Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Mengunjungi Mereka

Bab 14 Mengunjungi Mereka

Waktu begitu cepat berlalu. Hari berganti hari, bukan berganti bulan, musim berganti, bahkan tahun pun semakin bertambah angkanya. Usai seseorang tidak ada yang tahu. Nasib seseorang pun tidak ada yang tahu. Waktu seperti es. Digunakan ataupun tidak, ia akan tetap habis. Mencari ataupun menguap, waktu berganti seperti seharusnya.

Seorang anak yatim piatu yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, Flora rasanya mulai memahami siklus itu. Waktu yang terus berputar, dan orang-orang yang datang dan pergi sesuka hatinya. Terkadang mungkin takdirnya seperti itu. Setiap ada yang datang selalu ada yang meninggalkannya. Entah pergi untuk sementara demi mencapai tujuannya, atau pergi untuk selamanya untuk mencapai keabadiannya. Pun begitu dengan kedua orang tuanya. Mereka pergi, meninggalkan Flora untuk selamanya dalam keabadian di sisi Sang Pencipta.

Ketika masa-masa awal kehilangan kedua orang tuanya, Flora begitu berduka. Sedih, merana, dan kesepian. Mengenang kehilangan itu dalam kepiluan dan tangis setiap malam. Ia tak lagi memiliki pegangan dan semua masalah yang datang setelahnya menjadi rasa sakit lain dalam hidupnya.

Flora tidak pernah menyesal. Ia tidak menyalahkan kedua orang tuanya atas apa yang ia alami saat ini. Ia tahu, semua yang saat ini ia alami bukanlah salah kedua orang tuanya. Semua orang selalu berusaha yang terbaik selama mereka mampu, sama seperti kedua orang tuanya semasa hidup. Apapun yang terjadi mereka selalu memenuhi kebutuhan Flora lebih dahulu. Memastikan gadis itu tidak kekurangan satu apapun termasuk kasih sayang yang tak pernah henti mereka curahkan.

Hidup bergelimang kasih sayang membuat Flora berada dalam zona nyaman. Zona aman yang sama sekali tak pernah ia pikir bahwa ia akan kehilangan semuanya sebelum ia siap. Ia merasa masih banyak hal yang belum sempat ia lakukan. Ia belum membuat kedua orang tuanya bangga atau membahagiakan mereka. Namun, Tuhan mengambil mereka lebih cepat dari yang dapat Flora bayangkan. Selain pasrah dan menerima keadaan, Flora tak dapat melakukan hal lainnya. Kesedihan yang berlarut-larut, dan masalah yang semakin merenggut kebahagiannya. Flora tak ingin menyerah dengan keadaan. Situasi memaksanya bangkit dan membuatnya menjadi Flora yang sekarang.

Sudah jadi kegiatan rutin bagi Flora. Pada hari minggu ia akan menutup tokonya. Gadis itu mengistirahatkan usahanya selama sehari dalam seminggu untuk beristirahat. Selain karena ia pun kelelahan setelah enam hari bekerja tanpa henti. Dan ia juga memikirkan bahwa jika ia terlalu memaksakan diri, ia khawatir jika ada masalah dengan kesehatannya dikemudian hari yang tentu akan menjadi kerugian tersendiri baginya. Flora selalu menyisihkan hari minggu sebagai hari keluarga baginya. Seperti keluarga lain, Flora selalu menjadikan hari minggu sebagai hari untuk berkumpul dengan keluarga sekalipun ia sudah tak memiliki siapa-siapa.

Sejak pagi, gadis itu sudah bangun dan melakukan rutinitasnya. Memberihkan rumah, mandi, mencuci pakaian, sarapan, dan memeriksa pembukan toko. Gadis itu melakukan semuanya secara teratur tanpa halangan seperti biasa.

Merasa cukup dengan apa yang ia lakukan, Flora menutup bukunya. Menyimpan catatan itu di lemari seperti biasa lantas mengambil sehelai pakaian yang akan ia kenakan pada hari itu. Flora memang tidak memiliki banyak baju. Ia selalu memisahkan pakaiannya sesuai dengan kebutuhan. Pakaian rumahan, pakaian yang biasa ia kenakan untuk bekerja. Dan pakaian istimewa yang akan selalu ia gunakan ketika hari minggu tiba. Tidak banyak pakaian istimewa yang ia miliki. Hanya beberapa potong dress selutut dengan warna-warna pastel polos yang menjadi ciri khasnya. Karena Flora hanya memiliki beberapa helai baju istimewa, baju-baju yang sama akan selalu ia kenakan beberapa kali. Mungkin beberapa ada yang warnanya sudah kusam. Namun, Flora tetap mengenakannya. Sebab warna itu adalah warna kesukaan mendiang ibunya.

Pagi ini, Flora tidak membuka tokonya. Ia hanya membuka toko sebentar sekedar untuk membersihkannya dan mengambil beberapa tangkai mawar untuk ia bawa bersamanya. Flora lantas menutup toko kembali dan dengan sepeda pemberian Troy, gadis itu meninggalkan toko sendirian untuk pergi ke suatu tempat.

Selalu seperti itu, Flora akan pergi ke sana pagi dan menghabiskan waktunya seharian di sana. Ia tak lupa membawa bekal makan siang yang sengaja ia siapkan. Bukan bekal pemberian Bibi Mira seperti biasa. Ia juga membawa minuman dan alat kebersihan seadanya. Sekedar untuk berjaga-jaga jika pengurus tidak membersihkan tempat itu karena satu dan lain hal.

Flora dengan tenang mengayuh sepeda itu melewati jalanan beraspa. Berbelok dari satu gang ke gang lainnya. Melewati satu tikungan, sebuah perempatan kecil, lantas berhenti di sebuah gapura yang gerbangnya sudah terbuka. Tempat kesukaannya yang tak pernah memuat gadis itu bosan. Tempat ternyaman yang selalu ia rindukan. Dan tempat yang benar-benar ia rindukan saat ia merasa kehilangan.

Gadis itu berjalan pelan. Memarkir sepedanya di sebelah rumah sang juru kunci. Menyapa pria tua dan seorang wanita tua yang duduk sambil menikmati singkong rebus di halaman rumahnya. Flora meminta ijin meninggalkan sepeda di sana. Sementara ia akan mengunjungi makam kedua orang tuanya.

Ia berjalan. Melewati beberapa deret makam hingga menemukan dua makam saling bersebelahan tak jauh dari jalan utama makam. Flora lihat sekitar dan membersihkan tempat itu secukupnya. Ia gelar koran bekas sebagai alas duduk lantas menunduk dan berdoa di makam kedua orang tuanya.

“Bapak, Ibu. Flora datang lagi,” ucapnya sambil melihat kedua makam itu bergantian. “Flora sehat. Anak bapak dan ibu ini baik-baik saja dan makan dengan cukup.”

“Hari ini aku datang tidak untuk berkeluh kesah. Semua berjalan dengan baik minggu ini. Teramat baik hingga aku tak berhenti bersyukur setiap harinya.”

“Aku ingin bercerita sedikit pada bapak dan ibu. Minggu ini semua berjalan dengan lancar. Toko mendapatkan keuntungan yang sangat bagus dari minggu-minggu sebelumnya. Meski ada beberapa kendala, tapi semua dapat aku atasi berkat bantuan temanku,” cerita gadis itu. “Mengenai temanku itu, aku sudah ceritakan pada kalian sebelumnya. Namanya Troy, dan dia adalah orang yang sama yang menabrakku tempo hari.”

Flora tersenyum. Seperti mengingat kembali kenangannya saat pertama kali berkenalan dengan Troy melalui insiden kecelakaan pagi itu.

“Dia sangat baik padaku, Pak, Bu,” ucap Flora. “Dia membantuku dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan. Dia menjadi temanku berbagi cerita meski sebenarnya aku yang lebih sering mendengar keluh kesahnya. Tapi dia juga rekan kerja yang sangat ideal. Idenya benar-benar bagus dan itulah yang membuat dia terlihat begitu berkharisma.”

“Troy pemuda yang baik. Satu-satunya teman yang sejauh ini tidak memandang latar belakangku. Dia terlihat nyaman ketika kami berdua berbincang. Tidak ada sekat, tidak ada garis, maupun dinding pemisah. Semua mengalir apa adanya antara aku dan dia.”

Sekali lagi Flora tersenyum. Rasanya menyenangkan dan melegakan dapat bercerita bebas seperti ini. Mengungkapkan sesuatu yang tak dapat dengan bebas ia katakan pada orang lain.

“Pemuda itu ajaib. Dia dan sikapnya benar-benar tidak terduga. Terkadang aku merasa bahwa dia terlalu baik untuk menjadi teman dari orang sepertiku. Dia terlalu sempurna sementara aku terlalu apa adanya. Aku sempat berpikir, apakah aku pantas berteman dengannya? Tapi pada saat yang sama, sikap Troy menjawabnya. Dia tidak membuatku percaya dengan diriku sendiri bahwa aku memang pantas berteman dengannya.”

Flora kembali menatap kedua nisan itu bergantian. Dan setelahnya Flora tersenyum.

“Bapak, Ibu. Bolehkah aku menjadi teman Troy selamanya?”

[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel