Bab 9 - Putus Asa
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata.
"Apa?"
"Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya.
"Bangunlah." Paksa Aileen.
"Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"
Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.
'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya.
"Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"
Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama.
"Siapa kamu?"
"A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."
Bagas membuang pandangannya ke sisi luar, mengabaikan kehadiran Aileen.
"Ai, cepat! Bawa Bagas turun," teriak Aira. Wanita itu menjerit histeris hingga Mardiana dan Rachel yang sedari tadi berdiri di lokasi terpaksa menahannya.
Aileen mengerutkan keningnya, berpikir keras cara untuk membujuk pria itu. Aileen bukan orang yang pintar dalam merangkai kata apalagi membujuk orang lain. Selama ini, Aileen bahkan tidak peduli pada orang lain.
"Hei, dengarkan aku," tahan Aileen begitu melihat pria itu melepaskan satu tangannya dari pagar pembatas.
"Bagas, kamu harus berpikir sekali lagi. Banyak orang yang peduli padamu, mereka pasti kecewa kalau tahu kamu melakukan ini."
"Dan Aira, dia tidak ingin melihatmu mati," jerit Aileen untuk mengalihkan perhatian Bagas.
"Si—siapa kamu? Kenapa kamu tahu namaku? Dan Aira, kamu mengenal istriku?" Buru Bagas. Ia yakin tidak pernah mengenal bahkan bertemu dengan wanita itu.
"Ya, aku mengenal Aira. Turunlah, kita bisa membicarakannya di bawah sini. Jujur saja, aku tidak bisa mendekat. Aku sedikit trauma berada di atas sana," bujuk Aileen.
"Aku tidak mengenalmu," ucap Bagas acuh dan kembali memalingkan wajahnya.
Aileen mengeram dalam. Kesabarannya mulai menipis. "Hei, kamu pikir akan bertemu Aira jika kamu melompat dari sana?" Bentaknya.
"Bocah gila! Harusnya kamu membujuk, bukan membentaknya!" Rachel membulatkan matanya. Tidak menyangka, Aileen malah memprovokasi Bagas untuk melompat.
Aileen mengabaikan reaksi kaget tiga wanita yang berdiri tak jauh darinya.
"Meskipun kamu mati, kamu tidak akan bertemu dengannya karena Aira masih ada disini. Dia selalu mengikuti kemanapun kamu pergi."
'Ini gila! Apa yang aku lakukan?' desis Aileen dalam hati, mengutuk kebodohannya. 'Setelah ini, bahkan manusia pun akan menyebutnya orang gila.'
"Apa yang kamu katakan? Gila," hardik Bagas kasar.
"Ya, ya! Aku memang gila. Lebih gila lagi karena aku bicara dengan orang bodoh sepertimu," ejek Aileen berusaha memancing emosi Bagas.
Dia berharap pria itu akan turun dan mengamuk padanya. Satu-dua pukulan masih sanggup Aileen terima dibandingkan melihat orang lain mati karenanya.
"Bocah gila itu sangat tidak berbakat dalam membujuk orang lain," gumam Rachel. Untuk kali ini, Mardiana terpaksa setuju dengan Rachel.
"Kak Ai, apa yang kamu lakukan disini?" Buru Denis begitu berhasil menemukan Aileen. Napasnya terengah-engah karena berlarian kesana-kemari mencari Aileen.
"Siapa dia?" Tanya Denis lagi begitu menyadari sosok lain yang berdiri di balik pagar pembatas.
"Bagas, kumohon, hentikan," pinta Aira yang masih menangis sesenggukan.
"Bagas, turunlah. Kamu membuat Aira menangis, kamu membuatnya sedih," ujar Aileen dengan nada lebih halus.
"Pergi! Hentikan omong kosong mu, orang gila!" Bentak Bagas mengusir perempuan gila yang terus menyebut nama Aira.
"Ya sudah, sana lompat! Cepat, tunggu apa lagi? Lompat!"
"Aileen!" Ketiga wanita yang ada disana menjerit panik. Mereka melotot kesal pada Aileen karena dia kembali memprovokasi Bagas untuk melompat dan mati.
Aileen mengacak rambutnya frustasi. "Aku bisa gila beneran kalau seperti ini!"
"Aileen, katakan pada Bagas. Aku memakai kalung pemberiannya, kalung ini." Aira mengangkat kalung permata biru di lehernya.
Aileen mengangguk mengerti. "Mungkin sulit bagimu untuk menerima ini, tapi aku bisa membuktikan kalau aku mengenal Aira dan saat ini dia ada disini bersamaku," ujarnya mencoba membujuk Bagas lagi.
Bagas melengos malas. "Bukti? Memangnya kamu punya bukti apa?"
Aileen melirik Aira, memintanya untuk mengatakan sejarah dari kalung yang dikenakannya.
"Kalung, kalung berlian biru yang kamu berikan pada Aira sebelum kalian berangkat ke pesta malam itu," ucap Aileen mengulang apa yang dikatakan Aira.
Bagas tersentak, ia berpaling menatap Aileen tak percaya. Hanya dia dan Aira yang tahu tentang kalung itu.
"Ke—kenapa?"
"Kamu pasti bingung kenapa aku bisa tahu tentang kalung itu 'kan? Aira yang memberitahunya."
"Turunlah, kita bisa membicarakan ini," lanjut Aileen. Ia berusaha keras tidak membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat ini. Masalah ini terlalu merepotkan.
"Aira," gumam Bagas. "Aira."
"Denis, kamu dekati dari samping. Begitu ada kesempatan, segera tarik dia ke dalam," bisik Aileen memberi instruksi pada adiknya.
"Dia siapa, kak?"
"Nanti aja di bahas, kita harus menyelamatkannya dulu," desis Aileen.
"Ya, Bagas. Aira ada disini, dia merindukanmu."
Aileen dan Denis maju selangkah demi selangkah, sedekat mungkin untuk bisa menjangkau tubuh Bagas.
"Aira sangat merindukanmu," ulang Aileen.
"Aira, Aira." Gumam Bagas lagi.
"Sekarang!"
Aileen dan Denis bergerak bersamaan, menarik turun tubuh Bagas hingga terpelanting ke belakang, menghantam lantai.
"Akh." Aileen mengeluh pelan karena tangannya yang masih di balut perban tertimpa tubuh Bagas.
"Apa yang terjadi?" Pasukan dokter menyerbu masuk untuk memeriksa kondisi Bagas yang tidak sadarkan diri.
"Dia mencoba bunuh diri, melompat dari pagar," sahut Denis. Dia membantu para dokter dan suster mengangkat tubuh Bagas, melarikan pria itu ke UGD.
"Aileen, kamu terluka?" Mardiana menyongsong Aileen yang telah menarik diri, wanita itu bersandar di dinding sambil memegang pergelangan tangannya yang bergetar dan kembali mengeluarkan darah. "Oh Tuhan, tanganmu berdarah lagi Ai."
"Mana Aira?" Tanya Aileen lirih.
"Dia mengikuti rombongan yang membawa suaminya."
Aileen mengangguk paham. "Lebih baik, Bu Mardiana menemani Aira. Untuk sekarang, dia pasti membutuhkan seseorang disampingnya."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku mau duduk sebentar disini, menghirup udara segar," kilah Aileen. Ia ingin menikmati semilir angin yang menyejukkan hati dan pikirannya.
Mardiana terpaku sesaat lalu menggapai tangan Aileen yang bebas, membuat gerakan seolah tengah menggenggamnya erat. "Ai, kamu telah tumbuh menjadi anak yang baik."
Aileen terkekeh geli. "Aku memang bukan lagi bocah berumur sepuluh tahun, Bu Mardiana."
"Kamu benar, sekarang kamu bukan lagi Aileen yang cengeng. Kamu telah menjadi wanita dewasa yang kuat."
Aileen memalingkan wajahnya, menyembunyikan ekspresi malu.
"Aku akan meminta Rachel datang dan menemanimu."
"Tidak usah," sahut Aileen cepat. "Saat ini, aku tidak sanggup mendengar suara bawelnya."
"Baiklah, segera kembali ke ruangan mu agar dokter bisa mengobati tanganmu."
Aileen mengangguk. Mendesah pelan begitu bayangan Mardiana menghilang dari balik pintu lift.
"Apa yang telah aku lakukan?" Desahnya, bertanya pada dirinya sendiri.
*****
