Bab 11 Ben yang Malang
Bab 11 Ben yang Malang
Setelah menemani Ben makan malam Ruby telah lebih dulu merebahkan tubuhnya. Matanya terpejam kuat hingga suara musik yang di putar Ben pada ponselnya untuk mengusik Ruby tak mampu membuatnya terbangun. Ben mendekat ke arahnya, mendekatkan wajahnya pada wajah Ruby. Duduk di sebelah yang mengenakan piyama berwarna merah muda itu sambil terus menatap guratan kelelahan di wajah cantiknya. Rambut panjangnya memenuhi separuh dari wajahnya, perlahan Ben mencoba menyingkapnya agar helain rambut merahnya itu tak menganggunya saat tengah merajut mimpi.
Masih tak terpikirkan jika wanita yang berada disebelahnya ini telah menjadi istrinya. Wanita yang perlahan-lahan telah membuatnya jatuh cinta beberapa bulan ini. Perasaan yang dulu hanya terkunci pada Yasmin, kita telah terbuka untuk Ruby. Sesekali Ben tersenyum sendiri, dan menjauhkan wajahnya lagi dari wajah cantik Ruby. Cukup lama Ben berada disampingnya, di sebuah ranjang yang berlapiskan sprei warna merah maroon itu. Duduk bersila, sambil terus mendekap sebuah guling dengan tangan kanan yang masih menopang dagunya. Mencoba menunggu Ruby terbangun dan berharap ia akan memberikan sambutanya pada Ben.
“Ben tidurlah, jangan biarkan matamu terus terjaga. Apa aku perlu memelukmu agar kau bisa dengan cepat memejamkan matamu?” geming Ben sendirian
“Hah... andai saja kalimat itu benar-benar terucap dari bibir Ruby.”
“Huft....” Ben berdengus
Dan melipat kedua tanganya di atas guling yang berada di dadanya.
Ben menyandarkan tubuhnya pada ujung ranjang tanganya terselip dibelakang kepala, dan tangan kananya terus memeluk guling yang sedari tadi telah menjadi temanya. Ditolehnya sebuah jendela yang sedikit tersingkap dari gorden berwarna putih itu. Diluar sedang hujan dan akan sangat sempurna sekali, andaikan ia bisa menghabiskan malam yang akan segera berubah menjadi dingin ini dengan mengajak Ruby untuk bercinta denganya.
“Jangan mimpi Ben.”
Sebuah suara seolah menyadarkan ekspektasi mesumnya.
“Untung saat kau mencoba menyentuh pipinya tadi, tak ada sandal atau piring yang tiba-tiba melayang di kepalamu.”
Bibirnya kembali mengerucut, bagaikan ada beberapa sosok yang bersarang ditubuhnya yang mencoba membenarkan dan menyalahkan keinginanya. Sosok itu layaknya iblis dan malaikat yang saling beradu pendapat.
“Tapi apa salahnya, bukannya dia istriku, yang bisa kuperlakukan semauku. Ayolah Ben, lakukan saja....”
Kembali ia mendengar peperangan dalam batinya
Peperangan antara sebagian keberanian dan juga sebagian rasa takutnya hanya untuk melampiaskan hasratnya pada Ruby.
Jangankan mengajak Ruby bercinta, menyentuh Ruby pun ia tak punya nyali setelah menjadi suaminya. Ekspektasi Ben bahwa Ruby akan mencintainya dan kembali memaafkannya masih terasa jauh. Setelah pernikahannya dengan Ben, seolah-olah malah semakin membuat Ruby tak bahagia. Ben yang berusaha menjadi suami yang baik namun Ruby tak pernah mencoba untuk memahami simpati yang diberikan Ben padanya. Ruby hanya melakukan tugasnya sebagai istri tapi belum sepenuhnya menjadi istri Ben. Sikapnya pada Ben tak lebih dari saat keduanya masih memiliki hubungan kerja.
Ben terus melirik Ruby yang tertidur pulas di sampingnya, ia masih mencoba menahan apa yang sejak tadi ingin dilampiaskannya pada Ruby. Disambarnya bibir Ruby dengan kasar hingga membuat wanita bermata sipit itu terbangun. Kedua tanganya kini telah tertahan oleh kedua tangan Ben yang menindihnya. Tubuh Ben benar-benar kuat saat Ruby berusaha melawannya. Sementara Ben semakin gencar memberikan ciumannya pada Ruby. Terus saja Ruby melawan hingga hampir membuatnya kewalahan hanya untuk mencoba meloloskan diri dari tindihan tubuh kekar Ben.
“Ben!” Ruby sedikit menjerit
Ben pun menarik wajahnya dari hadapan Ruby. Napasnya masih terengah, dengan masih menatap Ruby.
“Kamu kenapa sih? Kesurupan?” pekiknya lagi dan mencoba bangun sambil menatap Ben penuh amarah
“Bukannya aku sudah bilang, kalau aku belum siap!”
“Kamu tidak suka?”
Ruby hanya diam membuang muka dan berusaha menjauh dari tubuh Ben.
Wajahnya terlihat berang saat mengetahui Ben yang berusaha mencumbunya. Mata yang sipit itu melebar tanpa adanya aba-aba. Ruby benar-benar marah dengan sikap Ben barusan. Jika saja dia adalah Dewi Amba yang sedang membawa anak panah, pasti Ben sudah mati karena anak panah yang dihujamkan padanya.
“Apa sih maunya, dasar laki-laki, otaknya mesum,” bisik Ruby dalam hati.
Ruby merapikan rambutnya yang berantakan karena adegan kasar beberapa detik yang lalu. Ia pun kembali menjauhkan tubuhnya dari sisi Ben , memiringkan tubuhnya ke kiri dan hampir berada di sisi ujung ranjangnya. Sementara Ben yang sejak tadi masih shock dengan kemarahan Ruby hanya terdiam sambil terus menatap setiap gerak-gerik yang Ruby tunjukan padanya.
Kelakuan Ben benar-benar menguras rasa kesal Ruby padanya. Ia punya alasan kenapa tak menggubris laki-laki yang berada di sampingnya. Jantungnya berdegub hebat sampai – sampai ia merasakan thremor diseluruh tubuhnya. Masih teringat dengan sangat jelas kejadian malam itu, saat Ben benar-benar tak bisa lagi mengendalikan diri karena pengaruh alkohol. Hingga terjadilah hal yang benar-benar membuat Ruby merasa jijik padanya.
“Tolong By... aku butuh ini. Please!” Ben berusaha memohon.
Ruby tak menggubrisnya, terus saja ia memalingkan wajahnya. Dan kembali mencoba memejamkan mata.
“Jadi ... kamu menolak?” tanya Ben lagi.
Ruby hanya diam dan tak mendengar Ben yang masih berusaha keras membujuk Ruby untuk mengabulkan keinginannya.
Ben merubah posisinya, kini ia kembali duduk dan menatap udara dan membuang pandanganya pada wajah Ruby. Ingin sekali ia memaksakan kehendak yang hampir membuat ubun-ubunnya itu pecah. Tapi biar bagaimanapun ia harus tetap menghargai keputusan Ruby. Membuat wanita ini bersikap ramah padanya saja sudah cukup sulit. Apalagi Ben masih harus berusaha untuk membuat Ruby jatuh cinta padanya. Pernikahan yang awalnya hanya berdasarkan karena sebuah penebusan dosa itu sepertinya harus benar-benar menjadi pernikahan yang terasa hambar. Bahkan ia pun tak tahu akan seperti apa masa depan rumah tangganya ini.
“Mau sampai kapan By. Aku ini suamimu?,” ia bergumam lirih
Merasa tak mendapat jawaban dari kesedihannya, Ben pun beranjak dari ranjang. Kali ini kembali ia harus menenggelamkan hasratnya sendirian. Menyibukan dan mengalihkan perhatianya dengan beberapa file yang berada di laptopnya. Tapi itu hanya sebentar saja, pikiranya kembali berulah. Saat Garda si kucing short hair domestiknya ini menyentuh perlahan kaki Ben dengan ekornya yang penuh bulu. Aliran darahnya kembali berdesir dan otak mesumnya pun kembali beraksi.
“Garda... please nak, jangan malah membuatku horny gara-gara kau terus bermain dikaki ku. Apa kau tidak tahu kalau aku sedang menderita sekarang.”
MIAUNGG
Kucing berwarna oren itu hanya mengaung seolah mengerti curhatan majikannya. Ben yang semula duduk tegak menatap layar laptop, kembali menunduk menyaksikan miliknya yang sejak tadi telah menegang. Untuk kesekian kalinya ia harus mandi air dingin tengah malam, demi mengalihkan hasratnya yang tak tersampaikan.
MIAUNGG... Garda kembali mengaung
“Jangan coba mengejekku Garda, ini masalah orang dewasa. Akan ku ajarkan padamu kalau kau sudah akhil baligh.”
Ben semakin menghalu dan mengungkapkan kekesalannya pada Garda.
MIAUNGG....
Garda si kucing oren yang tak mengerti apa-apa terus saja mengikuti Ben. Mencoba mencuri perhatian Ben dengan suaranya. Ia pun terus bermain di kaki Ben saat Ben mencoba memasuki kamar mandi. Langkahnya mendadak terhenti saat kucing gembul itu tiba-tiba menghadang Ben dan duduk sebuah keset yang terletak di depan pintu kamar mandi. Garda beberapa kali menjilati tangan dan juga bubu-bulu lembutnya. Seolah ingin menemani Ben menikmati mandi malamnya . Sepertinya Garda tahu jika Ben benar-benar butuh teman malam ini.
MIAUNG...
“Diamlah nak, walaupun kita sama-sama jantan tapi kita tak sepaham.”
Ben mengelus tubuh Garda yang sejak tadi menggarukkan kepalanya pada betis Ben. Kucing itu pun merespon perhatian Ben dengan menjulurkan kepalanya pada lengan Ben. Entah apa yang membuat Ben berhalusinasi hingga menganggap Garda sangat memahami bahasanya. Yang jelas saat ini Garda memang satu-satunya makhluk yang benar-benar mengerti dirinya.
Ben pun membuang pakaian yang menempel di tubuhnya. Bertelanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Berjalan dengan santai menuju kamar mandi yang ada di kamarnya, ia tak peduli lagi pada Ruby. Lagipula Ruby tak akan mungkin peduli pada apa pun yang dilakukanya saat ini. Ben mencoba menghibur diri, bersiul dan menyanyikan beberapa lagu sembari terus membasahi tubuhnya.
