10
Sepanjang perjalanan pulang, Lexi diam saja, ia menatap ke samping,seolah jalan raya berkejaran dengan mobil yang dinaikinya. Mobil yang dikemudikan oleh sopir perusahaan seolah berlari dengan lamban.
Sofia mengenggenggam tangan Lexi, dielusnya perlahan, dan dibawa kepangkuan Sofia. Lexi menoleh sebentar lalu menatap ke jalan lagi.
"Maafkan aku," suara Sofia terdengar memelas. Lexi menoleh lagi menatap Sofia dan menghembuskan napasnya dengan berat.
"Jangan pernah temui dia lagi, apapun yang terjadi," suara Lexi terdengar berat. Sofia mengangguk dan merebahkan kepalanya ke bahu Lexi.
***
Sesampainya di kantor Lexi menuju ruangannya dengan wajah keruh. Sofia mengekor di belakangnya.
"Aku pesankan makan ya Lex, bentar lagi meeting, takut kelamaan meetingnya, kamu nggak makan siang nanti," Sofia memeluk Lexi dari belakang. Lexi menoleh dan mengangguk.
"Masih marah?" tanya Sofia lagi, Lexi membalikkan badannya dan menatap Sofia yang memelas, Lexi menganggkat sedikit ujung bibirnya.
"Pesankan aku makanan, aku merasa lapar setelah menahan marah," Lexi menatap Sofia yang berdiri dengan jarak dekat di depannya. Sofia menyentuhkan bibirnya sekilas dan ke luar dari ruangan Lexi.
Lexi tak habis pikir, ada apa dengan perasaannya mengapa ia tak suka Sofia dekat dengan Louis, tapi sampai detik ini, Lexi tak merasakan apa-apa jika ia didekap dan dicium Sofia. Lexi menggeleng perlahan.
Sofia masuk dengan membawa dua porsi untuk makan siang.
"Makan bareng ya Lex, aku suapi kamu kalo males," Sofia mulai menata makanan di meja dan ke luar lagi untuk mengambil minuman.
Lexi pandangi wajah Sofia yang dengan telaten menyuapinya sampai piring yang ia pegang licin tak bersisa. Setelah selesai menyuapi Lexi barulah Sofia makan.
"Ada apa di wajahku Lexi, mengapa kau pandangi aku dari tadi?" tanya Sofia sambil meletakkan piring dan meneguk air mineral.
"Kamu cantik," ujar Lexi tetap memandang wajah Sofia.
"Hmmmm kata-kata itu lagi, tapi kamu nggak ngerasakan apa-apa di hatimu kan, percuma bilang cantik," ujar Sofia, sambil melangkah ke luar membawa piring kotor.
Saat Sofia kembali ke ruangan Lexi, Lexi terlihat sudah bersiap meeting, Sofia mendekati Lexi, membetulkan dasinya serta melihat wajah Lexi dengan seksama.
"Kamu kenapa nggak di habisin tadi makannya?" tanya Lexi menatap wajah Sofia yang terlihat agak pucat.
"Nggak tau tiba-tiba aja males, kayak mual gitu," ujar Sofia, Lexi terlihat kawatir.
"Tiduran di sana tuh, di ruangan ini kan ada kamar buat istirahat, Sofi, nggak papa tiduran di sana, toh setelah ini nggak ada apa-apa lagi, ntar pulang papa ngajakin kita bareng? ada perlu sama kita kata papa," ujar Lexi.
"Oh ya?" Sofia masih memandang Lexi, namun Lexi menarik tangan Sofia masuk ke kamarnya, dan mendudukkan Sofia di kasur.
"Isitrahatlah, kamu terlihat capek, aku nggak ingin kamu sakit," Lexi mencium kepala Sofia dan ke luar dari kamar. Sofia mendesah pelan, selalu saja badannya menghangat tiap kali Lexi memperlakukannya dengan lembut.
Sofia merebahkan badannya, dan entah pada menit keberapa ia tertidur.
***
Sofia membuka matanya perlahan saat ada usapan lembut di pipinya. Lexi duduk di sisi kasur sambil memandanginya.
"Kamu beneran kurang sehat kayaknya Sofi, ac diruangan ini bekerja dengan baik, tapi keringat di keningmu cukup banyak," ucap Lexi, Sofia cuma menggeleng pelan.
"Nggak papa, ntar sehat lagi, hanya perlu makan yang banyak dan tepat waktu, masalahnya aku nggak gitu suka makan, males aja mau buka mulut dan ngunyah," ujar Sofia pelan dan berusaha duduk.
"Ya nggak bisa gitu Sofi, aku pesankan ya sama bagian pantry, makan kue ato apalah," Lexi ke luar dari kamar dan terdengar sedang menelpon.
Tak lama Lexi masuk lagi dengan membawa nampan yang berisi beberapa potong kue da susu hangat.
"Ayo makanlah dan minum susunya selagi hangat," Lexi memberikan sepotong kue dan Sofia mulai menikmatinya. Setelah minum susu hangat Sofia mulai merasa sedikit baikan.
"Apa kamu takut gendut sehingga ngurangin makan?" tanya Lexi lagi.
Sofia tertawa pelan.
"Ah nggaklah, aku sulit gendut ya karena sejak kecil aku males makan," ujar Sofia meletakkan gelas kosong pada nampan yang masih ada di pangkuan Lexi.
Lexi meletakkan nampan di meja dan berdiri di depan Sofia yang masih saja duduk.
"Sudah baikan, ayo ke luar," Lexi membantu Sofia berdiri dan Sofia tiba-tiba memeluk Lexi. Lexi diam saja, hanya mengusap rambut Sofia perlahan.
"Aku selalu dibuat jatuh cinta oleh sikapmu, tapiiii kamunya nggak ngerasakan apa-apa," suara Sofia pelan dan memelas.
Lexi melepas pelukan Sofia, menangkup kedua pipinya.
"Aku belum mencintaimu, tapi mulai menyukaimu, aku nggak suka ada orang dekat-dekat kamu, nggak suka ada orang menjatuhkanku di depanmu, apa itu belum cukup untuk saat ini?" tanya Lexi pelan, dan Sofia tersenyum.
"Ke luar yuk, aku banyak kerjaan Sofi, tapi kalo kamu masih pusimg nggak papa tiduran di sini, toh hari ini aku nggak ada janjian sama siapa-siapa lagi," ujar Lexi melepaskan tangannya dari pipi Sofia.
"Aku mau kembali ke mejaku Lex, aku rasa sudah cukup tadi aku istirahat, meski rada pusing dikit," mereka melangkah ke luar kamar beriringan.
Bertepatan dengan papa Lexi masuk ke ruangan Lexi. Keduanya kaget dan Roi memandang keduanya tanpa senyum. Sesaat keduanya seperti kehilangan kata-kata karena tercekat di leher.
"Jelaskan nanti setelah kita pulang bertiga." Papa Lexi menghilang di balik pintu.
"Aduh Lexiiii, aku nggak enak sama Pak Roi, lagian tumben deh Pak Roi segitunya sampe jalan sendiri ke ruangan kamu, biasanya juga ibu Caroll yang ke sini," ujar Sofia terlihat gelisah. Lexi terlihat berwajah tenang meski tadi sempat gugup.
"Nggak papa tenang saja, nanti aku jelaskan, paling karena tadi bu Caroll sempat pamit ke papa bentar setelah meeting, kebetulan hari ini papa juga sama kayak aku, setelah meeting nggak sibuk, makanya dia sendiri yang jalan ke sini," Lexi berusaha menenangkan Sofia. Sofia menghela napas lega.
"Udah sana kembali ke mejamu," Lexi mengelus lengan Sofia perlahan. Sofia melangkah ke luar dari ruangan Lexi dan menempati tempat duduknya lagi. Sesaat dia melihat ibu Caroll yang baru saja datang dan menempati kursinya lalu sibuk menyempurnakan riasannya lagi. Sofia setengah berlari menemui bu Caroll.
"Aduuuh ibu dari mana saja, aduh mati saya ibuuu tadi kan saya pusimg, trus saya tiduran di kamar yang ada di ruangan Lexi, pas saya mau ke luar kamar bareng Lexi kok ya paaaas Pak Roi masuk dan melihat kami berdua ke luar kamar, aduuuh rasanya dunia berhenti berputar deh ibu," terlihat Sofia yang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Bu Caroll tertawa, lalu cepat menutup mulutnya.
"Kamu juga, ngapain tidur di situ, kalo pusing bilang ke ibu, di kantor ini ada klinik kesehatannya, kamu bisa istirahat di sana, ih cari masalah saja kamu, tapi nggak usah kawatir," bu Caroll berkata dengan menggantung kalimat terakhir.
"Ibuuu emang napa ibu bilang jangan kawatir?" tanya Sofia penasaran.
"Karena Pak Roi selaluuu muji-muji kamu, calon menantu idaman," ujar bu Caroll dan mata Sofia membulat seketika.
"Ibu bohong, paling cuman biar Sofi senang aja," Sofia memandangi bu Caroll yang masih sangat cantik di usianya yang hampir kepala empat.
"Sayaaang ibu sama suami ibu itu akrab banget sama Pak Roi dan bu Azalea, kami sering berlibur bersama, kebetulan juga Pak Roi kan cocok sama suami ibu kalo berobat, kebetulan suami ibu dokter spesialis jantung, nah kalo cerita Lexi pasti deh selalu nyebut kamu cocok jadi pasangan Lexi, bolak balik bilang gitu,sejak awal kamu kerja di sini sebenarnya...sebenarnya...jangan bilang-bilang nih secret banget, kamu tuh sengaja emang mau dijodohin sama Lexi," bu Caroll semakin mengecilkan suaranya.
Mata Sofia membulat, ingatannya seolah memutar kembali bagaimana papa dan mamanya selalu mendorongnya untuk melamar bekerja di perusahaan ini, meski sejak awal ia ingin bekerja dekat dengan papanya. Apakah mama dan papanya juga terlibat dalam rencana yang tak ia ketahui ini?
"Tapi Lexinya gitu ibu, kayak nggak tetarik sama saya," sahu Mei terlihat sedi.
"Bukan tidak tertarik, belum, ibu yakin, ia akan segera menyukaimu, mencintaimu, siapa sih yang nggak akan suka melihat wanita cantik, cerdas seperti mu, Lexi beruntung dicintai wanita sepertimu," bu Caroll menepuk pipi Sofia dengan lembut, dan Sofia terlihat malu.
"Ibu tahu dari siapa kalo saya, saya suka sama Lexi?" tanya Sofia dengan wajah memerah.
"Dari matamu tiap memandang Lexi, matamu bercerita banyak pada ibu," bu Caroll menahan senyumnya karena melihat wajah Sofia yang semakin memerah.
"Ah ibu bikin saya malu, saya balik ke meja saya dulu ya ibu," Sofia melangkah kembali ke mejanya, sementara bu Caroll memandang Sofia sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum semakin lebar.
Jam empat sore Lexi menelpon Sofia, memberitahu bahwa papanya sudah menuju tempat parkir dan mereka di suruh segera menyusul.
Lexi segera menemui Sofia dan berdua mereka segera turun melalui lift. Dan bertemu dengan papa Lexi saat akan menuju mobil.
"Pakai mobil papa saja Lex, ini kamu yang nyetir, Sofia di depan ya, nggak papa biar om di belakang," Roi memberikan kunci mobil pada Lexi dan melangkah ke dalam mobil. Sofia terlihat sungkan, dan Lexi memberi kode agar Sofia segera masuk.
***
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan diantara mereka sampai akhirnya Lexi bertanya pada papanya,
"Kemana ini pa?"
"Cozy time," Roi menjawab pendek. Dan Lexi mempercepat laju mobilnya.
***
Sesampainya di tempat yang dituju, mereka turun dan menuju tempat yang telah mereka reservasi sebelumnya.
Sofia memandang takjub pada desain interior yang benar-benar membuat customer betah dan nyaman.
Lexi menarik kursi dan menyilakan Sofia duduk. Saat mereka duduk barulah Lexi dan papanya melihat dan memilih menu.
"Ayo Sofia mau pesan apa, kamu kan makannya dikit tadi, mana pusing lagi," Lexi memandang Sofia yang terlihat sungkan. Roi memandang Sofia saat Lexi mengatakan Sofia pusing.
"Kamu sakit Sofia?" tanya Roi.
"Tidak Pak, cuma pusing saja," ujar Sofia cepat.
"Makanya paaa tadi aku sama Sofia ke luar bareng dari kamar di ruanganku,dia tidur cukup lama di situ karena pusing," ujar Lexi berusaha menjelaskan agar papanya tidak salah paham.
"Aku percaya pada Sofia, Lex, dia tidak akan aneh-aneh," ujar Roi memandang Lexi dengan tajam.
Setelah memesan makanan, Roi memajukan wajahnya, tampak ia serius menatap wajah Lexi.
"Ada yang ingin papa sampaikan pada kalian, pertama mengenai hubungan kalian, kedua mengenai mamamu Lex," tampak wajah Lexi dan Sofia yang terlihat menegang. Roi melihat perubahan pada wajah keduanya.
"Ini sehubungan dengan pernyataan Lexi di media, papa kamu Sofia menelpon om, dan papa kaget sebenarnya, tidak mengira Lexi mengeluarkan statemen seperti itu, dan ini yang dipertanyakan oleh papamu Sofia, lalu papa tanya padamu Lex, kamu main-main atau serius dengan pernyataanmu itu?" tanya Roi masih menatap Lexi yang balik menatapnya dengan serius dan Sofia yang terlihat bingung. Perlahan Lexi menghembuskan napas.
"Aku serius papa, memang aku sudah katakan pada Sofi, bahwa setelah pernyataanku di media, aku akan menghadap papa dan mama, lalu menemui orang tua Sofia, tapi ternyata papa bergerak lebih cepat, aku serius akan menikahi Sofia papa, setelah melalui proses bertunangan, atau ya terserah papa mama, mau langsung kami menikah ya tidak apa-apa," ujar Lexi sambil menghembuskan napas dengan lega.
"Tapi Pak, sayaaa...saya..," terdengar suara Sofia yang kebingungan.
"Kenapa, kamu ragu pada Lexi?" tanya Roi dan Sofia diam saja.
"Jika seorang laki-laki mengajakmu menikah, berarti dia sudah siap dengan segala resikonya," ujar Roi lagi dan Sofia hanya bisa menunduk.
"Ok selanjutnya papa harap kalian segera merencanakan menemui orang tua Sofia, lalu hal yang kedua yang akan papa sampaikan Lexi mengenai mamamu, papa harap tidak ada skandal atau kasus lagi dengan wanita itu, jangan bunuh mamamu perlahan Lexi, kamu tahu papa dari wanita itu adalah cinta pertama mamamu, yang menghempaskan mamamu sampai tempat terendah setelah ia melambungkan mamamu, setinggi-tingginya," ujar Roi sedikit emosi namun mampu membuat Lexi terperangah dan Sofia menutup mulutnya karena kaget...
