Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 17 Bencana Pagi

Bab 17 Bencana Pagi

Hari berikutnya Flora bangun lebih awal dari biasanya. Ia sengaja bersiap lebih awal bahkan setelah subuh karena persediaan bunga di toko sudah mulai menipis. Selain itu Flora ingin menambah jenis bunga baru untuk dijual di tokonya.

Flora meninggalkan rumah lebih pagi dari biasanya. Pergi ke tempat seorang pengepul bunga yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Membawa uang modal yang sengaja ia siapkan khusus untuk beberapa jenis bunga baru yang sebelumnya sudah pernah ia tanyakan harganya. Flora ingin memastikan sendiri kualitas bunga-bunga yang akan ia jual termasuk jenis-jenis yang ada disediakan.

Butuh waktu cukup lama selama perjalanan dari rumah menuju tempat pengepul. Flora harus melewati beberapa gang dan jalan besar sambil mengayuh sepedanya. Beruntung Flora sudah sarapan sehingga ia punya tenaga lebih dan perasaan yang lebih baik selama perjalanan.

Sekitar tiga puluh menit perjalanan, Flora pun sampai di tempat pengepul. Sebuah gudang bunga yang sejak subuh sudah mendatangkan bunga-bunga segar dari petani untuk kemudian dikirim ke toko-toko bunga langganan termasuk toko milik Flora.

Begitu tiba di lokasi, Flora parkir sepedanya di tempat parkir sebelah deretan sepeda motor. Ia pastikan sepedanya aman dengan menguncinya dan meminta petugas parkir untuk memperhatikan sepeda miliknya. Gadis itu merapatkan jaket juga memposisikan tasnya di depan supaya ia bisa memastikan bahwa isi tas kecilnya tetap aman.

Flora masuk ke tempat si pengepul. Menyapa beberapa kuli yang mengangkut bunga juga beberapa orang lain yang sudah ia kenal sebelumnya.

“Mas, Pak Win ada?” tanya Flora usai menahan seorang kuli yang baru kembali setelah memindahkan bunga ke sebuah truk kecil. Kebetulan hanya dia yang tidak membawa beban sehingga Flora tak terlalu sungkan karena menganggu pekerjaannya.

“Oh, Neng Flora,” sapa kuli itu dengan ramah karena memang keduanya sering bertemu ketika kuli itu mengantar bunga pesanannya. “Mencari Pak Win?” tanyanya memastikan.

“Iya. Saya ada janji sama Pak Win mau pesan bunga jenis baru untuk dikirim ke toko,” jelas Flora.

“Begitu rupanya. Pak Win ada. Mungkin sedang mengurus kiriman untuk toko bunga lainnya. Neng Flora silahkan menunggu dulu. Atau Neng Flora mau berkeliling melihat-lihat? Banyak pasokan bunga segar yang baru datang hari ini.”

“Baiklah. Mungkin sambil menunggu saya akan berkeliling sebentar,” ucap Flora.

“Kalau begitu, bapak lanjut bekerja dulu. Nanti kalau bertemu dengan Pak Win, akan bapak sampaikan kalau Neng Flora sedang menunggu.”

“Iya, begitu pun tak apa. Terima kasih, Pak.”

Dan keduanya pun berpisah. Flora pergi ke tempat bunga-bunga yang baru datang sementara kuli itu melanjutkan tugasnya.

Flora melihat-lihat berbagai jenis bunga. Semuanya masih segar dengan warna yang cantik-cantik. Kelopaknya masih sehat. Utuh dan beberapa bahkan mengeluarkan aroma wangi yang begitu menenangkan.

“Senangnya andai bisa mendatangkan lebih banyak bunga ke toko. Semoga lain kali bisa melakukannya,” monolog Flora sambil tersenyum menatap sekeranjang penuh bunga sedap malam.

“Neng Flora?” seorang bapak-bapak yang mengenakan rompi berwarna biru tua menyapanya. Mendekat pada Flora dengan senyum lebar sambil membawa sebuah papan seukuran kertas A4 dimana beberapa kertas terjepit di ujung papannya.

Merasa namanya dipanggil, Flora pun menoleh. Ia tersenyum membalas panggilan bapak itu dan menunggu hingga orang yang adalah Pak Win itu berdiri di hadapannya.

“Sudah lama tiba?” tanya Pak Win dengan ramah.

Pak Win memang seperti ini. Sifatnya lembut, baik, dan ramah. Ia dulu berteman baik dengan mendiang ayah Flora. Dan berkat beliau pula, dulu saat Flora mulai menjalankan bisnis toko bunga ia bisa mendapatkan kemudahan dalam hal pasokan bunga. Pada awal usaha itu ia kelola pun, Floa sering menunggak membayar pasokan bunga. Dan Pak Win mengerti keadaan Flora saat itu.

“Baru beberapa menit yang lalu, Pak,” jawab Flora. “Saya datang lebih pagi karena ingin melihat bunga-bunga baru untuk di kirim ke toko. Saya mau menambah jenis bunga lain.”

“Begitu rupanya. Kamu sudah berkeliling?”

“Sudah, Pak. Saya sudah melihat beberapa jenis bunga seperti sedap malam, dan aster. Saya Saya pikir saya ingin menambah sekeranjang bunga sedap malam untuk pengiriman selanjutnya.”

“Boleh. Mau dikirim kapan?”

“Bagaimana kalau dikirim dua hari lagi? Persediaan memang sudah berkurang dan bukankah hari ini bapak mengirim tambahan bunga mawar dan tiga keranjang bunga lili?”

“Iya. Baru saja truk berangkat mengirim ke tempatmu. Kamu hanya ingin menambah dua jenis bunga itu saja? Aster dan sedap malam?” tanya Pak Win sambil mencatat di buku notanya.

“Iya. Dua itu saja dulu. Saya hanya punya sedikit tambahan modal,” balas Flora.

Pak Win tersenyum dengan hangat layaknya pada anak sendiri. “Tidak masalah. Bapak senang kamu sudah mulai bisa mengembangkan usaha. Tapi kalau boleh bapak sarankan, bagaimana kalau bunga yang baru kami kirim minggu depan saja?”

“Minggu depan? Kenapa begitu?”

“Minggu depan akan ada tambahan kiriman bunga aster dan sedap malam dari Bogor. Kualitas bunganya lebih bagus dari kiriman minggu ini. Sekalian dengan pengiriman bunga untuk minggu depan saja, bagaimana?” usul Pak Win.

“Begitu juga tak apa. Kiriman hari ini sepertinya cukup untuk beberapa hari kedepan. Lagipula, saya pun belum ada uang lebih untuk pelunasan pengiriman minggu depan.”

Pak Win berdecak. “Sudahlah. Kamu tidak perlu memikirkan itu.”

“Tidak bisa, Pak. Bagaimanapun, saya tetap harus memikirkannya. Itu kewajiban saja,” balas Flora dengan ramah. Gadis itu lantas mengeluarkan dompet dan mmberikan sejumlah uang pada Pak Win.

“Ini untuk pembayaran bunga hari ini. Dan sisanya untuk pembayaran bunga kiriman minggu depan. Itu masih setengahnya, Pak. Sisanya akan saya berikan ketika barang sudah datang,” ujar Flora.

Pak Win pun menerima bunga itu lantas menghitungnya. “Pas. Terima kasih. Kamu setelah ini mau langsung pulang?” tanyanya.

“Iya. Saya harus bersiap membuka toko lebih awal karena ada pesanan bunga yang harus saya kerjakan,” balas Flora.

“Baiklah. Hati-hati di jalan,” pesan Pak Win.

Mereka pun berpisah. Flora kembali pulang sementara Pak Win melanjutkan pekerjaannya.

Flora mengatuh sepedanya melewati jalannya berangkat tadi. Ia mengayuh dengan semangat. Sudah membayangkan bahwa bunga-bunga segar itu pasti tertata dengan rapi di tokonya dan akan menarik pelanggan yang datang.

Flora masih begitu bersemangat ketika makin dekat dengan tokonya. Namun, begitu ia sudah benar-benar tiba di depan toko. Flora berdiri dengan wajah tak percaya. Ia menatap kosong ke arah toko. Menyaksikan bunga-bunga yang baru saja di kirim terlihat hancur dan layu karena terinjak. Orang-orang itu masih di sana. Seperti menunggu Flora dengan sengaja.

“Datang juga akhirnya,” ucap salah satu dari mereka yang memakai jaket kulit dengan bekas luka di wajahnya.

“Ada apa? Kenapa kalian datang sepagi ini? Kenapa kalian menghancurkan toko saya?” tanya Flora menatap orang itu dengan lesu. Ia tidak menyangka harus melihat ini lagi. Padahal ia sudah mengangsur utang ayahnya. Tapi lagi-lagi, mereka datang dan merusak semuanya.

“Bagus karena masih pagi. Masih segar untukmu,” balas orang suruhan lintah darat itu. “Ini sekedar peringatan. Pembayaran yang kemarin belum cukup. Itu hanya untuk bunganya saja. Belum pokok pinjamannya,” ucapnya. “Akhir bulan, kamu harus bayar dua kali lipat. Kalau tidak, saya hancurkan toko ini lagi,” ancamnya dengan garang. Wajahnya menunjukan aura mendominasi. Kuat, juga sadis.

“Kalau kalian hancurkan lagi, bagaimana saya bisa mengumpulkan uang?” ucap Flora.

“Saya tidak peduli. Itu urusanmu. Kamu pikirkan saja caranya sendiri!”

Flora terdiam. Ia gemetar ketakutan. Sedih, menyesal, dan merasa lelah secara tiba-tiba. Ia hanya bisa tertunduk pasrah ketika salah seorang dari mereka memukul Flora dengan seikat bunga sebelum pergi. Flora tak membalas. Ia hanya diam dan setelah semua penagih hutang itu pergi, Flora terduduk di tanah dan menangisi nasipnya.

[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel