3. Kedatangan Ipar untuk menambah luka.
Sudah seminggu waktu berlalu sejak pertengkaranku dan Mas Dito. Tidak ada sekalipun ia menghubungiku, walau hanya untuk sekedar bertanya tentang putrinya ini. Walau kami sudah bukan suami istri lagi, tapi anak ini tetaplah anaknya, apa sebagai seorang Ayah, tidak adakah rindunya sedikit pun pada Putri kecilnya ini?
Akan tetapi, apa yang bisa aku harapkan dari lelaki yang tak punya hati sepertinya. Setelah menyusui putriku hingga ia terlelap, aku memilih duduk di teras, menghirup udara untuk menata hatiku yang masih hancur remuk ini.
Sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga, membantu masak untuk pengajian malam jum’at nanti. Hal itu biasa diadakan di kampungku ini. Para Ibu-Ibu bergantian membantu masak di rumah yang mendapat jatah giliran, membuat acara doa wirid untuk bapak-bapak yang diselenggarakan pada malam harinya.
Saat sedang memikirkan kelanjutan hidupku dan putriku saat ini, tiba-tiba sebuah motor masuk ke dalam pekarangan rumah ini.
Aku mengerutkan kening melihat kedatangan perempuan yang merupakan kakak iparku itu. Mbak Rini, istri dari Abang kandung Mas Dito.
Mbak Rini bernasib sama sepertiku, ia hanya bisa melahirkan tiga orang putri untuk Mas Rio. Hingga Mas Rio memutuskan menikah lagi, tapi Mbak Rini berbeda denganku, ia lebih menerima keputusan itu.
Baginya asalkan, Mas Rio tetap memberikan nafkah bulanan untuknya dan ketiga putrinya itu, itu saja sudah cukup. Di pikiran wanita itu hanya ada uang dan uang, asalkan ada uang mau suaminya menikah berapa kali pun tidak akan menjadi beban di hatinya.
Terkadang aku bingung, dengan jalan pikiran di keluarga mantan suamiku itu. Kenapa mereka menjadi lebih mengagungkan anak lelaki dari pada anak perempuan. Padahal mereka bukanlah orang yang dari suku tertentu yang mengharuskan membawa marga.
“Mbak,” sapaku ramah, kuulaskan senyum manis di bibirku yang terasa kecut ini.
Walaupun hatiku berdetak tak enak, pasti ada kabar buruk yang membawa kedatangan wanita ini kemari, tapi aku sebisa mungkin untuk bersikap ramah. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kepahitan, mendapatkan tatapan yang kurang bersahabat darinya.
“Kamu itu sok kuat banget sih, Ndah! Pakai nggak mau dimadu segala! Memangnya kamu sanggup ngidupin anak kamu itu?” ucap Mbak Rini tanpa basa-basi. Aku tak habis pikir dengan sikapnya ini. Sebagai sesama wanita yang mengalami nasib yang sama, seharusnya ia membelaku dan menghiburku, bukannya ikut-ikutan memojokkanku.
“Lalu aku harus bagaimana Mbak, menerima saja dimadu seperti yang Mbak alami. Aku tak sanggup dan tak setegar Mbak,” jawabku sesantai mungkin. Walau di hati ini seakan mau meledak dan hancur lebur. Dari sudut mataku, kulihat wanita itu membanting pantat lebarnya ke kursi yang ada di sebelahku.
“Yang penting, kan, kamu tetap dinafkahi oleh Dito, dari pada kamu menjadi janda begini? Kamu pikir jadi janda itu enak, apa?! Susah Indah, susah!” ucap Mbak Rini yang kutanggapi dengan senyum getir.
Menjadi istri satu-satunya saja hidupku sudah susah, apalagi memiliki madu. Memang Mas Dito memberikan nafkah, tapi percuma! Jika setelah Mas Dito memberi, Ibu mertuaku akan datang untuk merongrong uang itu kembali. Seolah tak ikhlas jika gaji anaknya diberikan pada istrinya.
“Keputusanku sudah bulat Mbak, aku lebih baik menjanda asal batinku tenang, dari pada hidup dimadu!” jawabku lirih.
Mbak Rini menatapku dengan seringai kecut, seolah mengejekku. Kutarik lagi napas ini dan menghembusnya secara perlahan. Berusaha untuk tenang dan berpikir jernih.
“Yakin batinmu akan tenang, jika untuk makan saja kamu susah? Seharusnya kamu itu sadar, Indah! Kamu itu sekarang mandul, mana ada lelaki yang mau dengan janda satu anak tapi tidak bisa memberikan mereka anak lagi. Ya ... walau aku akui kamu cantik, tapi cantikmu itu tidak ada gunanya. Jika kamu tidak bisa memberikan mereka anak. Ibaratnya, nih, ya ... kamu itu ladang yang gersang,” ucap Mbak Rini menghinaku. Mulutnya seakan tak difilter oleh otaknya terlebih dahulu. Menambah luka di hati ini.
“Biarlah itu menjadi urusanku nantinya, Mbak! Mbak nggak usah khawatir tentang nasibku kedepannya, Mbak. Lebih baik Mbak urus saja hidup Mbak! Semoga Mbak tidak bernasib lebih buruk dari pada diriku saat ini,” ucapku. Dada ini sudah naik turun sebenarnya, tapi sebisa mungkin masih kutahan.
“Eh ... kamu dinasehati, bukannya terima kasih malah doain Mbak yang buruk-buruk! Memang benar kata Ibu, kamu itu menantu yang nggak tahu terima kasih!” balas Mbak Rini ketus, seraya melemparkan sebuah amplop coklat dari kantongnya ke atas pangkuanku. Setelah kubuka, ternyata adalah surat panggilan dari Pengadilan Agama.
“Itu ... aku kesini karena Dito memintaku untuk mengantarkan itu padamu, Dia malas datang ke gubukmu ini. Haram katanya!”
Apa? Haram? Kutarik kuat napas ini menghembuskannya dengan kasar. Mengabaikan amplop coklat yang ada ditanganku itu.
Emosiku mulai memuncak mendengar ucapannya tadi. Walaupun aku tahu Mbak Rini hanya menyampaikan, tapi terasa seperti dirinya yang mengucapkan itu. Menghina rumah Ibuku seperti gubuk, padahal rumah inilah yang menjadi tempat ia bernaung selama beberapa tahun belakangan ini.
“Mbak, katakan pada adik iparmu itu, rumah gubuk yang ia hina ini lah, tempat ia berlindung selama beberapa tahun ini. Jika ia bilang haram menginjakkan kakinya kesini, maka aku juga akan mengharamkan apa yang sudah ia nikmati selama ini di rumah ini. Dan soal nafkah yang ia berikan selama ini, tanyakan saja pada Ibu mertua kesayanganmu itu! Berapa banyak jatah nafkahku yang ia ambil dariku setiap bulannya. Bahkan sisanya saja tidak cukup untuk membeli makanan kami selama satu bulan!” jawabku tak kalah lantang membuat Mbak Rini terperangah. Mbak Rini seolah telah terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan, seolah tak percaya.
“Tidak mungkin Ibu seperti itu, kamu jangan fitnah, Indah!” ucapnya tak percaya.
“Aku tidak fitnah Mbak, tapi itulah kenyataannya. Mbak enak mendapat nafkah dari Mas Rio, tapi Ibu tidak pernah sekalipun mengutiknya. Sedangkan aku ... selalu Ibu minta kembali dengan berbagai alasan, selama ini aku diam karena menjaga perasaan Mas Dito. Namun, ternyata ini balasan ia padaku?!” sungutku.
Air mata kembali menetes di pipi, hatiku begitu sakit mengenang perlakuan Ibu mertuaku yang sangat berbeda pada menantu-menantunya ini.
Entah kenapa sedari dulu Ibu Mas Dito tidak pernah suka padaku. Perlakuannya sangat berbeda dengan kakak-kakak iparku yang lain. Seolah pilih kasih.
“Tidak ... aku tidak percaya dengan ucapanmu, Ibu orangnya tidak begitu. Buktinya ia sayang pada kami, sering membawa oleh-oleh untukku dan anak-anakku. Bahkan Ibu juga sering memberikan aku dan menantunya yang lain tambahan uang belanja. Mungkin memang kamu saja menantu yang tak tahu bersyukur!” sungut Mbak Rini sambil beranjak pergi.
Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar dengan perlakuan serta hinaan mereka padaku.
