BAB 5 - PERMAINAN
Revano hanya diam mendengarnya, lalu bertanya, "Apa kau ingin memberinya pelajaran Pav? Aku dengar-dengar semua orang kini mulai menaruh benci padanya."
Pavlo hanya diam sebentar lalu tersenyum singkat. "Buat apa aku memberi pelacur ini pelajaran di sekolah ini. Bukankah dampaknya akan buruk padaku nanti, biarkan semua orang di sini yang membullinya, kita hanya tinggal duduk dan menyaksikan saja kan," jelasnya.
Revano mengambil ponselnya kembali, lalu ikut tertawa. "Kasian sekali tunangan Brian itu." Revano menaruh empati, namun dia bisa apa jika Pavlo sendiri yang menciptakan dramanya.
Riana yang telah tiba di sekolahnya, merasakan hal aneh karna semua orang memandangnya kesal tidak seperti hari-hari biasanya.
"Joni-Joni tunggu!" Riana memanggil teman sekelasnya.
Joni berhenti dari tempatnya, tapi tidak berbalik badan untuk melihatnya.
Riana sudah berdiri di hadapannya dan bertanya, "Jon, kenapa semua orang di sekolah ini aneh? Mereka seperti benci padaku" tanya Riana.
Joni menggesek giginya menatapnya kesal. "Kau seperti pelacur saja Riana, setelah perbuatanmu semalam, kau membuat tunangan Pavlo di permalukan di tempat umum," katanya singkat, tapi Riana masih tidak mengerti.
"Semalam di tempat umum ..." ulangnya lagi. "Maksudmu bagaimana Jon? Aku benar-benar tidak paham apa yang kau katakan, coba perjelas."
"Kau bilang tidak paham? Atau kau memang sengaja lupa. Jika kau ingin tau lebih detailnya lagi, lebih baik kau lihat saja di media sosial! Kau sangatlah memalukan Riana," gumamnya lalu bergegas pergi karna Joni tidak mau berteman dengannya.
Riana berjalan di sepanjang koridor sambil melihat ponselnya. Dimana semua orang juga terus berbisik akan dirinya yang lewat di sepanjang koridor depan kelas lain. Ia menutup mulutnya membaca media sosial yang benar-benar membuat reputasinya hancur dan makin memburuk. 'Ini tidaklah benar, siapa yang tega mengedit vidioku ini? Seakan-akan aku terlihat seperti wanita penggoda saja. Dimana Brian? Di mana vidio berdansaku dengan Brian?' Riana bertanya-tanya dalam hatinya dan melirik semua murid disana yang selalu membicarakan keburukannya, yang tidaklah benar sama sekali.
"Dasar perempuan pelakor tidak cukup satu pria saja kakak Osis pun di embat juga," kata murid lain menghinanya, ia sengaja perbesar suaranya.
Riana tidak tinggal diam lalu menyahutinya, "Heh, aku bukanlah orang seperti itu yah! Ini semua berita bohong! Vidio ini telah di potong dan di edit. Asal kalian tau yah, aku jelas-jelas ada bersama tunanganku waktu itu, aku berdansa dengannya di saat itu."
Semua orang tidak peduli, tidak percaya dengan perkataanya. Tetap saja mereka memandang Riana benci dan juga menjijikkan.
"Wanita sepertimu mana mau mengakui sih, jika semua sudah terungkap kebenarannya, kau seperti pelakor disekolah ini. Kau memperburuk nama baik sekolah" jawab Siswi lain tidak terima atas perkataan Riana.
Riana mengepal tangannya. "Semua akan terungkap. Kalian pasti akan menyesal padaku!" hardiknya lalu bergegas meninggalkan cemohan murid-murid itu. Riana tergesa-gesa masuk kedalam kelasnya. Tapi ternyata ia malah tersandung di kaki betis temannya, temannya sengaja memanjangkan kakinya lurus keluar meja. Walau itu sakit, Riana hanya menatapnya tajam dan tidak melontarkan kata amarahnya.
Bahkan tempat duduknya yang berada di tengah-tengah, kini di ambil oleh kawannya yang lain dan mau tidak mau, Riana harus duduk di kursi paling belakang yang terlihat banyak debu, kotor dan belum di cat.
Riana duduk kesal sambil memalingkan wajahnya ke arah luar jendela. Sasa sendiri yang sudah datang lebih dulu menghampirinya lalu menyapanya.
"Riana kau-" Perkataan Sasa terpotong.
"Ia, aku tau, tapi jika kau masih menganggapku sahabat, kau pasti tidak akan mudah termakan oleh kebohongan itu kan? Tapi jika kau mudah percayai mereka, maka kau bukanlah sahabat baik untukku." Riana menyembunyikan perasaan sedihnya, ia menunduk dan berpura-pura memasukkan tasnya ke dalam laci meja, namun saat ia mendorong tasnya masuk ke dalam laci, ia merasakan ada yang menggajal tasnya. Riana menunduk dan melihat ke dalam laci, lalu mengambil sekotak kardus kecil disana lalu membukannya.
"Aaaaaaaa..." teriak Riana histeris di dalam kelas, ia menjatuhkan kardus itu sampai banyaknya kelabang keluar dari tempatnya.
Riana mundur cepat menyentuh wajahnya yang pucat pasif karna ketakutan. Bahkan Sasa sendiri loncat menaiki meja lain, ia terlihat shok melihat banyaknya kelabang besar keluar dari kotak itu.
Murid lain berlari keluar karna ketakutan melihatnya, lalu pria yang bernama Dilan, dan Rangga langsung berlari ke arah lemari untuk mengambil tongkat bisbol dan membunuh satu persatu kelabang yang hampir menaiki meja semua murid. Dilan mendekati Riana yang sepertinya sangat ketakutan. Ia meremas lengan atas Riana untuk bertanya, "Apa kau tidak apa-apa Riana?"
Sasa mendekati Dilan dan Riana. "Dilan, kenapa bisa ada kelabang di laci meja?" tanya penasaran.
Dilan menatap sebentar Riana yang telah berkeringat dingin, lalu menyahuti Sasa, "Aku juga tidak tahu."
Rangga menghela nafas lelah, lalu membuang tongkat bisbolnya dan mendekati Riana dan Sasa yang tampak syok. "Aku sudah membunuh kelabang besar itu. Riana, apa kau baik-baik saja? Aku sarankan sebaiknya kau pergi keruang ke sehatan saja."
Riana ingin bicara namun bibirnya masih bergetar. Sasa yang sangat peduli padanya langsung saja membawanya pergi keruang UKS.
Pavlo berjalan di sepanjang koridor bersama Revano, Dion, dan Yustine menuju kelasnya. Semua Murid hanya bisa mengaguminya saat berpapasan dengannya. Bahkan Pavlo tetap tersenyum hangat dan menyapa semua Murid, dan tidak perna menunjukkan wajah dingin pada semua Murid di sekolahnya.
Semua murid menyebutnya dengan sebutan nama (Malaikat bersayap putih)
Siswa lain dari belakang mengejarnya. "Kakak kelas tunggu!"
Pavlo berbalik dan diam dari sana.
"Kakak Pavlo, tolong tandatangani ini! Ini adalah rekaman musik Biola yang kau tampilkan semalam di restoran, Ayahku membuatkan album kaset untukmu," kata anak seorang artis ternama Krisna.
Pavlo memutar bolak-balik album kaset itu lalu tersenyum bangga. "Katakan pada Ayahmu, terima kasih dariku."
Krisna menyodorkan pulpennya pada Pavlo, namun punggung tangannya tiba-tiba saja di tangkis kasar oleh Pavlo. Pavlo sebaliknya terlihat sangat bersemangat mangambil pulpennya sendiri di dalam tas ranselnya.
Tangan Krisna terasa sakit dan ngilu seketika, bahkan sudah memar dan mulai membengkak. Krisna ingin mengatakan perbuatan itu padanya, yang sudah menyakiti tangannya. Tapi dia tetap mengurungkan niatnya karna Pavlo sepertinya tidak menyadari perbuatannya, atau bisa saja tidak sengaja lakukan hal itu.
Pavlo sudah membuat tanda tangan cantiknya di atas album kaset, lalu menyodorkannya pada Krisna dengan senyum pesonanya. "Apakah masih ada lagi adik kelas? Biar aku tanda tangani sekalian, " tanya Pavlo, namun arti di balik pertanyaannya mengandung makna lain.
Krisna memperhatikan gerak gerik wajah Pavlo yang matanya sedari tadi tidak melihatnya, tapi matanya hanya terus melihat ke arah Revano.
Revano sendiri ternyata memberi kode mata untuk mengendalikan amarahnya, karna sifatnya itu sering tiba-tiba muncul tidak pada waktunya.
