4. Mulai bangkit.
Two Month later
“Nduk, sini! Biar Ibu saja yang membereskan jualanmu, kamu Istirahat sana!” perintah Ibuku. Ia baru saja datang menghampiriku, saat para pembeli sudah pada mulai pergi dan hanya tersisa aku di sini dengan perkakas jualan yang kotor.
Sudah hampir dua minggu ini aku berjualan nasi uduk, gado-gado serta gorengan dan membuat pondok kecil di depan rumah Ibu. Semenjak resmi bercerai dari mas Dito, aku harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk anakku.
Karena aku hanya bisa masak, jadi kuputuskan berjualan sarapan pagi di kampung ini. Berbekal uang yang kupinjam dari Ibu sebagai modal awal jualanku.
Alhamdulillah tuhan merestui langkahku, memberikanku kemudahan dalam mencari rezeki untuk buah hatiku.
“Nggak usah, Bu. Biar Indah saja yang bereskan semua ini, Ibu pasti sudah capek mengasuh Naira dari tadi. Maaf ya, Bu. Jika Indah merepotkan Ibu terus,” ucapku sambil membereskan jualanku siang ini.
Mata ini rasanya mulai memanas, andai tidak kutahan, mungkin sudah kembali lolos air mata di pipi.
Ibu tersenyum lembut dan membelai rambutku, “jangan kecil hati, Nduk! Jalan hidup setiap manusia itu berbeda-beda. Ibu justru senang ada kamu dan Naira di sini. Jadi ada yang temani hari tua Ibu,” ucap Ibu lembut. Hati ini begitu tersentuh mendengar perkataannya.
“Habis jualanmu, Nduk?” ujar Ibu kembali. Ia tersenyum melihat steling yang berisi jualanku bersih. Hanya ada remah-remahan gorengan yang tertinggal di nampan.
Aku mengangguk. “Iya, Bu. Alhamdulillah,” jawabku bahagia. Penuh rasa syukur.
“Alhamdulillah, Nak. Rezeki kamu dan Naira,” balas Ibu.
“Doa kan Indah ya, Bu. Semoga tabungan Indah cepat terkumpul, hingga Indah bisa menyewa tempat untuk buka kedai makan, di ujung gang dekat jalan sana!” pintaku pada Ibu. Karena doa orang tua akan mudah terkabul, katanya bisa tembus hingga langit ketujuh.
“Tentu, Nak. Doa Ibu selalu menyertaimu,” jawab Ibu membuatku lagi-lagi bersyukur diberi nikmat orang tua yang selalu mengasihiku. Selalu mendampingiku, baik susah dan sedihku. Andai Ibu tak ada, entah apa jadinya hidupku ini.
Aku dengan cepat membereskan barang sisa jualan, yang ada di pondok jualanku, menumpukkan piring dan baskom kotor menjadi satu. Lalu mengangkatnya keluar dan mengunci pondok kecil itu sebelum masuk ke dalam rumah.
Merebahkan tubuh ini sejenak, sebelum pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan serta sayuran yang aku butuhkan untuk jualan besok pagi.
Aku bangun jam tiga subuh, masak dan menyiapkan jualan agar jam enam pagi jualanku sudah siap di jajakan hingga pukul sebelas siang. Siang hari aku istirahat sebentar dan menemani Naira, karena setelah itu sorenya aku harus ke pasar untuk belanja.
Seperti itulah rutinitas yang kini aku lakukan setiap hari. Walaupun lelah, tapi aku bahagia, bahagia dengan pundi-pundi rupiah yang kuhasilkan sendiri.
Walau Cuma sedikit, tapi cukup untuk hidup kami berdua, tanpa harus mengemis kebutuhan Naira pada mantan suamiku itu.
Aku akan buktikan pada Mas Dito, jika aku mampu membesarkan putri kami tanpa nafkah darinya. Tanpa harus sakit hati berbagi perhatian dengan wanita lain.
Biarlah aku menjanda, dari pada batinku yang terluka!
~ ~ ~ ~ ~
Malam ini mataku berbinar, menghitung lembaran-lembaran rupiah yang sudah aku kumpulkan selama dua minggu berjualan. Walaupun belum seberapa, tapi sangat berharga untukku dan Naira.
Pelangganku yang awalnya hanya sedikit lama-lama menjadi banyak, bumbu yang terasa, membuat banyak warga sini yang belanja sarapan pagi padaku. Rencananya jika aku ada rezeki lebih aku ingin membuka rumah makan kecil-kecilan dengan menyewa toko di ujung jalan itu.
Tentang mantan suamiku itu, Mas Dito. Hingga detik ini, ia tidak pernah menemui putrinya ini, dan soal nafkah? Ia menepati janjinya untuk tidak memberi nafkah untuk Naira sepeser pun.
Walau di pengadilan ia menyetujui, bahwa ia di wajibkan memberi nafkah pada putriku itu hingga ia berumur enam belas tahun. Namun, biarlah ... biar itu menjadi tanggung jawabnya terhadap Tuhan di akhirat kelak. Aku tidak mau protes apalagi menuntut.
Aku juga mendengar kabar dari tetangga-tetangga di sini yang diundang olehnya, jika ia mengadakan pesta pernikahan yang begitu mewah bersama istri barunya itu. Tidak seperti pernikahanku dulu yang digelar secara sederhana, itu pun orang tuaku yang mengadakannya. Sedangkan dari pihak Mas Dito tak ada. Bahkan hantaran saja hanya sekedarnya.
Saat itu almarhum bapak cukup tersinggung melihat perlakuan keluarga Mas Dito padaku. Akan tetapi, karena rasa cintaku yang buta, membuatku menerima saja perlakuan zholim mereka padaku. Ahh ... kalau dipikir-pikir sekarang, alangkah bodohnya diriku. Aku meringis menyadari kesalahan diri ini di masa lalu. Namun, ya ... sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu kusesali lagi.
Aku memasukkan kembali lembaran uang yang kupegang tadi ke dalam dompet, lalu menyimpannya pada laci di samping ranjang. Pandangan mataku kini beralih menatap bayi putih yang gembul, sedang tidur nyenyak di atas kasur. Bibirnya yang merah dan bergerak seolah sedang mengemut sesuatu itu tampak begitu menggemaskan.
Aku bergerak pelan, mengambil posisi ternyamanku, berbaring di samping putriku. Menatap balita gembul dengan pipinya yang memiliki dua titik merah kemerahan.
“Wah ... sepertinya nenek kecolongan kali ini sayang, sampai pipi mbul anak Bunda kena gigit nyamuk, atau nyamuknya yang nakal ya, sayang?” aku terkekeh mendengar nada ucapanku sendiri yang dibuat-buat seperti suara anak kecil.
Kubelai kepala anakku dengan sayang, tak ada lagi yang kupinta di hidupku saat ini. Aku hanya ingin fokus membesarkan anakku dan membahagiakan malaikat yang telah melahirkanku itu. Sudah cukup diri ini menjadi beban hidupnya.
~ ~ ~ ~ ~
Aku berjalan perlahan dari satu kios ke kios lain, sambil membawa keranjangku yang penuh dengan sayuran. Pasar tradisional modern ini begitu luas, dan merupakan pasar yang paling besar di kampungku. Jaraknya juga dekat dengan rumah.
Saat sedang asyik memilih buah pisang kepok yang matang untuk bahan jualanku, sudut mataku menangkap sosok sepasang manusia yang baru datang mendekat ke arahku, dengan bergandengan tangan mesra.
Aku menoleh dan seketika tubuhku menegang, dengan tangan yang terkepal erat di kedua sisi tubuhku, aku menatap kedua manusia yang sekarang berdiri di hadapanku dengan tajam. Mereka pun membalas tatapanku dengan seringai di bibir mereka, seolah mengejek dan terus memamerkan kemesraan mereka padaku.
Ya Allah ... Ya Robby ... kuatkan hati hambamu yang rapuh ini! Jangan sampai amarahku membuatku mempermalukan diriku sendiri di sini! Ingin rasanya aku hentakkan kepala kedua manusia m*njijikkan ini sekarang juga, astagfirullah al’azim!!
