Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ketika Miranti Memaksa

Dengan mata yang berkaca-kaca menahan air mata yang ingin turun sejak dirinya masih ada di apartemen. Riska berhenti sejenak di depan pintu rumahnya. Hatinya sangat merasa sakit dan tak percaya jika dirinya telah di jual oleh ibunya untuk memperbaiki kehidupan keluarganya termasuk biaya Dinda yang ada di rumah sakit.

Setiap kali Riska mengingat Dinda air matanya selalu tak bisa di tahan untuk terjun bebas membasahi pipinya. Menurut Riska adiknya yang masih kecil itu tak perlu tahu apapun tentang masalah yang sedang di hadapi oleh Riska, yang Dinda perlu hanya pengobatan dirinya yang tak boleh sampai putus agar dia tetap bisa membuka kedua matanya.

Ceklek.

Tiba-tiba Miranti keluar dari dalam rumah dengan pakaian yang sangat seksi seperti biasa. Penampilan yang menurut Riska sangat tak pantas di gunakan untuk keluar rumah. Segala sesuatu yang buruk mungkin bisa saja terjadi pada ibunya saat dia menggoda mata para lelaki dengan penampilannya itu tapi saat ini bukanlah hal itu yang ingin di bahas oleh Riska melainkan tentang dirinya sendiri yang sekarang sedang dalam keadaan yang tidak begitu baik.

“Ibu mau kemana?” Tanya Riska yang matanya masih berkaca-kaca.

“Kami sudah pulang? Kenapa kamu menangis?” Tanya Miranti pada Riska.

“Aku tanya ibu mau kemana?” Tanya Riska dengan nada suara yang sedikit tinggi.

“Hei, ada apa denganmu hah? Kenapa kamu berteriak seperti itu padaku?” Tanya Miranti yang masih tak menjawab pertanyaan dari Riska.

“Ibu kenapa tidak bilang kalau pernikahan kontrak ku harus sampai memiliki anak?” Tanya Riska. Suaranya terdengar sedikit gemetar.

“Loh memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan itu? Kamu itu di kontrak jadi wajar saja kalau dia menginginkan sesuatu darimu termasuk anak darimu,” kata Miranti.

“Itu keterlaluan Bu. Itu terdengar seperti ibu sedang menjualku, apa ibu tidak sadar itu?” Tanya Riska. Kali ini air matanya benar-benar turun tak terbendung lagi.

“Siapa yang perduli Alan hal itu hah? Yang paling terpenting kamu bisa menyelamatkan keluarga ini dari kehidupan yang buruk kan? Termasuk adikmu yang sedang sekarat di rumah sakit,” kata Miranti. Perkataannya benar-benar tak di saring sama sekali.

Mendengar perkataan dari ibunya membuat jantung Riska seakan berhenti berdetak begitu saja. Riska sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Ibunya yang justru hanya memikirkan tentang uang dan harta saja di banding kebahagiaannya meskipun Riska sadar jika dirinya hanyalah anak tirinya.

Berulang kali Riska menawarkan dirinya untuk berhenti bersekolah saja agar bisa bekerja dan membantu ibunya mencari uang namun usulannya selalu saja tidak di terima oleh ibunya. Dulu ibunya tak mendukungnya untuk bersekolah namun sekarang Ibunya malah tak mendukungnya untuk berhenti bersekolah.

Riska kembali teringat akan ayahnya dan ibunya yang telah pergi meninggalkannya. Semua mungkin tak akan terjadi jika mereka tak meninggalkan Riska secepat itu.

“Ayah dan ibu di sana pasti sangat sedih melihat kehidupan seperti ini sekarang,” batin Riska.

“Sudahlah kamu tidak usah drama seperti ini. Toh nanti kalau kamu sudah berpisah dari taun muda, kamu bisa mencari pria yang kamu sukai dan yang pasti pada saat itu tiba, kamu sudah punya banyak uang dan tidak seperti ini lagi,” kata ibunya dengan senyuman yang menunjukkannya seperti seorang ibu yang tak punya hati.

“Tapi Bu, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup ku. Pesan dari almarhum ibuku juga seperti itu Bu,” kata Riska.

“Tapi sekarang aku adalah ibumu jadi kamu harus menuruti kata-kataku. Menikahlah dengan tuan muda dan turuti apapun perintahnya. Dapatkan uang sebanyak mungkin dari pernikahanmu nanti,” kata Miranti yang kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Riska yang masih berdiri di depan pintu rumah mereka.

Tiba-tiba Miranti menghentikan langkah kakinya. Seperti ada yang belum selesai di sampaikannya pada Riska, Miranti kembali menoleh ke arah Riska.

“Dapatkan juga saham perusahaannya. Itu adalah tugasmu,” kata Miranti yang kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya setelah mengatakan hal itu pada Riska.

Riska semakin terdiam dan tak bisa berkata-kata lagi mendengar apa yang baru saja ibunya katakan. Riska merasa jika setelah dirinya di jual, dia juga harus memanfaatkan situasi itu untuk mendapatkan banyak uang sebelum masa itu berakhir.

Riska merasa kakinya tak mampu lagi untuk berdiri memijak bumi. Tangannya kini meraih pintu yang telah tertutup kembali setelah kepergian Miranti.

Riska menyandarkan tubuhnya pada pintu itu dengan mata yang terpejam. Hatinya benar-benar merasa sangat hancur namun apapun yang di katakannya sekarang, ibunya seolah tak mau tahu dan akan tetap memaksanya untuk tetap menikah dengan pria arogan itu.

Derttt ... Derttt ... Derttt.

Ponselnya berbunyi dan membuatnya sedikit terkejut. Setelah mengambil ponsel di saku bajunya, Riska sedikit terkejut karena melihat panggilan dari nomor yang tak di kenal.

Selama ini Riska selalu mengabaikan panggilan dari nomor yang tak di kenalnya namun kali ini terasa sangat berbeda. Panggilan dari nomor tak di kenal itu seakan mengharuskannya mengangkat panggilan itu.

“Siapa yah? Aku angkat ngga yah?” Batin Riska yang terasa sangat bimbang namun akhirnya Riska mengangkatnya juga.

“Halo dengan keluarga dari Dinda?” Tanya wanita yang meneleponnya.

“Iya ini siapa yah?” Tanya Riska. Perasaannya sedikit merasa tidak enak namun Riska berusaha untuk berpositif thinking.

“Kami dari pihak rumah sakit, ingin memberitahukan bahwa keadaan Dinda sekarang memburuk jadi mungkin anda bisa segera datang kemari,” kata wanita itu.

Dengan nada aura yang panik, Riska pun mengiyakannya. Riska tak bisa membuang-buang waktu dengan banyak bertanya pada wanita di telepon itu. Bagi Riska lebih baik dirinya bertanya langsung saat dirinya sudah berada di rumah sakit saja.

Riska berusaha berlari untuk mengejar ibunya yang Riska rasa belum terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Akan sangat sulit menghubungi ibunya jika ibunya sudah terlanjur pergi jadi sebelum hal itu terjadi, Riska berusaha untuk menemui ibunya terlebih dahulu.

Hal yang paling Riska takutkan adalah kehilangan adiknya setelah ayahnya juga pergi meninggalkannya. Meski Dinda bukan adik kandungnya tapi Riska sangat menyayangi Dinda seperti adik kandungnya sendiri.

Segala sesuatu yang ibunya lakukan sama sekali tak membuat Riska membenci Dinda. Seperti saat pertama kali Dinda lahir, Riska masih begitu menyayangi adik kecilnya itu.

Hal yang membuat hatinya merasa tak mungkin untuk membatalkan pernikahan kontraknya meski dirinya merasa tak ingin melakukannya. Yang adalah satu-satunya benda yang sangat Riska butuhkan sekarang untuk menyelamatkan nyawa adiknya itu dan juga untuk melunasi hutang-hutang ayahnya agar keluarganya tak terus menerus di teror oleh para rentenir yang menagih hutang ayahnya.

“Dinda tunggulah sebentar yah, aku akan segera ke sana dengan ibu,” batin Riska sembari langkah kakinya terus berlari mengejar ibunya.

Meski belum bertemu dengan ibunya namun Riska sama sekali tak menyerah. Dia terus berlari mencari ibunya sembari meneleponnya meski panggilannya berulang kali di tolak oleh ibunya.

“ibu!!!” teriak Riska saat melihat punggung ibunya dari kejauhan.

Miranti yang mendengar teriakan Riska langsung saja menoleh namun, Miranti kembali melangkahkan kakinya tanpa memedulikan Riska.

Riska yang melihat ibunya kembali melangkahkan kaki pun langsung berteriak lagi.

“Bu, tunggu Bu!’

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel