Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Hinaan mantan suami.

“Apa kabar, Indah? Bagaimana keadaanmu sekarang?” ujar Mas Dito berbasa-basi di hadapanku. Ia memindai penampilanku dari atas hingga ke bawah, dengan senyum mengejek di bibirnya.

Aku akui tampilanku saat ini begitu lecek dan dekil, dengan rambut yang dijepit ke atas persis seperti pembantu. Berbeda jauh dengan istrinya saat ini, yang memakai pakaian bagus, bersih, dengan perhiasan yang lengkap di tubuhnya, membuat dandanannya tampak begitu cetar dan glowing.

Bak langit dan bumi denganku saat ini. Sebenarnya ada sedikit rasa iri di hati ini, tapi sebisa mungkin kutekan ekspresiku, agar tampak biasa saja di hadapan mereka.

“Seperti yang kamu lihat saat ini, Mas. Sangat baik!” jawabku santai. Mata ini menangkap ada yang berbeda dari penampilan wanita di sebelah mantan suamiku itu.

Tubuhnya yang jauh lebih berisi dari terakhir aku bertemu dengannya, serta perut yang membukit tampak seperti sedang mengandung lima bulan. Hal itu membuatku tersentak kaget, bukankah mereka menikah baru dua bulan yang lalu?

Astagfirullah ... Ya Allah jadi, selama ini Mas Dito sudah menghianati aku, bahkan saat ia masih berstatus suamiku. Sakit, perih, seperti ada yang tersayat di dalam hati ini.

“Sangat baik? Tapi kenapa tampilanmu jadi seperti babu begini? Sepertinya, berpisah denganku membuat hidupmu tambah sengsara, Ya!” ledek Mas Dito yang disertai senyuman merendahkan dari istrinya. Ingin rasanya kurobeki mulut dua manusia yang tak tahu malu di hadapanku ini.

“Kamu benar, Mas. Mantan istrimu ini begitu sombong tidak mau dimadu, dulu, lihat sekarang hidupnya jadi sengsara, kan?! Tapi bagus juga sih, ia minta diceraikan, jadi aku bisa menjadi istrimu satu-satunya,” sahut Retno dengan tertawa puas. Membuatku berdecih menatapnya jijik.

“Kalian boleh menghinaku sesuka hati kalian, tapi bagaimana perasaanku saat ini, itu hanya aku saja yang tahu. Terima kasih sudah repot-repot memperhatikan hidupku,” balasku. Tampak Retno mencebikkan mulutnya.

Aku berbalik ke arah penjual pisang itu kembali, malas meladeni sepasang suami istri itu. Aku memberikan sejumlah uang pada penjual untuk membayar beberapa sisir pisang yang sudah matang.

“Jadi benar kata Mbak Rini, kamu jadi penjual gado-gado dan gorengan? Apa tidak ada pekerjaan yang lain? Yang lebih berkelas gitu,” tanya Mas Dito, masih dengan nada merendahkanku.

Aku mengulas senyum menanggapi ucapan Mas Dito. Walau sebenarnya di dalam hati, ingin sekali memaki, mengumpat dan menyobek bibir lemesnya itu. Laki-laki tapi ceriwis bagai wanita.

“Nggak apa-apa, jadi tukang gado-gado. Yang penting halal dan berkah, dari pada jadi pelakor dan perebut suami orang!” balasku lagi, karena terpancing. Membuat wajah Retno menjadi merah.

“Maksud kamu apa? Kamu nyindir aku?” sungut Retno. Nada suaranya mulai terdengar ketus, mungkin ia tersinggung dengan ucapanku yang telak! Menyentil ginjalnya.

“Pikir saja sendiri, aku sibuk dan nggak ada waktu untuk bantu kamu mikir!” jawabku singkat.

Dengan nada yang tak kalah ketus sambil berlalu, jika aku terus berlama-lama dengan mereka, aku takut emosiku terpancing lagi lalu mengeluarkan kata-kata pedas yang membuat kami bertengkar hebat nantinya. Aku masih sadar diri tempat kami sekarang, aku tidak mau menjadi tontonan orang sepasar. Malu! Berbeda dengan mereka yang memang sudah tak memiliki urat malu lagi.

Aku dengar ia masih merocos serta memaki-makiku dengan segala umpatan kasarnya. Ya Allah ... Ya Tuhanku, kok ada orang seperti dia, ya? Dia yang merebut dia pula yang pamer padaku.

Memang brutal pelakor jaman kini, lebih beringas dari hewan predator. Tapi pelakor juga buaya kan, ya? Buaya berpita, upsst! Ha ... ha ... ha

~~ ~~~ ~~

Becak yang aku tumpangi masuk ke dalam pekarangan rumah, Mamang tukang becak membantuku menuruni segala belanjaanku yang cukup banyak. Setelah itu aku sodorkan tiga lembar uang berwarna ungu dengan gambar Taman Wakatobi dan Tarian Pakarena pada Mamang becak.

“Assalamualaikum,”

“Wa’alikumsalam, kamu baru pulang, Nduk. Bagaimana, dapat semua belanjanya?” tanya Ibu dengan menggendong putriku, mereka berdua mengekor di belakangku saat aku baru saja tiba dan meletakkan belanjaanku semuanya ke dapur.

“Dapat, Bu. Oh ... ya, tadi Indah beli bakso untuk Ibu. Ayo kita makan bareng-bareng, Bu!” Aku menunjukkan plastik bening berisi dua porsi bakso urat kesukaan Ibu.

Wajah tua Ibuku terlihat senang, sebelah tangannya meraih plastik itu.

“Kamu mandi dulu sana, Ndah! Dari pasar pasti banyak kuman-kumannya, habis mandi kita makan bareng di sini!” Aku mengangguk dan berlalu ke kamar untuk mandi dengan patuh.

“Ini baksonya enak banget, Nak. Kamu beli di mana?” tanya ibu saat kami sedang menikmati semangkok bakso bersama. Naira yang tertidur pulas sudah kubaringkan di dalam kamar. Bayi kecilku itu akan tertidur pulas jika ia habis mandi dan di beri susu.

Apalagi cuaca sore ini cukup dingin dan mendung, sangat pas sekali menikmati semangkok bakso yang hangat.

“Tadi Indah mampir sebentar beli di warung bakso Mang Maman,” jawabku.

“Pantas enak!” Aku tersenyum menanggapi ocehan Ibuku. Rasanya sudah lama sekali kami tidak seperti ini, dulu saat masih menjadi istri Mas Dito, jangankan membelikan Ibu semangkok bakso. Membeli es yang harga lima ribu untuk diriku sendiri saja sangat susah kulakukan.

Bukanya perhitungan, tapi memang uang untuk membeli itu yang tidak ada. Uang di tanganku hanya bunyinya saja yang besar, tapi hanya singgah satu hari saja. Setelah itu berpindah ke dalam kantong Ibu mertua.

Sekarang aku bisa bernapas lega, aku bisa membeli apa saja yang aku mau, dan bisa membeli makanan kesukaan Ibuku tanpa khawatir dengan ocehan suami atau mertua.

Biar saja mereka menghinaku, dekil kusam dan seperti pembantu. Tapi suatu saat aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpa dirinya, bahkan bisa hidup lebih baik lagi.

Semangat Indah! Kamu pasti bisa! Demi kedua malaikat di hatimu. Patahkan omongan mereka yang membencimu! Batinku menyemangati. Bagiku tak ada lagi yang lebih indah dari momen ini.

“Kok diam saja, Nduk? Apa baksonya tidak enak, atau kami lagi nggak enak badan? Bilang sama ibu?” Aku menggeleng dan kembali tersenyum.

“Tidak, Bu. Ini Indah mau makan, enak banget baksonya Mang Maman! Baksonya juara!” gurauku yang ditanggapi Kekehan renyah Ibu.

Aku memperagakan seperti tukang review makanan di sosial media yang sering kulihat. Review ala-ala cheff, Kami berdua tertawa bahagia, menikmati momen bersama kami sore ini. Soal pertemuanku dengan Mas Dito, tak perlu kuberi tahu Ibu, cukup aku saja yang tahu. Aku tidak mau merusak momen bahagia ini dengan hal-hal yang tidak penting!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel