Bab 13 Moment Langka
Bab 13 Moment Langka
Saat jam istirahat selesai, Alice kembali ke kelas bersama dengan Meysha yang juga satu kelas dengan Alice. Aldan yang melihat itu pun, hanya berpura-pura tidak tahu.
Namun saat Alice duduk di samping Aldan, Aldan mencuri pandang, memperhatikan wajah Alice yang terlihat tidak senang setelah menghabiskan waktu dengan Meysha.
Aldan yang merasa penasaran pun berdehem, untuk memulai pembicaraan dengan Alice, namun pandangan Aldan terus menuju Meysha.
“A--apa yang kamu lakukan bersamanya?” tanya Aldan, dengan ragu-ragu, karena sebelumnya Aldan tidak pernah bertanya lebih dulu dari pada Alice.
Alice yang mendengar Aldan mengajukan pertanyaan kepadanya pun, sedikit terkejut dan langsung memberi ekspresi mulut yang menganga dan mata yang membelalak lebar, karena terkejut Aldan memulai pembicaraan lebih dulu dengannya.
“Ka--kamu … bertanya padaku?” tanya Alice yang masih tidak percaya jika Aldan sedang mengajaknya bicara.
Aldan hanya menganggukkan kepalanya, dengan wajah datarnya seperti biasa.
Alice memperbaiki ekspresi wajahnya, kini wajahnya dihiasi dengan senyum lebar di bibirnya, membuat Aldan sedikit mengerutkan keningnya bingung, karena Alice tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Aku … makan bersama dengannya di kantin,” jawab Alice yang begitu senang karena Aldan mengajaknya bicara.
Aldan kemudian menganggukkan kepalanya, namun pandangan tetap diam-diam melirik pada Meysha yang duduk tidak jauh darinya. Sementara karena begitu senang, Alice tidak menyadari jika Aldan sebenarnya diam-diam memperhatikan Meysha.
“Bukankah kamu sudah berteman pada hari pertama sekolah dengannya?” tanya Aldan dengan wajah yang begitu datar, dan tidak terlihat sama sekali jika dirinya sedang penasaran dan ingin mengetahui apa yang terjadi antara Alice dan Meysha.
Alice yang mendengar itu pun, langsung teringat dengan kejadian pulang sekolah kemarin.
Flashback….
Sepulang sekolah, Alice sedang menunggu ayahnya menjemputnya dan ia duduk di tepi pagar sekolahnya sendiri. Banyak siswa lain yang berlalu lalang melewati Alice, dan tidak sedikit pula yang menyapa Alice, sehingga Alice juga harus membalas senyuman beberapa teman-teman yang menyapanya.
Dari kejauhan, terlihat Meysha datang menuju Alice yang sedang duduk sendirian itu, saat Meysha sudah berada dekat dengan Alice, ia langsung tersenyum dengan lebarnya.
“Hai, Alice … sedang menunggu jemputan?” sapa Meysha dengan wajah yang begitu sumringah.
Namun tidak dengan Alice, ia malah menanggapi Meysha dengan wajah yang begitu datar, sehingga membuat Meysha tidak mau banyak bicara dan menyampaikan ke intinya langsung.
“Alice … bisakah aku berteman denganmu?” tanya Meysha dengan wajah manisnya, dan senyuman lebarnya yang membuat siapa pun akan menyukai senyuman Meysha.
Alice melirik Meysha yang berada di sampingnya, kemudian berpikir sejenak untuk memberikan jawaban kepada Meysha. Sebenarnya Alice tidak mau berteman dengan Meysha mengingat kejadian tempo hari yang membuat Alice takut bergaul dengan Meysha.
“Alice….”
Alice langsung menoleh pada sumber suara yang memanggilnya, dan dilihat Alice, ayahnya sudah menjemputnya dengan setelan jas yang masih ia kenakan, karena baru saja pulang dari kantor.
Melihat ayahnya yang tersenyum kepadanya, di mobil yang kaca jendelanya dibuka, Alice kemudian melihat Meysha sebentar yang sedang menunggu jawaban darinya, kemudian pergi tanpa memberikan jawaban apapun kepada Meysha.
Meysha yang ditinggalkan begitu saja oleh Alice pun, merasa kecewa, namun ia tidak merasa putus asa, ia hanya berpikir jika Alice sedang terburu-buru saja, sehingga tidak sempat untuk memberikan jawabannya.
Alice menyadarkan lamunannya, saat namanya dipanggil-panggil oleh seseorang, sehingga membuat Alice langsung terkesiap saat itu juga.
“Alice….” panggil Meysha, sembari melambaikan tangannya, dan melontarkan senyuman manisnya dari tempat duduknya, sehingga membuat Alice harus membalas senyuman Meysha itu, karena ia tidak mau dianggap sombong oleh Aldan.
Kemudian Alice mengalihkan pandangannya menuju Aldan yang sejak tadi hanya terdiam, karena Alice malah melamun dan bukannya menjawab pertanyaan Aldan, seketika Alice teringat dengan pertanyaan Aldan tadi, namun dirinya tidak mau memberitahu alasan yang sebenarnya kepada Aldan, sehingga membuat Alice lebih memilih untuk bertanya pertanyaan lain kepada Aldan.
“Apa kamu tadi menunggu aku, saat aku pergi bersama Meysha?” tanya Alice, dengan wajah yang begitu antusias.
Namun kali ini, Aldan tidak menjawab pertanyaan Alice, ia hanya mengalihkan perhatiannya pada buku pelajaran yang saat ini ia pegang dan pura-pura ia baca.
Sehingga membuat Alice merasa sedih, karena Aldan kembali tidak menanggapi dirinya.
Setelah guru pelajaran masuk, Alice mengakhiri sesi pertanyaannya dengan Aldan, karena Aldan tidak mau menanggapinya, terlebih lagi, saat itu adalah pelajaran yang disukai oleh Alice, dan membuat Alice memperhatikan guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan dengan saksama.
Dan saat pelajaran telah selesai, kini tiba waktunya untuk pulang ke rumah masing-masing.
Seperti biasanya Alice mengajak Aldan untuk pulang bersama, namun Aldan hanya terdiam dan tidak menanggapi apapun yang Alice katakan kepadanya, sehingga membuat Alice terpaksa meninggalkan Aldan di tempat duduknya, dengan wajah yang sedikit kecewa.
Namun, Meysha tiba-tiba menghampiri Alice dengan begitu sumringah, sehingga membuat Alice harus memasang senyum terpaksanya di depan Meysha.
“Hai, Alice … apakah kamu akan ke gerbang sekolah untuk menunggu jemputan?” tanya Meysha yang datang dengan merangkul Alice.
“Iya, Meysha … apakah kamu juga?” tanya Alice, mencoba bersikap baik kepada Meysha.
Meysha pun mengangguk dengan senyuman lebar di wajahnya. Namun Alice hanya menanggapinya dengan anggukan kepala juga.
Akhirnya Alice berjalan bersama dengan Meysha menuju gerbang sekolah, di sepanjang koridor, Meysha terus bertanya banyak hal mengenai Alice, sehingga Alice harus menjawab Meysha, meskipun sebenarnya dirinya tidak suka dengan Meysha.
“Alice … karena kita sudah berteman, bolehkah aku menyimpan kontakmu di ponselku?” tanya Meysha dengan wajah yang begitu antusias.
Alice yang mendengar itu pun hanya menganggukkan kepalanya, dengan lagi-lagi senyum terpaksa yang ia tampilkan kepada Meysha.
Meysha tersenyum senang mendapat jawaban dari Alice. “Terima kasih, Alice … sesampainya di rumah, aku akan menghubungimu,” ucap Meysha.
“Iya, Meysha…,” jawab Alice.
Kemudian mata Alice tertuju pada mobil ayahnya yang sudah berada di depan gerbang sekolahnya, membuat Alice merasa terselamatkan oleh ayahnya, Alice menghela napasnya, karena bisa berpisah dengan Meysha yang terus bertanya dengannya.
“Aku pamit,” ucap Alice, kepada Meysha yang masih harus menunggu jemputannya datang.
Meysha pun tersenyum kepada Alice. “Hati-hati, Alice…,” ucap Meysha, sembari melambaikan tangannya ke arah Alice yang sudah berlari menuju mobilnya.
Sesampainya di mobil, Alice tersenyum kepada ayahnya, sehingga membuat ayahnya merasa sedikit ada yang berbeda dengan sikap Alice.
“Terima kasih, ayah … karena sudah menyelamatkanku,” ucap Alice, sembari memasang sabuk pengamannya.
Alice yang tiba-tiba mengucapkan terima kasih kepada ayahnya pun, membuat ayahnya mengerutkan keningnya.
“Kenapa berterima kasih kepada ayah?” tanya ayahnya, dengan raut wajah yang bingung.
“Hmm … tidak apa-apa,” jawab Alice.
“Apakah itu tadi teman baru di sekolah barumu?” tanya Ayah Alice, sembari memperhatikan Alice yang begitu sumringah sedang memasang sabuk pengamannya.
“Iya, tapi aku tidak begitu dekat dengannya, ayah … aku hanya berteman karena dia sekelas denganku,” jawab Alice, yang kemudian menatap wajah ayahnya yang juga memperhatikannya.
Ayah Alice hanya mengangguk mendengar jawaban Alice. Kemudian beralih fokus menyetir untuk pulang ke rumah.
“Apakah dia baik kepadamu?” tanya Ayah Alice lagi, karena masih penasaran dengan teman Alice, yang membuat sikap Alice bersikap aneh hari ini.
Alice tampak berpikir sejenak setelah mendapat pertanyaan itu dari ayahnya.
“Iya … dia baik kepadaku, tetapi mungkin tidak kepada yang lain,” jawab Alice, sembari menyipitkan kedua matanya.
Ayahnya yang mendengar jawaban Alice pun, merasa aneh, karena Alice seperti ragu-ragu mengenai temannya itu.
“Kamu harus berhati-hati dalam memilih teman, Alice … karena teman bisa membuatmu dalam kebaikan dan juga bisa membawamu dalam keburukan,” ucap Ayah Alice, memberikan nasihat kepada Alice.
“Baik, ayah … aku akan ingat pesan ayah,” jawab Alice sembari tersenyum kepada ayahnya yang tengah fokus menyetir.
“Bagus … kamu harus menjadi anak yang baik,” ucap ayahnya, kemudian sekilas menoleh ke arah Alice.
Alice pun tersenyum mendengar pesan-pesan baik dari ayahnya.
