Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Realita di Bulan Juni

"Jika cinta ini ilusi, jangan buat aku semakin sakit"

Erna melambaikan tangannya pada Bulan, dia bahkan tidak menyangka jika akan dijemput oleh Erna. Tadi pagi Erna hanya menelpon untuk bertemu dengannya sepulang kuliah, dan Erna menepati janjinya.

Bulan mencium tangan Erna, dan Erna mengajaknya masuk ke mobil sedan putih miliknya. Mobil itu melaju kesebuah kawasan rumah elit di Ibukota ini. Dia benar-benar terperangah, sekaya inikah keluarga Bintang. Ah dia bahkan lupa jika kartu debit yang Bintang pakai saja sudah menandakan sulton banget.

Erna mengajak Bulan masuk, disana dia melihat seorang perempuan yang pernah dia temui di coffeshop milik Keenan saat itu, bersama dengan seorang bayi perempuan berumur satu tahun. Erna mengajaknya berkenalan dengannya.

"Ini Liana, istrinya Kalandra. Dan ini cucu Mami, namanya Kania" Bulan membelai pipi tembem milik Kania, yang dibalas bayi iti dengan tingkahnya yang menggemaskan.

"Halo adik ipar," sapanya pada Bulan, yang disapa hanya meringis malu, "kapan Mi, mereka menikah?"

"Juni besok, Mami nggak sabar deh buat rumah ini ramai." Ucap Erna dengan semangat.

Boleh nggak sih batal aja, gue nggak siap banget Tuhan. Batin Bulan.

Sebisa mungkin Bulan tersenyum pada Erna. Dia yakin nantinya Erna adalag Ibu mertua yang baik, bukan seperti di sinetron azab yang selalu di tonton Mila dirumah. Erna berbeda, bahkan Bulan bisa melihat keakraban yang terjalin antara Erna dan Liana. Tidak ada batasan antara Ibu mertua dan menantu.

"Kamu tidurin dulu aja Kania, Mamu ada perlu sama Bulan" Liana mengangguk dan berpamitan menuju kamar.

Erna mengajak Bulan kelantai dua, disana terdapat kamar Bintang dan ruang santai. Erna mengajaknya duduk di ruang santai di dekat balkon. Erna memberikan sebuah album foto yang berisi dirinya semasa kecil dengan seorang anak lelaki yang selalu memperlihatkan senyuman manisnya selalu kepadanya.

"Ini ... saya kan Tante?" Erna mengangguk, dia membelai rambut Bulan dengan lembut.

"Dan itu Arkana, anak Tante. Yang kamu kenal sebagai Bintang."

Mendadak kepala Bulan sakit bukan main, dia selalu mencoba untuk mengingat masa lalu tentang lelaki yang selalu dia panggil dengan sebutan Bang Kana. Ingatan itu lewat seperti kaset rusak, hanya bayangan dan suaranya saja yang dia ingat, tetapi wajahnya gelap. Bulan tidak bisa mengingatnya. Dia jatuh karena menahan rasa sakit di kepalanya, dan tak sadarkan diri.

***

Bintang mengetuk pintu rumah Bulan, dia tidak menemukan Bulan di kampus, maupun di coffeshop. Dia ingin bertanya tentang masa lalu mereka, saat Bulan tiba-tiba menghilang tanpa kabar sama sekali. Bintang butuh kepastian itu, sebelum pernikahan mereka terlaksana nantinya.

"Kana? masuk Nak" Mila membuka pintunya lebar-lebar agar Bintang bisa masuk kedalam. "Duduk dulu ya, Bunda ambilkan minum"

"Nggak perlu Tan, eh Bunda. Saya kesini cari Bulan"

"Lho emang Bulan nggak ada di coffeshop?" hanya gelengan yang dijawab oleh Bintang, "aduh kemana ya itu si Teteh"

Mila meremas tangannya, dia mencoba menelpon nomor Bulan, sayangnya tidak aktif. Mila semakin gelisah, tidak biasanya Bulan seperti ini. Dia benar-benar khawatir, karena semalam saat dia berbicara tentang Arkana, Bulan mengatakan jika kepalanya sakit bukan main saat berusaha mengingat.

"Bunda, boleh saya tanya sesuatu?" Mila mengangguk, "saat sebelum saya pindah, Bulan kemana ya? dia bahkan mengingkari janjinya."

"Bulan kecelakaan saat itu, dia pergi sama Bunda ke toko untuk membeli hadiah perpisahan buat kamu dan Kalandra. Dan ada mobil yang menabraknya saat kami menyebrang. Dan Bulan hilang ingatan."

Bintang diam cukup lama, dia benar-benar terkejut dengan realita yang ada. Rembulan yang tidak muncul saat itu, dia kecelakaan dan koma beberapa bulan. Dia bahkan melupakan tentang kenangannya, kenangan mereka berdua.

Suara telepon menghentikan lamunan Mila, dia mengangkat telepon dari Erna. "Ya Mbak?"

"Bulan, masuk rumah sakit!" Satu kalimat yang mampu membuat Mila mendadak lemas. Dia benar-benar takut jika sesuatu hal buruk terjadi padanya.

***

"Bang Kana!" Seruan dari seorang gadis yang selalu dia panggil Rembulan itu mendekat. Dia memberikan setoples biskuit coklat untuk lelaki itu.

"Makasih Rembulan sayang!" Gadis itu tertawa saat lelaki itu memanggilnya sayang.

Lelaki itu menepuk tempat di sampingnya, agar gadis itu ikut duduk disampingnya. Lelaki itu membuka toples berisikan biskuit cokelat. Mereka berdua menikmati biskuit itu bersama, ditemani angin sore dan pemandangan Kalandra dan teman mereka yang lain, yang sedang bermain sepakbola. Dia memandang gadis itu yang tengah menikmati biskuit coklat.

"Rembulan, keluarga ku mau ajakin pindah nih!" Gadis itu menengok kearah lelaki di sampingnya.

"Pindah kemana Abang? terus nanti Bulan sama siapa dong?" lelaki itu mengacak rambut gadisnya yang telah di cepol tinggi. "Bilang aja sama Mami, jangan pindah, kasihan Bulan nanti, gitu ya!"

Lelaki itu benar-benar tertawa melihat gadisnya berbicara dengan wajah polos seperti itu. Dia sendiri juga berat, jika harus pindah dan meninggalkan kota ini, ah bukan, lebih tepatnya berat jika harus meninggalkan Rembulannya.

"Juni besok ulang tahun kamu, Lan. Mau kado apa?" gadia itu tersenyum dan memperlihatkan giginya yang rapi dan bersih.

"Mau kotak musik yang kalau dibuka ada boneka teddy warna coklat terus muter-muter sampai dia pusing, boleh?" lelaki itu mengangguk setuju.

"Apapun yang Rembulan inginkan, Arkana siap memberikannya!" Dan mereka tertawa bersama-sama.

***

"Apa kata dokter Mil?" Erna sangat takut jika keadaan Bulan semakin parah.

"Tunggu Bulan sadar dulu Mbak, baru bisa periksa keadaannya lagi. Dokter juga takut, kalau otak Bulan dipaksa ingat masa lalu, dan masa lalu itu akan semakin menghilang Mbak."

Bintang yang mendengarnya semakin takut, kalau benar Bulan akan kehilangan ingatan masa lalunya, lalu dia harus bagaimana. Bulan pasti akan lupa dengan Arkana dan janji mereka dulu. Lalu bagaimana Bintang harus bersikap.

Bintang memandang Bulan dari kaca depan ruangannya, dia harus apa untuk membuat Bulan mengingat masa lalu mereka kembali. Kenangan indah yang mampu menumbuhkan rasa cinta di hati Bintang. Sebuah suara kotak musik dari seorang gadis kecil di belakangnya, berhasil membuat ingatan Bintang terlempar ke masa lalu. Masa dimana dia dan Rembulan harus berpisah selamanya.

Bintang bergegas pulang ke rumah, dia butuh kotak musik itu. Kotak musik yang pernah Bulan inginkan. Kotak musik yang belum sempat dia berikan ke Bulan, karena mereka harus berpisah. Bintang harus bisa perlahan-lahan membuat ingatan Bulan kembali. Atau paling tidak, dia harus membuat kenangan baru bersama Bulan.

Bintang kembali menggenggam kotak musik berwarna merah jambu itu. Dia masuk, saat dokter telah usai memeriksa Bulan. Mila memeluk Bulan, sedangkan Erna menggenggam tangan Bulan. Mereka berdua meminta maaf karena sudah membuat Bulan memaksa ingatannya.

"Selamat ulang tahun Rembulan," Bintang memberikan sebuah kotak musik yang sedari tadi dia genggam.

Bulan menerimanya dengan senyuman manis, yang mampu menggetarkan jantung Bintang sekali lagi. Dia benar-benar terpaku dengan senyuman Bulan dari dulu. Ingin sekali saja dia mencecap bibir Bulan. Tapi dia ingat, jika mereka belum menikah.

"Kenapa nggak dibungkus sih? pakai kertas kado gitu kayaj di film-film, Tang!"

"Cerewet banget sih lo! Gue nggak bisa bungkus, puas lo!" Bulan tertawa melihat Bintang yang seperti ini. Ini lucu menurut Bulan.

"Makasih Bintang!" Bukan ini yang Bintang mau, dia ingin Bulan menyebutnya sekali lagi dengan sebutan Bang Kana. Dia ingin Bulan menyebutnya seperti itu.

***

Bulan Juni, bulan dimana semuanya selalu terjadi. Bulan Juni 12 tahun yang lalu, mereka terpisah, dan tidak pernah ada kabarnya. Bulan Juni itu sangat bersejarah baginya. Selain bulan kelahiran Bulan, diq sendiri juga lahir di bulan Juni. Hari ini bertepatan dengan pernikahan mereka berdua.

12 tahun lamanya mereka terpisahkan, dan sekarang mereka dipersatukan kembali kedalam ikatan pernikahan. Mengikat cintanya dan cinta Bulan. Cinta?. Memangnya Bulan mencintai dirinya, rasanya miris sekali jika membahas tentang cinta.

Erna menepuk bahu Bintang, anak bungsunya itu masih saja duduk di depan cermin kamarnya dan belum berganti baju untuk acara pernikahan mereka nanti. Erna duduk di samping Bintang, dia ingin melihat ekspresi bahagia anak bungsunya yang sudah lama hilang, sejak Rembulan meninggalkan dirinya 12 tahun yang lalu.

"Selamat ulang tahun ya sayang, Mami sama Papi, cuma bisa kasih kamu hadiah ini," memberikan sebuah kunci rumah. "Hidup bahagia bersama Bulan dirumah baru kalian ... dan buat memori yang baru Kana, jangan kamu paksa Bulan mengingat kejadian masa lalu kalian!"

Bintang mengangguk, dia memeluk Erna dan mengucapkan kata terima kasih. Dia akan selalu bahagia bersama Rembulannya selalu. Bersama Rembulan, dia pasti akan membuat kisah yang indah bersama. Bahkan Rembulan di bulan Juni ini adalah hadiah ulang tahun terbaiknya.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Rembulan Salsabila binti Ferdi Santoso, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Dia menghentakkan tangan Ferdi di depan penghulu dan yang lainnya.

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu.

"SAH!" Teriak mereka semua.

Bintang memandang Bulan yang hanya diam, entah apa yang dipikirkan gadis itu, dia tidak tahu. Setelah penghulu membaca doa, Bintang menuntun tangannya di depan Bulan.

"Ngapain Tang?" tanyanya polos.

Astaga Rembulan, sepi orang gue cium lo!. Batin Bintang

"Cium tangan suami kamu Teteh!" Geram Mila.

Bulan akhirnya mencium tangan Bintang sesuai instruksi dari Mila, dia bahkan tidak mengerti dengan jelas yang seperti ini. Memangnya dia siap langsung dinikahkan seperti ini. Bahkan pernikahan ini ditutupi olehnya dan Bintang. Dia bahkan tidak bercerita pada Keenan, walaupun dia sahabat terbaik Bulan.

Bintang mencium kening Bulan dengan lembut dan khidmat, dan jangan ditanya lagi bagaimana jantung mereka berdua, apalagi jantung Bulan. Sudah deg-degan tidak karuan. Rasanya jantung ini akan berlari dari tempatnya.

"Selamat datang di duniaku Rembulan!" Bisik Bintang tepat di telinga Bulan.

Rasanya dia hampir tidak bernafas lagi, karena Bintang mencium pipi kanannya, tepat setelah bisikan itu terjadi. Dan selanjutnya diadakan sesi sungkeman dan acara foto bersama keluarga. Bulan melihat Ayahnya meneteskan air mata saat memeluk dirinya erat. Bahkan dia belum pernah memikirkan acara seperti ini akan terjadi. Dia selalu ingin membahagiakan kedua orangtuanya lebih dulu, baru dia akan mencari tahu siapa itu Kana yang ada dalam mimpinya.

"Ingat satu hal Teh, jangan pernah panggil suami kamu Bintang, panggil dia Bang Kana. Harus Bang Kana!" Titah Mila.

Bang Kana?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel