Bab 8 - Tak Ingin Kehilangan
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya.
"Kamu mau kemana, Ai?
Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.
Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.
Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya.
"Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP.
"Oh, itu ruangan suaminya. Pria itu di rawat di rumah sakit ini juga."
Aileen dan Mardiana hanya melihat dari kejauhan, bagaimana Aira mengusap airmatanya yang mengalir di pipi lalu beranjak pergi menjauhi ruangan itu.
"Kenapa dia menangis?"
"Dia sedih melihat suaminya."
"Kenapa?" tanya Aileen bingung. "Apa kondisinya buruk?" tebaknya.
"Ayo kita lihat," ajak Mardiana. "Kamu akan tahu begitu melihatnya."
Mardiana membawa Aileen mendekati pintu. Dari celah pintu yang terbuka, keduanya dapat melihat sosok pria yang duduk termangu di ranjang—menatap keluar jendela. Tatapannya kosong bagai boneka tak bernyawa.
"Dia tidak ingin hidup lagi," gumam Aileen. Dia mengenali tatapan itu. Sorot mata yang sama seperti pantulan raut wajahnya di cermin.
"Ya, mungkin tak lama lagi pria itu akan segera menyusul istrinya," imbuh Mardiana seolah membenarkan pernyataan Aileen.
Hati Aileen mengerut sakit, bagai di peras dengan arah memutar hingga setiap sudut berkedut rapat. Entah perasaan apa yang bisa ia gambarkan saat ini.
'Kasihan 'kah? Atau sekedar rasa empati sebagai sesama manusia yang telah kehilangan hasrat untuk hidup. '
***
Daren meletakkan kaleng susu steril tepat disamping Aileen. "Minumlah," ucapnya.
Ia mengambil tempat disamping wanita yang telah menghabiskan tiga puluh menit waktunya dengan memandang jauh menembus awan di balik langit yang kelabu.
"Apa yang kamu cari?"
"Orion," sahut Aileen singkat.
Daren memusatkan matanya untuk mencari rasi bintang yang di cari wanita disampingnya. "Tidak akan terlihat malam ini. Langitnya mendung."
Ia yakin, malam ini akan sulit untuk menemukan rasi bintang karena nebula akan mengaburkan cahaya bintang di balik awan-awan debu yang menghalangi pandangan.
"Hanya berharap sedikit keajaiban," gumam Aileen.
Dia membuka kaleng yang dibawa Daren, memetik pin hingga menimbulkan suara nyaring begitu lubang terbuka. Aileen menyesap susu berasa tawar itu perlahan lalu mengangkatnya untuk meneguk lebih banyak. Dia kembali meletakkan kaleng yang masih menyisakan setengah cairan, ke tempatnya semula. Lalu kembali menengadahkan kepala mencari posisi nyaman untuk menatap hamparan langit luas tak berbatas.
"Dok, boleh aku bertanya?"
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Berapa lama lagi aku bisa hidup?"
Daren mengerutkan keningnya, mencoba mencari jawaban yang sesuai untuk menjelaskan kondisi kesehatan Aileen tanpa memberikan kesan buruk.
"Kamu bisa hidup lebih lama kalau serius menjalani pengobatan dan kemoterapi secara teratur."
Aileen menarik senyum sinis. "Dokter selalu mengunakan bahasa klise untuk menenangkan pasiennya."
Daren tersenyum maklum. "Lalu? Apa yang ingin kamu dengar?"
"Angka pasti."
Aileen meluruskan tubuhnya untuk duduk lebih tegak. "Sebulan, dua bulan?" tebaknya.
Daren mendesah pelan. "Aileen, penyakit apapun bisa disembuhkan asalkan kamu berusaha melawannya."
"Hah, bicara dengan seorang dokter memang membosankan," desah Aileen. Dia melengos malas lalu kembali memandang langit.
"Sebulan kalau kamu terus menunda kemoterapi dan obat-obatan," tandas Daren. "Jadi, berhenti keras kepala."
"Dok, Ayahku menjalani perawatan dan kemoterapi di rumah sakit ini selama dua tahun. Aku sudah melihat semua rasa sakit yang di alami Ayah saat itu,"
Aileen menghela nafas panjang. "Saat melihatnya menderita dan ingin menyerah, aku selalu memaksanya untuk terus berjuang hidup."
Daren tidak ingin menyela suasana karena dia bisa melihat dengan jelas jelaga melapisi bola mata wanita yang selalu berusaha tampak tegar di hadapan orang lain. Namun kali ini, Daren bisa merasakannya. Perasaan lemah dan lelah.
"Tapi, sekarang aku tahu. Saat itu, pasti Ayah sangat lelah karena rasa sakit ini begitu menyiksa," lanjut Aileen bersama bulir airmata yang mengalir di pipinya.
"Maaf," gumam Daren tanpa maksud apapun.
"Kenapa kamu minta maaf?" Aileen menghapus airmatanya lalu tertawa pelan. "Kamu lucu dan aneh."
Daren terdiam. Sulit baginya menebak jalan pikiran wanita itu.
"Ok, waktu untuk meratap sudah selesai," seru Aileen seolah memacu semangat di hati dan tubuhnya. "Aku masuk." Pamitnya tanpa menunggu jawaban.
Daren menatap di kejauhan sampai bayangan Aileen menghilang di balik persimpangan lorong rumah sakit. Benaknya bergumam kagum dengan kemampuan wanita itu merubah suasana hatinya dalam sekejap.
Namun firasat Daren mengatakan, wanita itu hanya mencoba kuat di hadapan orang lain tapi kenyataannya berbeda. Karakter seperti Aileen jauh lebih berbahaya dibandingkan karakter lain pada umumnya karena tingkat emosinya cenderung tidak stabil.
Pada saat luapan emosinya tak lagi terbendung dan terkendali, akan sulit bagi Aileen untuk berbenah dan bangkit lagi sehingga keputusan cepat akan menjadi solusi.
***
"Sampai kapan kamu mau menunggu disini?"
Aira tersenyum pahit mendengar pertanyaan Aileen. Wanita itu datang bersama Mardiana dan Rachel. Belakangan ini mereka sering terlihat bersama atau lebih tepatnya Mardiana dan Rachel yang menempel kemanapun Aileen pergi.
"Sampai aku yakin, dia akan baik-baik saja saat aku tiada."
Aileen berdecak pelan. "Konyol. Tidak ada orang yang baik-baik saja ditinggalkan orang yang dicintainya."
Aira diam, tidak membantah. Apa yang dikatakan Aileen benar, tidak ada seorangpun yang sanggup kehilangan orang yang dicintainya. Begitupula Aira, meski masih bisa melihat Bagas, hatinya menjerit pilu karena tidak bisa lagi memilikinya, bahkan sekedar menyentuhnya.
"Itu siapa? Istri barunya?"
Rachel mendesis kesal karena mulut Aileen yang terlalu blak-blakkan.
"Tidak bisakah kamu menjaga perasaannya?" Keluh Rachel. Dia menunjuk ekspresi wajah Aira yang sedih.
Aileen mendesah pelan. "Dia harus mulai menerima kenyataan."
"Namanya Soraya, adik tiri ku," sahut Aira pelan.
Mardiana mengelus pundak hantu cantik itu. "Kamu harus kuat, Nak."
"Wanita itu menyukai suamimu," ucap Aileen.
Mardiana dan Rachel kompak menatap bocah gila. "Mereka hanya saudara ipar, Ai," ucap Mardiana menengahi. Ia kasihan melihat wajah Aira yang semakin suram.
"Kalian mau bertaruh?" Tantang Aileen.
Ia seratus persen yakin wanita itu menyukai suami Aira. Aileen pernah melihat sorot mata yang sama, sorot mata manusia yang menginginkan milik orang lain.
"Kak Ai, apa yang kakak lihat?"
Aileen tersentak kaget melihat Denis berdiri disampingnya. Ia cepat-cepat mendorong Denis menjauhi pintu masuk ruangan VIP agar orang-orang di dalam sana tidak menyadari bahwa sedari tadi Aileen mengintip mereka.
"Kenapa kak? Kok buru-buru?"
"Cepetan, kita harus segera membereskan barang." Aileen menarik Denis menuju ruangannya.
Hari ini Aileen di izinkan keluar dari rumah sakit, dengan syarat dia harus kembali untuk melakukan rawat jalan seminggu sekali dan segera ke rumah sakit bila merasakan sakit perut yang tidak tertahankan.
"Bagaimana dengan administrasi?"
"Aku sudah menyelesaikannya tapi kakak pasti sedih karena itu satu-satunya peninggalan Ayah 'kan?"
Aileen terdiam sesaat lalu menghela napas panjang. "Biarkan saja. Toh aku tidak bisa membawanya ke akhirat," cetusnya santai.
Namun, sudut hati Aileen menangis. Kalung itu adalah satu-satunya peninggalan Ayah untuknya dan kini Aileen harus merelakannya untuk membayar biaya rumah sakit.
Denis menatapnya kasihan.
"Setelah pulang, kakak harus lebih banyak istirahat. Jangan memikirkan apapun lagi," pesan Denis.
"Atau, kakak tinggal bersama kami saja. Jadi aku dan Ibu bisa memantau kondisi Kak Ai," tawarnya. Denis melipat baju Aileen lalu memasukkannya ke dalam tas besar.
Aileen tertawa sinis. "Terima kasih tapi aku tidak tertarik."
"Ai, Ai! Tolong Bagas, aku mohon."
Aileen mengerjapkan mata, bingung. Aira tiba-tiba muncul sambil berteriak dengan wajah panik dan menarik lengan Aileen untuk ikut bersamanya.
"Kenapa sih?" Desis Aileen setengah berbisik agar Denis tidak curiga.
"Bagas, Ai. Bagas," ucap Aira terbata. "Tolongin Bagas," pintanya di sela derai airmata.
Aileen menautkan alisnya. "Aira, katakan dengan jelas," sentaknya. Ia mulai kesal karena Aileen hanya menangis tanpa alasan.
"Kenapa Kak Ai? Siapa Aira?" tanya Denis bingung karena tiba-tiba Aileen bicara sendiri.
"Ba—Bagas mau lompat dari atap!"
*****
