Bab 7 - Luka Tak Berdarah
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.
Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu.
"Apa itu?"
Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket.
"Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.
Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya.
"Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"
Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit.
"Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan."
"Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam."
"Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen.
"Nggak, Kak. Penyakit Kak Ai sering kambuh saat malam hari, aku nggak mungkin ninggalin Kak Ai sendirian," tolak Denis tegas.
"Jangan memikirkan apapun Kak. Percayalah pada ku."
Aileen memperhatikan setiap gerakan adik tirinya. Beberapa hari terakhir, sepulang kuliah Denis langsung datang ke rumah sakit untuk menemani Aileen. Meski Aileen mengusirnya, Denis seakan tak bergeming. Dia tetap setia disampingnya.
"Mungkin ini rasanya punya keluarga," batin Aileen sambil menarik seulas senyum bahagia di bibirnya.
***
Denis membuka pintu rumah dan terkejut begitu mendapati seluruh perabotan rumah hancur berantakan di lantai.
"Bu."
"Pak," panggil Denis mencari penghuni rumah.
Dia masuk dari satu ruangan ke ruangan lain, tapi tidak menemukan Bapak dan Ibunya dimanapun. "Jangan-jangan preman itu datang lagi?" Pikir Denis.
Denis berlari keluar rumah menuju rumah tetangga.
"Mbok, liat Bapak sama Ibu?" Buru nya begitu melihat Mbok Darmi. Wanita paruh baya itu tengah menyiangi daun ubi dari batangnya.
"Wah, kamu telat pulang, Den! Tadi ada dua preman ngamuk di rumahmu. Bapak sama Ibu mu lari kocar-kacir di kejar para preman," jelas Mbok Darmi.
Denis langsung cemas membayangkan kondisi orangtuanya. Kemana dia harus mencari Bapak dan Ibu? Apa mereka berhasil di tangkap oleh para preman?
Pemuda itu terus berkutat dengan pikirannya hingga tidak menyadari seseorang mengendap-endap dan menepuk pundaknya.
"Den."
"Ibu!"
"Ssst! Jangan teriak-teriak ntar mereka tahu Ibu disini," Nani membekap mulut Denis dengan tangannya.
"Kita ngumpet disini aja dulu," ajak Nani. Dia menarik tangan putranya menuju sudut di balik kandang ayam.
"Bapak mana?" Tanya Denis mencari sosok Bapaknya.
"Bapak mu lagi nyari uang."
"Nyari uang? Bapak kerja?"
Nani melambaikan tangannya cepat. "Bapakmu ada uang simpanan sedikit, jadi kami ke rumah Koh Aling."
"Bapak sama Ibu ke rumah judi lagi?!" Denis membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Kenapa uangnya nggak di pake buat bayar utang aja?" ujarnya kesal.
"Ah, ngapain! Itu 'kan utangnya Aileen."
"Bu!" Denis mengeram kesal. "Itu utang judi Bapak dan Ibu."
"Biar aja. Aileen sudah menyanggupi untuk membayar."
"Bu, Kak Ai lagi sakit. Kasihan dia, jangan membebaninya dengan masalah uang lagi," pinta Denis.
"Sekarang Ibu ada uang berapa? Denis butuh uang untuk membayar tagihan rumah sakit Kak Ai."
Nani mengerutkan kening. "Mana ada. Semua uang di pegang Bapakmu."
"Denis, kamu nggak usah ikut campur masalah Aileen. Lebih baik kamu pindah ke asrama kampus biar bisa belajar dengan tenang," ujar Nani. Menasehati putra semata wayangnya.
"Bu, Kak Aileen sakit kanker perut. Dia butuh banyak uang untuk berobat." Denis menggenggam tangan Ibunya. "Selama ini, Kak Ai udah banyak membantu kita. Sekarang waktunya bagi kita membalasnya, Bu."
Nani terdiam. Mendengar nama penyakit yang sama seperti yang di derita mantan suaminya membuat hati Nani gusar dan cemas. 'Berarti Aileen juga akan mati seperti Fahrul?'
***
"Senin ini kita akan mulai jadwal kemoterapi—"
"Aku tidak akan melakukan kemoterapi," potong Aileen cepat.
Daren mengernyit. Dia menaikkan alisnya untuk memastikan apa yang didengarnya.
"Apa?"
"Aku tidak akan melanjutkan pengobatan dan kemoterapi." Ulang Aileen. Ekspresinya datar menatap sang dokter.
Raut wajah Daren mengeras. "Apa maksudmu?"
"Kemoterapi bisa mendukung obat-obatan yang kamu konsumsi. Termasuk memperlambat perkembangan sel kanker sampai kita bisa menjadwalkan operasi."
Aileen menggeleng yakin. "Aku ingin berhenti menjalani pengobatan."
"Tapi—"
"Kapan aku bisa pulang, dok?" Sela Aileen.
Daren mendesah dalam. "Apa yang menyebabkan mu tiba-tiba menolak pengobatan lanjutan?"
"Kalau masalahmu biaya, rumah sakit bisa mencari solusi melalui pemerintah daerah."
Aileen kembali menggelengkan kepalanya. "Sebesar apapun bantuan yang diberikan belum tentu cukup untuk menutupi seluruh biaya rumah sakit. Lebih baik aku berhenti sekarang sebelum semakin besar," putus Aileen.
Daren masih mencoba untuk berdebat tapi Aileen bangkit dari kursinya lalu mengangguk kecil. Pamit pada Daren dan dua suster yang mendampingi.
Aileen keluar dari ruang pemeriksaan tanpa berpaling sekalipun, meninggalkan orang-orang yang masih menyimpan banyak tanda tanya di benak masing-masing.
***
"Oi, Aileen! Di mana wanita sialan itu!"
"Cepat keluar, jangan bersembunyi! Bayar utangmu."
Aileen mengerang dalam tidurnya. Ia terusik oleh suara nyaring bernada kasar yang memanggil namanya. Ia membuka mata dan memaksa tubuhnya untuk duduk tegak dengan bersandar pada bantal.
'Siapa yang mencari ku?' pikirnya.
"Bangun! Enak banget kamu tiduran disini. Bangun dan bayar utangmu."
"Kalian?!"
Aileen terpaku pada dua pria yang dikenalnya sebagai preman penagih utang Ibu. "Apa yang kalian lakukan disini?"
"Tentu saja menagih utang. Kamu kira apalagi?" sahut pria bertato ular.
"Mana janji mu? Kamu bilang dua hari. Ini sudah lewat lima hari tapi yang kalian lakukan hanya lari dan bersembunyi," bentak pria itu marah.
Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat apa yang terjadi. Rasa penasaran mulai terdengar, berdengung dari satu mulut ke mulut lainnya mempertanyakan akar masalah.
"Apa aku terlihat seperti orang yang bisa membayar utang sekarang?" Tantang Aileen.
"Halah, kalian selalu cari alasan. Kalau bukan karena hari ini aku berhasil menangkap si Nani sialan itu. Pasti kalian sudah kabur lagi," ujar pria lainnya. Di wajahnya ada luka codet yang memanjang hingga memberi kesan garang.
"Apa yang kalian lakukan pada Ibu ku?" Berang Aileen.
Aileen turun dari ranjang untuk menerjang pria bercodet tapi langkahnya di tepis kasar hingga membuat tubuh Aileen terhempas membentur rak kabinet disamping kiri ranjang.
"Aaa!" Teriakan ngeri para penonton bergemuruh begitu melihat Aileen jatuh.
"Hei, apa yang kalian lakukan! Ini rumah sakit," lerai pasien lainnya.
Para pria merengsek maju untuk menyeret para preman keluar sedangkan para wanita membantu Aileen bangun dari lantai.
"Cepat! Panggilkan sekuriti." Salah seorang penonton berlari keluar ruangan begitu mendengar perintah dari balik kerumunan.
"Apa yang kalian lakukan pada Ibu ku?" Teriak Aileen panik. Perasaannya bercampur antara marah dan cemas.
Pria bertato tertawa sinis. "Kamu masih mengkhawatirkan wanita itu? Padahal dia dengan gampangnya menyuruh kami datang kesini untuk menagih langsung padamu."
"Apa?!"
"Wanita itu tidak peduli pada mu!" Tambah pria bertato mengejek nasib malang Aileen.
"Hei! Apa yang kalian lakukan disini?! Keluar!" Hardik tiga orang sekuriti yang menghambur masuk untuk meringkus kedua preman.
"Bodoh!" Pria bertato masih sempat melempar ejekan yang lebih pedas diantara usahanya berkelit lepas dari cengkraman para sekuriti.
Kamu baik-baik saja, Nak?" Tanya salah satu wanita yang menopang tubuh Aileen.
Aileen terdiam, lidahnya kelu kehilangan kata-kata. Tubuhnya mendadak kaku di hantam kenyataan.
'Setega itukah Ibu pada ku? Bahkan disaat aku sangat kesakitan Ibu tidak pernah muncul untuk sekedar menjenguk dan sekarang Ibu malah mengirimkan preman-preman ini untuk menagih utang yang tak pernah ku pinjam. Apakah Ibu tidak pernah sedikitpun menyayangi ku?' Lirih hati Aileen sedih.
*****
