2. Pembully Cantik Dan Kuman Miskin
Udara SMA Melody berbau kemewahan. Bukan hanya wangi parfum import yang menyengat, tapi juga aroma kekuasaan yang tak terlihat, terserap dalam karpet beludru, tirai sutra, dan dinding marmer setinggi langit-langit. Bagi Naruga Indra, aroma itu menusuk hidungnya seperti disinfektan kuat—menjijikkan, tetapi mau tidak mau, harus ia hirup. Ia membayangkan aroma itu seperti asap knalpot mobil mewah, mematikan secara perlahan.
Hari ini adalah hari pertamanya sebagai siswa SMA Melody, si kumis (kuman miskin, istilah sinis yang ia ciptakan sendiri) yang menyusup ke sarang berlian. Ia berdiri di tengah lapangan upacara yang luas, mengenakan seragam baru yang terasa kaku dan aneh. Kemeja putihnya terlalu putih, tidak ada noda debu, tidak ada aroma minyak goreng dari ruko mie ayam. Ia mencoba tersenyum, senyum ceria yang selalu ia pakai sebagai perisai, tetapi matanya yang tersembunyi di balik kacamata tebal sedang merekam setiap detail. Ia merasa seperti mata-mata dalam film laga, mengamati setiap sudut dan celah.
Siswa-siswa Melody yang lain—anak-anak pejabat, politikus, dan pengusaha—menatapnya seperti melihat spesies asing dari planet lain. Bisik-bisik mereka terdengar seperti desisan ular berbisa. Ruga tahu, di mata mereka, ia hanyalah seorang freak.
"What the heck, siapa dia? Seragamnya kok kayak baru keluar dari deterjen paling murahan?"
"Pasti anak beasiswa. Tuh lihat kacamatanya, so last decade."
"SMA Melody nerima anak miskin? Ew, jangan sampai satu kelas sama gue."
Ruga mengabaikan mereka. Pride-nya tinggi. Ia tidak meminta beasiswa, ia menjual kebisuan dan kepintarannya. Justru, ia merasa kasihan pada mereka.
Mereka berpakaian mahal, tetapi jiwanya kosong. Mereka seperti robot yang diprogram untuk menjadi kaya dan berkuasa.
Tak lama, sosok yang menjadi pusat gravitasi dingin di sekolah itu muncul. Kayana Setyawan—rambut hitam panjang tergerai sempurna, langkahnya tegas, aura dinginnya menyelimuti koridor seperti kabut es. Tingginya, yang hanya sebatas dada Ruga, membuatnya terlihat seperti ratu angkuh yang menatap dari singgasana rendah. Ia dikelilingi oleh antek-antek setianya: Stella, si bodyguard wanita yang loyal dan selalu siap tempur, dan Fariz, si playboy sok keren yang ironisnya adalah salah satu klien joki Ruga. Ruga merasa jijik melihat Fariz berpura-pura tidak mengenalnya.
Kayana berjalan melintas, matanya yang tajam menelisik Ruga dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Ada nyala api jijik di sana, api yang sudah Ruga antisipasi. Kayana berhenti tepat di depan Ruga.
"Minggir," perintah Kayana, suaranya sedingin es batu. Ia bahkan tidak repot-repot menatap Ruga.
Ruga tersenyum, senyum yang sengaja ia buat menyebalkan. "Maaf, Nona Kayana. Jalanan ini milik umum, at least sebelum gue bayar semua Donatur di sini, jadi lo yang minggir duluan." Ia sengaja menekankan kata 'Donatur' untuk menyindir Kayana.
Kayana terdiam, terkejut dengan keberanian Ruga. Matanya menyipit. "Oh, lo yang anak beasiswa itu? Naruga Indra, ya? Gue udah denger. Kuman yang masuk ke rumah berlian. Coba, kuman itu harusnya tahu tempatnya." Nada bicaranya merendahkan dan menghina.
Tanpa peringatan, Kayana mengayunkan gelas berisi iced coffee mahal yang ia pegang. Bukan ke wajah Ruga, melainkan tepat ke sepatu kets Ruga yang sederhana. Cairan coklat kental itu memercik, merusak kemurnian sepatu putih Ruga. Ruga merasakan amarahnya mendidih, tetapi ia berusaha menahannya.
"Ups. Maaf. Tangan gue kepleset." Kayana memasang wajah datar, tanpa penyesalan sedikit pun. "Dasar orang miskin. Pura-pura bego di sini, padahal lo cuma pengemis cerdas. Ambil aja sisa minuman gue. Biar lo nggak kehausan." Ia tertawa sinis, menikmati penghinaannya.
Ruga merasakan panas naik ke tengkuknya. Bukan karena marah, tetapi karena harga dirinya diinjak-injak. Ia tidak akan membungkuk. Ia tidak akan memberikan Kayana kepuasan melihatnya marah.
Ruga menatap mata Kayana, mengambil tisu dari sakunya dengan santai, dan mulai membersihkan sepatunya. Ia melakukannya dengan gerakan yang lambat dan teliti, seolah sedang melakukan ritual sakral.
"Lo buang-buang minuman, Kaya," ujar Ruga, nadanya tenang tetapi tajam. "Gue buang waktu buat ngelap sepatu. Tapi it's okay, at least lo nunjukin kasta lo emang di bawah gue, secara attitude. Di dunia gue, buang-buang makanan itu dosa." Ruga ingin Kayana tahu bahwa ia tidak terpengaruh oleh penghinaannya.
Kayana terperangah. Baru kali ini ada yang berani membalasnya, apalagi anak miskin. Stella dan Fariz terlihat gelisah. Fariz bahkan pura-pura tidak mengenal Ruga, meskipun Ruga baru saja menyelesaikan PR-nya dengan biaya jutaan rupiah tadi malam. Ruga tersenyum sinis melihat kepengecutan Fariz.
"Lo pikir lo siapa? Lo cuma... joki tugas! Gue tahu!" seru Kayana, membiarkan kebenciannya meledak. Ia tidak bisa menyembunyikan kemarahannya lagi.
Ruga hanya tersenyum sinis. "Ah, Kayana. Ternyata lo tahu ya. Bagus deh. Kalo lo butuh nilai bagus di pelajaran yang lo benci, lo tahu harus lari ke mana. Gue cuma mau bilang, jangan sampai pride lo lebih gede daripada kebutuhan lo buat lulus." Ia sengaja mengingatkan Kayana bahwa ia membutuhkan bantuannya.
"Gue udah terlalu pintar untuk pakai jasa murahan lo. Ruga. Anak baru, miskin, yang sombong." Kayana menunjuk-nunjuk dada pria di depannya dengan kasar.
Ruga memberikan senyum sinis. "Kayana, produksi hormon stres, kortisol, yang merusak kolagen dan menghambat peremajaan kulit lo, serta menyebabkan otot wajah menegang dan membentuk garis halus, bikin lo cepat tua. Sayang kan, kalau muka mungil dan cantik lo itu cepet kriput."
"Sialan lo!"
Ruga dengan refleks menangkap telapak tangan Kayana yang dilayangkan tepat menuju pipinya. Ia menarik tangan mungil itu ke udara, memaksa nona yang tingginya hanya sebatas dada Ruga untuk berjinjit. "Kalau mau cium gue, pakai bibir, jangan pakai tangan." Pria itu menunduk sambil membisikkan kalimat di kuping Kaya. Kalimat horor yang hanya bisa ia dengar sendiri dikarenakan volume yang persis seperti sebuah desisan.
Kayana mengepalkan tangannya. "Lo... menjijikkan!" Setelah pegangan longgar Ruga terlepas, ia berbalik melangkah pergi bersama antek-anteknya. Aura kemarahannya tertinggal di koridor. Ruga merasa menang, setidaknya untuk saat ini.
Ruga tahu, untuk bertahan, ia harus membangun kekuatannya sendiri. Ia tidak bisa melawan Kayana di bidang uang, tetapi ia bisa melawan di bidang yang ia kuasai: kecerdasan dan informasi. Ia harus menjadi lebih pintar dari mereka semua.
Misi pertamanya adalah mencari tahu lebih banyak tentang Pangeran Setiawan dan Kayana. Ruga mulai menggunakan kepintarannya untuk mendekati lingkaran Kayana. Klien joki pertamanya di Melody adalah Galih Wira, putra Kepala Sekolah, Donatur No. 2. Ruga melihat Galih sebagai kunci untuk membuka rahasia SMA Melody.
Galih adalah tipe elit yang kalem, tidak suka keributan, tetapi sangat insecure soal nilai. Ia diam-diam mengagumi Kayana dan membenci siapa pun yang mengganggu Kayana. Ironisnya, ia harus bergantung pada Ruga. Ruga melihat ironi itu sebagai keuntungan.
Ruga menemui Galih di kantin, menawarkan paket joki eksklusif. Ia tahu Galih tidak bisa menolak tawarannya.
"Tugas Kimia lo, Galih," ujar Ruga, menyodorkan jawaban dengan perhitungan yang detail. "Lo harusnya nyewa guru privat yang bisa lo ajak diskusi, bukan cuma gue. Or... lo emang mau nyembunyiin kebodohan lo dari bokap lo, Pak Wira?" Ia sengaja menekan Galih dengan informasi yang ia ketahui.
Galih terlihat pucat. "Jaga omongan lo, Ruga! Gue bayar lo buat diam!" Ia merasa terancam dengan perkataan Ruga.
"Gue diam, asalkan lo juga gak ganggu gue," balas Ruga. "Atau... lo bisa bantu gue. Lo Donatur No. 2, lo tahu banyak hal di sini. Kayana Setiawan. Kenapa dia benci banget sama orang miskin?" Ruga mencoba memancing informasi dari Galih.
Galih, terpaksa, mulai terbuka. Ia menceritakan bagaimana Kayana begitu keras pada dirinya sendiri, dan bagaimana ibunya hancur karena Ayahnya selingkuh dengan guru kontrak, Mama Tiri, yang miskin dan licik. Ia menceritakan semua dengan nada yang pahit dan getir.
"Di mata Kaya, semua orang miskin itu jahat. Mereka cuma ngincer harta. Dan guru kontrak itu sekarang nikah sama bokapnya. Pangeran itu adik tirinya Kaya," jelas Galih, matanya melirik ke arah Kayana yang duduk jauh di pojok VIP kantin, makan dengan anggun. Ruga mengikuti arah pandangnya.
Ruga mengangguk. Sekarang ia mengerti alasan di balik kebencian Kayana yang begitu dalam. Itu adalah perisai trauma. Sial. Ternyata nggak sesederhana bully. Ia merasa sedikit iba pada Kayana, meskipun ia tidak menyukainya.
Sementara itu, Ruga terus membangun jaringannya. Ia membantu siswa-siswa lain yang kesulitan, bahkan di luar lingkaran elit. Berita tentang 'Jasa Joki Dewa Ruga' menyebar. Anak-anak yang terbantu oleh Ruga mulai diam-diam menghormatinya. Ruga merasa senang bisa membantu orang lain, meskipun dengan cara yang tidak konvensional.
Pagi hari ini, di pelajaran olahraga, kelas Ruga dan kelas Kaya digabung. Terlihat masih ada beberapa orang yang benci dengan Ruga. Menjahili dengan menusuk-nusuk pensil di punggung Ruga.
Stella dan Galih menatap horror. Ratu Es yang masih sibuk duduk di pinggir lapangan olahraga indoor itu hanya melipat tangannya mengawasi dengan tatapan tidak suka.
"Sialan. Pegangin." Kaya melempar asal handphone nya dengan logo apple digigit keluaran terbaru dengan asal ke samping badan. Dengan sigap Stella mengambil lemparan itu dengan tangkapan lihai. Mencoba bergerak mengikuti kemana Kayana pergi.
Menghampiri si kumis. Kuman Miskin.
Hanya dengan tatapan diam, para siswa yang menjahili Ruga kompak berhenti. Laki-laki kurus tinggi itu seolah acuh, ia malah cuek membersihkan kacamata miliknya dengan baju kaos olahraga.
"Sepertinya kalian. Satu sekolah. Perlu gue pertegas dan gue peringatkan." Kayana menatap satu lapangan tanpa ekspresi. Bahkan guru olahraga pun terdiam tidak berani menyela perkataan Kayanya. Donatur No.1 di sekolah ini.
"Ruga itu milik gue. Dia punya gue. Kalau kalian masih jailin dia lagi. Tau kan akibatnya apa?" Kayana mendelik ke arah dua orang anak politikus namun bahkan tidak masuk peringkat donasi 50 besar, yang barusan menjahili Ruga. Tatapan sinis, dingin, tajam, khas Kayana. Tatapan maut yang bisa membuat orang merinding hanya dengan melihatnya.
Semua terdiam. Hening. Bahkan Stella yang sahabat setia Kayana terhenti langkahnya.
"Bilangin sama guru-guru yang lain. Kalau ada yang sampe bully Ruga lagi. Dia berurusan sama Kayana." Guru kontrak olahraga itu tidak membalas perkataan. Hanya mengangguk takut.
"Ikut gue."
Kayana menarik paksa lengan baju Ruga, menuju ruang klub pribadi milik Kayana di sekolah. Membuka pintu dengan bantingan keras kaki. Ia mempersilahkan pria itu duduk di sofa empuk.
"Lo suruh orang jangan bully gue? Lo lupa? Tadi pagi siapa yang masukin kecoa di tas gue." Ruga memberikan senyuman itu, senyuman yang malah membuat Kayana emosi.
Smirk smile menyebalkan.
Kayana memandang acuh, ia sibuk untuk mengambil kotak P3K di dalam laci penyimpanan.
"Gue gak pernah main fisik. Ruga." Kayana menatap pria menyebalkan itu dengan tatapan datar.
"Kalau bola basket yang kemarin lo lempar? Apa bukan main fisik, Kaya?" Pria bernama asli Naruga itu mencoba memegang ujung rambut Kayana yang terurai di pipi, mencoba memasukkannya ke sela kuping.
"Buka baju lo."
"Aih... Gue belum siap, Kayana." Ruga membuat ekspresi malu, mencoba menutup dadanya dengan kedua tangan.
"Mau diobatin. Atau lo gue tinggal?"
Ruga tersenyum lagi, senyum mengejek. "Buka sendiri. Berani?"
Kayana memberikan tatapan dingin tanpa ekspresi. Dengan kasar ia menarik kaos olahraga milik Ruga yang hanya terduduk pasrah, diam. Kayana melihat sekilas disana. Meskipun pria ini kurus, tetapi anehnya dadanya terlihat sedikit kekar, dengan sedikit beberapa ukiran otot di perut pria itu.
Kayana menoleh panik, gadis itu bangun dari duduknya lalu dengan cepat melirik punggung Ruga yang terkena goresan pensil. Hanya sedikit lecet. Tidak parah. Kayana meneteskan asal obat merah, Ruga hanya terdiam. Masih tersenyum meledek.
"Debaran jantung lo sudah diatas 100 detak per menit, gue tebak hormon adrenalin dan dopamin lo meningkat. Karna liat dada gue barusan."
"Gue gak nafsu sama orang miskin."
Ruga memutar kepalanya ke arah belakang, melihat Kayana tertunduk.
"Hasrat seksual bisa muncul tiba-tiba karena berbagai faktor seperti fluktuasi hormonal, stimulasi dari lingkungan (visual, suara, atau sentuhan). Dan lo lagi melakukan aktivitas yang mendukung itu semua, ke gue. Jadi... kalau lo mau kita bisa coba hal yang seru banget. Jauh lebih seru dari materi fisika kuantum dan sejarah sastra yang ada." Ruga memutar badan, menarik gadis itu ke arah sofa. Mencoba merengkuh gadis dengan julukan Ratu Es tanpa perasaan.
Gadis itu mencoba memasang topeng stoic dengan ekspresi datar yang dibuat-buat. Tatapannya meracau gelisah, membidik apa yang 'layak' untuk ditatap saat ini.
Matanya? Hidungnya? Atau Bibirnya? Selain dada yang terekspos tentunya.
Tangan pria jenius dengan jahil meraba leher Kayana. Membuat gadis itu terkaku diam. Memilin jari-jari iseng di area tengkuk. Ruga tahu hal ini akan jadi sumber masalah baru di kemudian hari, namun pria itu tidak peduli. Dengan perhitungan kalkulasi dan analisis, Ruga melihat sebuah tangan kanan melayang di ekor mata. Tangan mungil gadis berayun pelan, tetapi terlambat.
Ruga dengan jahil mencium leher Kayana. Bau keringat orang kaya memang berbeda. Hanya wangi parfum bunga yang jika Ruga prediksi adalah bunga mawar, dengan sedikit campuran lily, sangat identik dengan brand parfum ternama yang mendunia.
Laki-laki itu terlompat dari sofa. Memakai kaos olahraganya asal. Kabur setelah membully balik Kayana yang diam mematung.
Beberapa hari berlalu. Permusuhan Ruga dan Kayana makin intens. Kayana mencoba berbagai cara untuk menjatuhkan Ruga, tetapi Ruga selalu membalas dengan kecerdikan yang membuat Kayana gigit jari. Mereka seperti Tom dan Jerry, selalu bertengkar dan saling menjahili.
Kayana tahu Ruga adalah ancaman, bukan hanya bagi pride-nya, tetapi juga bagi ketenangannya. Ruga adalah cermin, selalu memantulkan kembali kerapuhan dan kelemahan Kayana. Ia tidak bisa mengendalikan Ruga, dan itu membuatnya frustasi.
Suatu hari, di papan mading, terpajang daftar Donatur 50 Teratas. Itu adalah papan kasta Melody, terbuat dari kuningan yang mengkilap, mencantumkan nama dan foto para penyumbang terbesar. Ruga melihat papan itu sebagai simbol ketidakadilan dan kesenjangan sosial.
Kayana Setiawan.
Galih Wira.
Pangeran Setiawan.
... dan seterusnya.
Ruga memperhatikan daftar itu. Kasta sosial di sini diukur dari besarnya sumbangan, bukan dari prestasi. Pangeran Setiawan, si koma, masih masuk di urutan ketiga. Itu menunjukkan betapa pentingnya keluarga Setiawan bagi SMA Melody.
Saat istirahat, Ruga sedang sendirian di koridor. Tiba-tiba, ia diserang oleh Bayu, siswa Donatur Peringkat 15. Bayu, yang otaknya seukuran kacang, merasa terganggu dengan keberanian Ruga. Bayu adalah tipe bully klasik, menggunakan kekerasan untuk menunjukkan kekuasaannya.
"Hei, anak mie ayam! Lo pikir lo keren di sini?" Bayu menendang tas Ruga hingga isinya berhamburan. "Lo gak pantes sekolah di sini. Balik ke got lo!" Ia tertawa mengejek.
Ruga menghela napas. Ia membungkuk, mengumpulkan buku-buku.
'Sabar, Ruga. Jangan sampai emosi lo merusak rencana.' Ia mencoba menenangkan dirinya, menghitung sampai sepuluh dalam hati.
"Kalau lo punya masalah sama gue, Bayu, mending lo kasih PR yang susah. Jangan kayak anak kecil, nendang tas," balas Ruga, datar. Ia tidak ingin terpancing emosi.
Bayu makin menjadi-jadi. Ia mengambil buku Fisika Ruga, merobek beberapa halaman. "Lo pikir lo pinter? Lo cuma joki! Miskin tetap miskin!" Ia merasa berhak melakukan apa saja karena ia kaya.
Saat Ruga hampir kehilangan kesabaran dan siap membalas, sebuah keheningan menyelimuti koridor. Ruga merasakan hawa dingin yang familiar.
Kayana Setiawan datang. Wajahnya datar, dingin, dan tatapannya seperti laser yang siap membakar. Tetapi, Kayana tidak menatap Ruga. Ia menatap Bayu.
Bayu, yang takut pada Kayana, langsung menciut. "Kaya, gue cuma... ngasih pelajaran ke dia." Ia mencoba membela diri.
Kayana tidak menjawab. Ia berjalan santai ke arah Bayu, lalu ke mading Donatur. Tanpa ekspresi, ia mengeluarkan pisau lipat kecil dari tasnya—pisau kecil yang biasa dipakai untuk membuka surat penting—dan dengan gerakan brutal, ia mencungkil papan nama kuningan bertuliskan 'Bayu - Donatur No. 15' dari tempatnya. Semua orang di koridor terkejut.
Cring! Papan nama itu jatuh ke lantai. Suara itu memecah keheningan. Semua mata tertuju pada Kayana.
Kayana menatap Bayu, suaranya pelan tetapi menusuk. "Lo pikir sekolah ini punya lo? Bully orang miskin boleh, itu memang takdir mereka, harusnya mereka diam. Tapi bully orang yang gue target, itu artinya lo ngerusak mainan gue." Ia sengaja menekankan kata 'mainan'.
Bayu, terkejut dan malu, hanya bisa terdiam. Ia tidak berani menatap mata Kayana.
Kayana melempar papan nama itu ke kakinya. "Copot. Lo cuma Donatur No. 15. Papan nama lo nggak pantes ada di sini lagi. Next time, watch your back, Bayu." Ia mengancam Bayu dengan nada yang dingin dan menusuk.
Kayana berbalik, menyuruh Stella dan Fariz membawanya pergi. Ruga, yang masih memegang buku Fisika yang robek, menatap Kayana yang menjauh dengan tatapan tak percaya. Ia merasa bingung dan penasaran.
Kenapa dia ngebela gue? Apa motifnya?
Ruga tahu, itu bukan pembelaan. Itu adalah arogansi kepemilikan. Kayana tidak ingin ada orang lain yang berani menyentuh objek kebenciannya. Ia ingin Ruga tetap di sana, tetap menjadi sasaran kemarahannya. Tetapi, tindakan itu menciptakan lapisan perlindungan yang aneh bagi Ruga, sesuatu yang tak terduga. Ia merasa seperti pion dalam permainan catur yang rumit.
Ruga berjalan mendekati Kayana yang hendak masuk ke ruang klub pribadinya. Ia ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
"Jangan asal ngomong, lo gak bisa mainin gue, Kaya!" tanya Ruga, suaranya kini penuh tantangan. Ia tidak ingin menjadi boneka Kayana.
Kayana berhenti, tanpa menoleh. "Lo pikir lo bisa nantangin gue, Ruga? Lo tuh cuma bahan hiburan gue. Sekarang minggir."
Kayana melempar asal buku Fisika miliknya yang dikeluarkan dari dalam tas. "I'm bored with you." Ia meremehkan Ruga dengan nada yang dingin dan acuh tak acuh.
Pria itu menangkap dengan akurat buku Kayana, seperti buku fisika yang belum tersentuh sedikitpun. Bahkan buku yang barusan dilemparkan oleh Kayana masih berisi jejak-jejak lem di pinggir buku. Seperti buku baru.
Kayana masuk, menutup pintu. Meninggalkan Ruga dengan perasaan campur aduk. Ia adalah joki tugas yang jenius, tetapi Kayana adalah teka-teki yang jauh lebih rumit daripada fisika kuantum mana pun. Ruga tahu, ia harus lebih dekat, lebih dalam, untuk mengungkap apa yang sebenarnya Kayana sembunyikan di balik topeng Ratu Es-nya. Dan ia akan menggunakan satu-satunya cara yang ia punya: kecerdasannya, untuk membuat Kayana tunduk. Ia merasa tertantang untuk memecahkan teka-teki Kayana.
Ruga memungut buku Fisikanya yang robek. Ia menatap pintu ruang klub Kayana dengan tatapan yang penuh tekad. Pertarungan antara mereka. Siapa yang akan menang?
