Bab 18 Bersembunyi
Bab 18 Bersembunyi
Sudah tiga hari berlalu sejak hari ketika para orang suruhan rentenir itu menghancurkan toko Flora. Gadis itu tak membuka tokonya. Ia tak memiliki modal untuk membeli bunga sebab modalnya sudah habis untuk diberikan sebagai pembayaran bunga yang rusak itu dan bunga yang akan datang minggu depan. Tidak ada yang tersisa selain uang untuk membayar utang dan uang makan seadanya.
Pagi itu, Flora ingat betul bagaimana keadaan toko bunganya yang sudah sangat berantakan. Ia mendapatkan pesanan dan terpaksa mengerjakan pesanan dengan bunga yang tersisa yang masih layak digunakan. Sementara itu pesanan lainnya terpaksa ia batalkan karena memang tak ada bunga yang tersisa.
Flora benar-benar terpukul pagi itu. Keadaan benar-benar di luar kendali dan ia tak memiliki kekuatan untuk melawan. Membayar utang adalah kewajibannya sekalipun rasanya berurusan dengan mereka semakin menyiksa saja.
Gadis itu berusaha tegar. Ia mencoba membersihkan semuanya. Ia buang bunga-bunga yang sudah tak dapat digunakan. Ia tutup toko dan menguncinya dari dalam. Ia bersembunyi. Menghindari semua orang bahkan Bibi Mira.
Di dalam toko, Flora menyalakan lampu seadanya. Ia membersihkan bagian dalam toko. Menyapu, merapikan isinya termasuk memilah bunga-bunga yang masih layak jual. Sebagian besar memang sudah ia buang. Sementara sisanya masih bisa di jual meskipun sebenarnya tidak ada yang membeli dan berakhir menjadi semakin layu dan berubah warna.
“Tidak ada yang bisa diselamatkan lebih dari ini,” monolog Flora memandangi keadaan tokonya yang belum juga rapi padahal sudah tiga hari. Ia menghela napas ketika melihat ke sekelilingnya di mana bunga-bunga yang awalnya cantik kini nampak mengenaskan.
“Kasihan sekali kalian,” ucap Flora sambil mengambil setangkai bunga krisan warna putih yang batangnya sudah tak segar lagi. Warna sudah tak seputih sebelumnya dan kini kelopaknya nampak tak kuat untuk menahan mahkota bunganya.
“Kalian harusnya sudah berada di tangan para pelanggan. Dipuja karena keindahan kalian, membawa senyum bagi mereka, diperlakukan baik sebagai penghias ruangan, dan dapat mendatangkan keuntungan untukku. Tapi, gara-gara para penagih hutang itu, kalian harus berakhir seperti ini. Maaf, aku tidak dapat menjaga kalian dengan baik,” ujar Flora berbicara dengan bunga-bunganya.
“Aku tidak lagi bisa membuka toko selama beberapa hari kedepan sampai akhir minggu. Awal minggu barulah bunga-bunga baru akan dikirim. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan selama toko tutup. Kalian semua hampir layu dan aku tidak berani menerima pesanan lagi,” kata Flora sambil duduk di lantai di antara bak-bak putih bekas cat tembok yang ia gunakan sebagai pengganti pot bunga.
“Aku harus bersabar sampai akhir minggu. Mungkin bisa sambil memperbaiki ruangan kecil ini. Lagipula, tidak banyak yang bisa aku kerjakan. Atau mungkin aku bisa membantu bibi Mira nanti. Itupun jika aku ingin,” ucap Flora pada dirinya sendiri.
Gadis itu lantas berdiri. Beranjak dari tempatnya kemudian mulai menata kembali pot-pot bunga ke sisi lain di ruangan itu. Ia memindahkan kursi dan meja. Menatanya sedemikian rupa supaya terlihat lebih baik dan nyaman untuk ia gunakan nanti. Flora juga menyapu, memindahkan posisi rak bunga, bahkan membersihkan dinding yang sebelumnya sempat kotor karena ulah para penagih hutang. Flora benar-benar melakukannya sendiri sedikit demi sedikit.
Ketika gadis itu masih berada di dalam toko yang sengaja ia kunci, suara motor yang tak asing itu datang lagi. Motor yang sudah tiga hari selalu datang namun tak pernah ia bukakan pintu untuknya.
Flora mendengar mesin motor itu berhenti. Terdengar juga suara langkah kaki setelahnya. Flora berhenti bergerak. Jantungnya berdetak cepat. Khawatir jika sampai keberadaannya di dalam akan diketahui oleh dia yang baru datang.
Flora berusaha bergerak dengan pelan. Melepas alas kakinya dan membiarkan lantai yang dingin bersentuhan langsung dengan telapak kakinya. Sebiasa mungkin ia bergerak dan tidak membuat suara yang akan menimbulkan kecurigaan dari seseorang yang ada di luar sana.
“Apa Flora sedang di dalam? Atau Flora pergi ke tempat lain?” monolog pemuda itu yang rupanya berdiri tepat di depan pintu toko yang terkunci.
Dari dalam, Flora dapat mendengar semuanya. Namun, ia hanya diam seperti hari sebelumnya. Gadis itu hanya diam. Menunggu dan mendengarkan apa yang pemuda itu ucapkan. Ia benar-benar belum siap jika harus berhadapan dengan Troy. Ia belum siap mendapatkan berbagai macam pertanyaan dari pemuda itu. Belum ada jawaban yang dapat ia jadikan alasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan Troy tanyakan padanya.
“Sudah tiga hari toko tutup. Apa terjadi sesuatu? Apa dia ada acara keluarga? Atau dia pergi keluar kota?” ucap Troy yang lagi-lagi masih dapat Flora dengar. Mungkin itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang Troy pikirkan saat ini. Segala kemungkinan yang bisa saja terjadi sebagai alasan mengenai tutupnya toko itu selama beberapa hari.
Sebenarnya, jauh dalam lubuk hati Flora yang terdalam. Ia ingin sekali keluar. Bertemu dengan Troy sekedar untuk membuat pemuda itu tidak mengkhawatirkannya. Bagaimanapun, Troy sangat baik. Ia begitu perhatian dan peduli padanya. Hanya saja Flora memang masih canggung. Apalagi jika Troy sampai mengetahui kelemahannya dan urusannya dengan rentenir itu. Kemungkinan akan timbul masalah lagi nantinya. Dan yang sungguh Flora hindari adalah, ia tak ingin merepotkan Troy. Atau membuat pemuda itu tidak nyaman.
Setiap malam, meskipun keduanya masih saling berhubungan melalui telepon. Flora selalu berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan Troy mengenai toko yang tutup. Sebisa mungkin ia mencari topik lain yang jelas-jelas menyimpang dari urusan toko. Troy tidak perlu tahu apa yang terjadi sampai nanti keadaan kembali seperti semula.
“Semoga nanti malam, Flora mau menjelaskan kenapa toko tutup. Sebenarnya aku rindu berbicara secara langsung dengannya,” ujar Troy disusul dengan helaan nafas yang terdengar begitu dalam.
Flora berjalan makin dekat dengan pintu. Ia mencondongkan dirinya pada lubang kunci kemudian mengintip Troy dari sana.
Sungguh, Flora pun rindu sebenarnya. Ingin sekali bertemu dengan Troy dan berbicara banyak hal dengannya. Entah itu hal penting, atau sekedar cerita-cerita ringan tentang pengalaman hidup pemuda itu. Namun sekali lagi, Flora harus menahan diri. Tunggu beberapa hari lagi. Ketika keadaan sudah kembali normal, ia dan Troy pasti bisa duduk bersama dan saling bicara.
“Aku harap harap kamu baik-baik saja, Flora. Semoga kita segera dapat bertemu kembali,” ucap Troy sebelum berjalan menjauh. Ia kembali ke motornya dan meninggalkan toko bunga.
Sementara itu, Flora merosot jatuh terduduk ke lantai. Jantungnya berdegup kencang. Lebih kencang dan cepat dari sebelumnya.
Ia tidak pernah mendengar seseroang mengkhawatirkannya selain kedua orang tuanya. Ia tak pernah merasa keberadaannya begitu dibutuhkan dan diharapkan setelah kepergian kedua orang tuanya. Ketika mendengar Troy mengkhawatirkannya bahkan tanpa ia ketahui bahwa Flora mendengar ucapannya. Gadis percaya bahwa di dunia ini masih ada orang yang mengharapkan kebaikan untuknya. Masih ada orang yang mempedulikannya dan berharap yang terbaik untuk Flora. Seseorang yang secara tulus menganggapnya sebagai bagian dari hidup.
“Troy, andai kamu tahu bahwa aku di sini. Aku sendirian membereskan kekacauan ini. Akankah kamu membantuku?” monolog Flora dengan pandangan mengarah pada lubang kunci yang tadi ia gunakan untuk mengintip Troy.
“Tolong jangan khawatrikan aku. Aku baik-baik saja. Semua ini akan segera berlalu seperti masalah lainnya,” ucap Flora.
[]
