. Ia tidak menunjukkan emosi, tetapi matanya memancarkan rasa jijik. Ia membawa buku catatan kecil, selalu siap mencatat ide atau rumus. Ia merasa muak dengan kesombongan dan kebodohan Bayu.
"Gue mau ke kantin, Bayu. Lo mau ikut? Mungkin otak lo butuh nutrisi. Sayang, di kantin sini nggak jual vitamin IQ," balas Ruga, datar. Ia membalas hinaan Bayu dengan sindiran yang tajam.
Bayu marah. Ia mendorong Ruga hingga punggungnya membentur dinding koridor. "Anjing! Lo pikir lo lucu?! Cuma karena lo beasiswa, lo pikir lo bisa ngomong seenaknya sama Donatur?!" Ia merasa harga dirinya terluka.
Ruga merapikan kacamatanya, tidak gentar. "Gue nggak beasiswa, Bayu. Gue dibayar. Gue worth lebih mahal daripada total sumbangan lo tahun ini. Jadi, mending lo minggir. Lo menghalangi jalan orang jenius." Ia membalas dengan nada yang tenang namun tegas.
Bayu, yang kehilangan kesabaran, mengangkat tangannya, siap melayangkan tinju ke wajah Ruga. Ini adalah titik di mana Ruga harus membalas dengan kekerasan, sesuatu yang ia hindari. Ia tidak ingin terlibat dalam perkelahian fisik.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berdentum keras di koridor. Kayana Setyawan. Kayana muncul dari balik tikungan, berjalan dengan langkah anggun namun tergesa, diikuti Stella dan Fariz. Ia baru saja keluar dari sesi privatnya bersama guru les Bahasa Prancis. Ia merasa terganggu dengan keributan itu.
Kayana berhenti. Ia melihat Bayu, tinjunya terangkat, siap menyerang Ruga yang dipojokkan. Ia merasa muak dengan kekerasan dan kebodohan Bayu.
Sejenak, Ruga berpikir Kayana akan tertawa dan membiarkannya dipukul. Itu adalah skenario yang paling logis. Kayana membenci Ruga.
Namun, yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaan.
Kayana tidak tertawa. Kayana menatap Bayu dengan mata dingin yang sama, mata yang dulu ia gunakan saat mencabut papan nama Bayu. Tatapan yang membuat Bayu, si Donatur No. 15, langsung kaku di tempat. Ia merasa gentar di bawah tatapan Kayana yang tajam.
"Bayu," suara Kayana menguar, pelan, tetapi setiap suku katanya mengandung ancaman yang fatal. "Lo udah gue peringatin." Ia mengingatkan Bayu tentang konsekuensi dari tindakannya.
Bayu menurunkan tangannya, wajahnya panik. "K-Kaya. Ini, gue cuma—" Ia mencoba membela diri, tetapi suaranya bergetar.
"Lo cuma mau pegang sesuatu yang udah jadi milik gue," potong Kayana, tatapannya beralih ke Ruga, seolah Ruga adalah barang berharga yang ia temukan di tempat sampah. Ia merasa marah dengan keberanian Bayu untuk menyentuh miliknya.
Kayana melangkah maju, melewati Bayu, hingga ia berdiri di antara Bayu dan Ruga. Ia melakukan hal yang sama sekali tak terduga: ia menyentuh lengan Ruga. Hanya sentuhan singkat diatas pangkal tangan, tetapi sarat makna.
"Ruga adalah mainan gue, Bayu," ujar Kayana, suaranya kini ditujukan kepada semua orang yang mendengarkan di kantin. "Gue yang harusnya bully dia. Gue yang berhak menyentuhnya. Gue yang berhak menghinanya. Lo nggak punya izin. Lo cuma Donatur No. 15. Lo itu kecil. Lo gak bisa ikut campur di urusan personal gue."
Kayana benar-benar menggunakan Ruga sebagai objek yang ia miliki, yang hanya boleh disentuh olehnya. Ini bukan pembelaan tulus, ini adalah Arogansi Kepemilikan.
Kayana kemudian menatap Ruga, lalu kembali menatap Bayu, memberikan pandangan yang mematikan.
"Gue udah bilang, lo nggak pantes ada di daftar Donatur. Lo merusak citra sekolah ini. Dan lo ngerusak barang milik gue. Stella, panggil Wira. Gue mau Ayah lo nyabut semua jatah Donasi keluarga Bayu. Bilang ke Ayah, Bayu sudah crossing the line."
Bayu seketika pucat pasi. Donasi adalah nafas bisnis keluarganya. "Kaya! Jangan! Gue mohon!"
"Keluar. Dari sekolah ini. Sekarang juga," perintah Kayana.
Bayu dan kedua temannya, ketakutan, lari terbirit-birit. Mereka tahu ancaman Kayana bukanlah gertakan. Kekuatan Donatur No. 1 adalah nyata dan brutal.
Kayana berbalik menghadap Ruga, wajahnya kembali datar. Sentuhan di lengan Ruga sudah hilang.
"Jangan diam kalau di bully. Lawan." tatap Kayana, dingin.
"Maksud lo? Gue boleh ngelawan kalau lo bully? Begitu, Kaya?"
Kayana hanya diam, dirinya berangsur melangkah maju perlahan, membuat Ruga mundur teratur kebelakang. Keringat di pelipis wajahnya tidak bisa membohongi, Ruga, menatap mata seduktif penuh kebencian dari perempuan yang bahkan tingginya tidak melewati ambang batas dadanya. Perempuan ini, diam, menatap marah, tidak melakukan hal apapun. Namun sekujur badan Ruga merinding.
"Kenapa masih kepikiran mau lawan gue? Lo milik gue Naruga Indra. Cuma gue. Yang boleh. Bully lo." Kaya memberikan penekanan pada perkataan. Tangannya yang mungil tanpa permisi memegang pipi pria berkacamata di depannya. Mengelus sambil menatap wajah itu sambil berjinjit. Mempersingkat jarak yang absolut.
Ruga terhimpit menyandarkan punggungnya di dinding, sedikit terkejut dengan kecepatan dan ketegasan Kayana dalam menghancurkan lawan. Ia tahu ini bukan tentang dia, ini tentang Kayana.
"Lo... possessive banget, Kaya. Gue cuma kemeja putih lo. Lo nggak mau ada noda yang bukan dari lo, gitu?" sindir Ruga.
Kayana mendengus. "Lo benar. Lo kemeja putih yang gue benci. Tapi lo hanya kemeja gue. Nggak ada yang boleh nyentuh milik gue tanpa izin. Apalagi Donatur No. 15 yang murahan. Lo akan tetap di sini, menjadi yang paling miskin dan paling jenius. Lo akan jadi bukti bahwa gue bisa melakukan apa pun di sekolah ini, bahkan memiliki lo si miskin cerdas."
"Lantas, kalau lo sudah millikin gue, lo mau apa? Pakai gue untuk bahan bully lo? Atau mau gue memuaskan hasrat seksual lo? Tujuan lo gak berdasar, Kayana." Kalimat itu penuh penekanan, namun tetap dalam volume yang masih terkontrol.
"Buang pikiran kotor lo, Ruga. Gue masih suci! Gue gak akan membuat lo untuk memuaskan gue. Gue cuma... Lo milik gue, lo barang gue, lo mainan gue. Lo harus nurutin semua perkataan gue. Lo gak bisa ngebantah gue. Ngerti!" Kalimat marah Kayana disertai nada yang sedikit bergetar.
Ruga menyipitkan mata. Ia melihat kelelahan di mata Kayana. Keangkuhan ini terlalu besar untuk ditopang sendirian. Kayana pasti sangat lelah.
"Lo tahu, Kaya," ujar Ruga, nadanya sedikit melunak, meskipun tetap menantang. "Gue nggak tahu seberapa lo benci gue, tapi lo baru aja nyelametin gue dari hantaman tinju. Apapun alasannya, gue hargai. Tapi dengerin baik-baik: gue bukan milik lo dan gak akan pernah jadi milik lo.
Gue punya pride sendiri. Dan pride gue bilang, gue akan joki otak lo sampai lo lulus, baru gue putusin lo akan gue jadikan apa."
Kayana terdiam, terkejut dengan ucapan Ruga yang membalikkan keadaan. Ia merasa seolah Ruga baru saja menciumnya, tanpa ada kontak fisik. Klaim Ruga membuatnya syok.
"Lo ngimpi!" Kayana berteriak mundur, menjauh kembali pada pertahanannya.
"Mungkin," Ruga tersenyum licik. "Tapi lo yang butuh gue, Kaya. Lo butuh guru les yang bisa baca pikiran lo, yang bisa ngajarin lo Sejarah tanpa lo jadiin bahan bully. Dan gue tahu, nilai lo di Sejarah semester ini anjlok parah. Bokap lo pasti bakal ngamuk. Lo gak mau itu terjadi, kan?"
Ruga telah memukul titik lemahnya. Kayana membenci kegagalan, dan Ayahnya membenci nilainya yang tidak sempurna.
"Kenapa lo yakin kalau gue butuh lo untuk memperbaiki nilai gue?"
"Kaya, gue itu cuma miskin. Tapi gue anak terpintar di sekolah ini. Dan cuma gue yang tau, ada nilai lo yang hancur parah. Dan lo udah berusaha nutupin itu bukan? Gue cuma mau bantu lo, sama seperti gue bantu anak yang lain."
Kayana menatap Ruga, ia melihat kejujuran di mata Ruga yang bersembunyi di balik kacamata. Sial. Dia benar. Ia butuh seseorang untuk menutupi kelemahannya.
"Memang. Gue butuh lo," Kayana akhirnya mengakui, suaranya sangat pelan. Ini adalah pengakuan yang menyakitkan. "Tapi jangan harap gue mau belajar di tempat kotor kayak ruko lo."
"Gue nggak akan minta lo ke ruko kotor gue," balas Ruga cepat. Ia melihat peluang besar di sini. "Gue akan datang ke tempat lo. Tapi it's not a free service. Lo harus bayar gue. Bukan pakai uang, tapi pakai waktu lo, dan lo harus nurut. Lo harus terbuka. No more bullying, only studying. Kalo lo coba bully gue saat gue ngajar lo, gue akan bocorin semua kelemahan lo terutama ke Mama Tiri lo dan Ayah lo."
Kayana menimbang-nimbang. Ancaman Ruga efektif. Jika Ruga membocorkan kelemahannya, Ayahnya akan mencabut semua fasilitasnya.
"Satu jam setelah pulang sekolah. Di perpustakaan utama," putus Kayana, memberikan lokasi yang paling aman dan formal.
"Bagus," Ruga tersenyum penuh kemenangan. Ia baru saja mendapatkan akses ke Kayana Satiawan, si Ratu Es yang mustahil ditembus. Naruga Indra, si jenius miskin, resmi masuk ke benteng es Kayana.
Di perpustakaan utama, yang tampak seperti ruang baca universitas elit, Ruga dan Kayana duduk di meja yang terpisah jauh dari siswa lain.
Kayana membawa buku Sejarah yang bersih, tanpa coretan. Ruga membawa buku catatan lusuh dan pena murahan. Kontras yang mencolok.
"Gue nggak butuh lo ngajarin gue kayak guru TK. Gue udah baca semua ini," ujar Kayana angkuh, menunjuk bab tentang Perang Dingin.
Ruga hanya tertawa kecil. "Lo baca, tapi lo nggak ngerti. Lo nggak bisa menghubungkan kejadian satu sama lain. Lo cuma hafal. Itulah kenapa nilai lo jeblok, Kayana. Otak lo terlalu sibuk mikirin siapa yang mau lo bully dan siapa yang mau lo singkirin, sampai lo lupa fungsi utama otak: menganalisis."
Kayana terdiam. Lagi-lagi, Ruga benar. Ia tidak bisa menganalisis, ia hanya bisa menghafal. Dan Ayahnya menuntut analisis yang mendalam.
Ruga mulai mengajar. Ia tidak menggunakan metode guru formal. Ia menggunakan analogi.
"Perang Dingin itu kayak hubungan lo sama bokap lo," jelas Ruga, matanya menatap Kayana lurus-lurus. "Ketegangan ada. Konflik ada. Tapi nggak ada yang mau perang terbuka. Lo selalu takut sama Ayah lo, kan? Tapi lo nggak berani bilang. Lo cuma simpen ketegangan itu, sampai lo meledak dalam bentuk bullying ke orang lain."
Kayana terkejut. Ruga tidak hanya mengajar Sejarah, ia sedang mengajar Kayana tentang dirinya sendiri.
"Lo ngaco!" seru Kayana, hampir berteriak.
"Gue nggak ngaco. Gue menganalisis," balas Ruga, kalem. "Sejarah bukan cuma tanggal dan nama, Kayana. Sejarah adalah pola pikir. Lo benci Ayah lo, tapi lo melakukan segala cara buat dia bangga, sama kayak Uni Soviet dan Amerika yang saling bunding di belakang layar. Lo terlalu kaku, Kaya. Lo takut salah. Lo takut gagal. Lo takut dianggap lemah. Dan itulah yang bikin lo nggak bisa lulus mata pelajaran ini."
Kayana merasa dadanya sesak. Ruga telah membuka luka lamanya, luka trauma dan kebutuhan akan validasi. Ia menunduk, tidak bisa lagi menatap mata Ruga.
"Gue... gue nggak butuh lo jadi psikolog gue. Lo cuma joki!"
"Gue joki otak lo. Dan otak lo lagi sakit," Ruga berbisik, nadanya kini penuh empati yang aneh.
"Dengerin gue. Lo nggak bodoh. Lo cuma tertekan. Lepasin pride lo sebentar. Lo nggak perlu sempurna. Lo cuma perlu jujur sama otak lo."
Selama satu jam, Kayana mendengarkan. Ia menyimak Ruga, si joki miskin, yang kini terasa seperti satu-satunya orang yang benar-benar melihatnya. Di akhir sesi, Kayana merasa otaknya lebih ringan.
Ruga membereskan bukunya. "Udah selesai. Besok kita lanjut. Gue mau lo jujur sama gue. Tentang Pangeran Setiawan. Kenapa name tag lo ada di TKP?"
Kayana mendongak. Wajahnya pucat. Ruga telah menemukan celah terbesarnya.
"Gue nggak tahu lo ngomongin apa!" Kayana menyangkal, tetapi suaranya bergetar.
"Jangan bohong, Kaya. Gue tahu lo terlibat. Lo takut sama Ayah lo. Lo takut Mama Tiri. Dan Pangeran itu ancaman terbesar lo, kan? Kalau lo mau gue bantu lo, lo harus jujur. Gue cuma percaya otak gue. Dan otak gue bilang, lo bukan pelakunya, lo memang pembully, tapi lo pasti gak sejahat itu." Ruga menatapnya tajam.
Kayana menahan napas. Rasa takutnya lebih besar daripada pride-nya saat ini. Ia menutup buku, perlahan.
"Gue... gue harus balik. Nanti malem gue telepon lo," ujar Kayana, suaranya hampir tidak terdengar. Ia melarikan diri, meninggalkan Ruga di perpustakaan.
Ruga hanya tersenyum dingin. Ia tahu Kayana akan menghubunginya. Ia sudah menanamkan bom waktu di dalam pertahanan Kayana.
Sebelum Ruga keluar dari perpustakaan, ia menggunakan keahliannya. Saat Kayana pergi, Kayana meninggalkan tablet mahalnya di meja. Ruga mengambil tablet itu, menggeser layar, dan dalam waktu kurang dari satu menit, ia berhasil menembus password Kayana.
Ruga mencari file tersembunyi. Dan ia menemukannya: folder berjudul 'WARISAN BUNDA'. Di dalamnya, ada salinan dokumen hukum yang rumit, surat-surat dari rumah sakit jiwa (RSJ) Ibu Kayana, dan yang paling mengejutkan, beberapa foto buram yang diambil dari kamera pengawas.
Di foto itu, beberapa jam sebelum insiden Pangeran, Kayana dan Pangeran Setiawan terlihat sedang bicara serius di area rooftop. Pangeran terlihat panik, Kayana terlihat marah. Dan di foto lain, Kayana terlihat panik, tetapi Pangeran yang memegang name tag Kayana.
Pangeran yang pegang name tag Kayana. Kenapa?
Ruga menyimpan semua data itu. Ia mengembalikan tablet ke tempatnya, merapikan mejanya, dan keluar dari perpustakaan.
***
Ruga baru saja akan tidur, setelah mandi dan bersiap memenuhi tugas jokinya dari beberapa klien, matanya dikejutkan oleh notifikasi pesan.
+62852-xxxx-xxx
Halo selamat malam.
Ini nomor Ruga?
Perkenalkan saya Kayana.
Tolong di save. Trims.
Smirk Ruga menyembul. Diantara banyak pria yang ingin mendapatkan nomor sang 'Putri Salju' alias Ratu Es ini, Ruga adalah salah satu yang diberikan nomor personalnya secara suka rela. Apalagi Galih, teman Kayana yang sepertinya punya niat terselubung terhadap Kayana, Ruga sangat tidak menyukai pria itu. Walaupun tentu saja Kayana menghubunginya untuk urusan 'Joki Les Privat'.
Ruga
Yes Baby, I'm your prince Ruga.
Jangan terlalu formal.
Kayana
Huek.
Ruga
*emot cium*
Kayana membanting handphonenya ke kasur. 'Dasar orang gila.' Innernya membatin.
Kayana Setiawan bukan hanya musuh yang rapuh. Dia adalah kunci untuk mengungkap konspirasi besar di Yayasan Melody, konspirasi yang melibatkan Kepala Sekolah Wira dan Ayah Kayana. Naruga Indra, si jenius miskin, kini memiliki semua kartu.
