
Ringkasan
Azalea, seorang dokter muda yang merupakan anak dari Azlan. Berjalan dengan langkah santai di lorong rumah sakit, menuju ruang NICU. Matanya menatap seorang bayi mungil dengan selimut berwarna kuning yang membalut tubuh mungilnya itu. Menghela napas berat, dia memilih tetap di depan jendela. Akankah dirinya dapat menyelamatkan bayi mungil di depannya itu?
1. Kenangan
Semuanya berkumpul dan bersiap untuk melemparkan topi toga bersama. Pendidikan yang mereka jalani selama empat tahun, terbayarkan sudah. Mereka melemparkan topi toga ke atas.
1
2
3
Ribuan topi toga terlempar ke atas. Azalea berpelukan dengan beberapa teman perempuannya.
"Kita lulus Leaaa," teriakkan cempreng dari Janet membuat Lea terkekeh. Mereka berpelukan erat, takut berpisah jauh.
Sudah resmi menyandang status sarjana kedokteran. Azalea bahagia. Tapi perjalanannya masih panjang untuk menjadi seorang dokter tentara sesuai ciata-citanya. Dia harus melaksanakan koas lebih dulu selama dua tahun. Dan kemudian intership satu tahun.
"Lea." Azalea berlari menghampiri seorang lelaki paruh baya yang memakai seragam PDU dengan postur tubuh yang tegap. Azalea memeluknya erat.
"Lea lulus Yah." Azlan mengangguk.
"Ayo kita rayakan, Nak." Azaleanya menggeleng.
"Lea mau ke makam bunda Yah." Azlan mengangguk. Dia menggandeng tangan Azalea, anak semata wayangnya.
"Ayo sayang, kita beli mawar dulu untuk bunda." Azaleanya tersenyum bahagia dan menggandeng bukan lebih tepatnya menyeret lengan ayahnya.
Perjalanan Jakarta Bandung cukup membuat Lea merasa bosan. Tapi setelah sampai di depan pusara sang bunda, oma dan nenek buyutnya, dia merasa bahagia. Meskipun dia tidak pernah bertemu langsung, tetapi dia cukup bahagia.
"Assalamu'alaikum bunda, oma, nenek uyut, apa kabar? Lea udah lulus nih jadi sarjana kedokteran. Tapi masih harus koas lagi bun. Doakan Lea ya, bun." Azaleanya menangis dan meletakkan sekuntum mawar merah di depan pusara masing-masing.
Azlan memeluk Azalea dari samping, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Bunda bahagia lihat kamu Dek. Semangat sayang." Azaleanya mengangguk.
"Lea ke mobil dulu Yah." Azlan mengangguk. Azalea tersenyum kala melihat kesetiaan dari ayahnya. Dua puluh dua tahun, kepergian sang bunda, tetapi dia tidak pernah melihat ayahnya menjalin cinta dengan perempuan lain. Bagi ayahnya, hanya Aila seorang cintanya, untuk apa mencari perempuan lain.
"Assalamu'alaikum sayang. Apa kabarnya kamu? Aku ... tetap merindukan kamu." Hanya kata itu yang selalu Azlan ucapkan. Dia paham semuanya tetap sama, tidak akan ada balasan apapun dari Aila. Dia telah tiada.
???
Seorang pemuda memasuki rumah dinas berwarna biru. Perwira muda berpangkat Letnan dua itu, menghela napas sejenak sebelum mengetuk pintu. Menguatkan hatinya untuk menguatkan hatinya untuk menemui kedua orang tuanya. Akhirnya dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu berwarna coklat tua. Suara pintu terbuka.
Pemuda itu memberi hormat kepada lelaki paruh baya yang mengenakan seragam PDL AL. "Ayah," sapa laki-laki itu dan memeluknya erat. Selama empat tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya itu. Kerinduan yang mendalam sekarang terobati.
"Ayah kangen kamu, Nak." Pemuda itu mengangguk paham tanpa bicara.
"Siap. Saya juga komandan Aizan Alfarezel." Ayahnya menyentil kening sang putra, kemudian tertawa bersama.
"Mana pelukan buat ibu?" Wanita paruh baya bernama Aulia itu menghampiri kedua lelaki berbeda generasi dan memeluk Arsa. "Kangen kamu, Nak. Gimana hasilnya? Ada bawa pulang rekanita?"
"Ibu ini. Calon ibu persitnya lagi sibuk jadi dokter," jawab Arsa.
"Beneran?" Arsa menggeleng dan meringis.
"Cita-citanya sih gitu Bu. Doain aja, siapa tahu ada yang mau sama anak Ibu ini." Aulia tersenyum bahagia. Dia memeluk anaknya kembali, menyalurkan rasa rindu yang menggebu.
???
Azalea sedang menyirami tanaman di teras rumah dinas Azlan. Sabita datang masih memakai baju Jalasenastri. Sabita datang bersama kedua anaknya dan Habib. Azalea langsung menghampiri mereka, menyalami keduanya dan memeluk erat.
"Sendiri aja Dek? Mana ayah kamu?" tanya Habib pada Azalea.
"Ayah belum pulang Pa. Ayo masuk dulu," ajak Azalea. Mereka masuk ke ruangan dan melihat foto Azalea berpakaian kebaya dengan menggunakan toga. Sedangkan Sabita membantu Azalea membuat minuman hangat untuk mereka.
"Ini buat Adek, dari kita berdua." Angkasa memberikan boneka teddy bear warna putih dan sekotak coklat untuk Azalea. Angkasa tersenyum, saat Azalea lebih memilih boneka itu dari pada coklat. "Kenapa nggak mau coklat?"
"Dih, kasihnya nggak modal. Deposito buat masa depan dong. Wanita suka." Azalea tertawa.
"Wih, kode pingin dapat calon suami ya? Gampang itu, besok abang carikan senior yang dompetnya tebel."
'Gitu dong, itu namanya sayang adek sendiri." Mereka berdua duduk menikmati sekotak coklat.
Usia Angkasa berbeda satu tahun dengan Azalea. Sedangkan usia Chiko berbeda dua tahun dengannya. Mereka juga akrab. Kalau ada waktu senggang atau acara penting mereka akan berkumpul bersama.
"Koas dimana Dek?" tanya Sabita yang juga seorang dokter.
"Di rumah sakit TNI Ma. Ini masuk siang, bentar lagi juga berangkat." Sabita mengangguk.
"Aku yang antarin ya Dek, siapa tahu ada pacar kamu?" goda Chiko.
"Pacar apaan sih bang? Gak ada. Gak boleh pacaran, langsung nikah aja kata ayah." Azalea memberengut.
"Tunggu senior abang aja, Dek. Yang berdompet tebal."
"Setuju!"
???
Arsa masuk ke ruangan kerja ayahnya, Aizan. Arsa melihat sebuah foto seorang perempuan bersama ayahnya dan seorang laki-laki berpangkat Marsekal Madya. Seorang perempuan berhijab yang cantik dan anggun bagi Arsa. Senyumnya sangat menawan, terlihat masih sangat muda dibandingkan dengan ayahnya.
"Cantik ya, Nak?" tanya Aulia, Arsa mengangguk setuju.
"Ibu." Arsa meletakkan kembali foto itu di meja kerja ayahnya. "Wanita itu, siapa?"
Aulia tersenyum, memegang kembali foto itu. "Namanya Aila, gadis yang cantik dan baik. Ibu kenal baik dengan dia, tahu nggak Sa, dia mantan gebetan ayah." Aulia terkikik geli mengingatnya. "Tapi dia sudah menikah, mungkin sudah punya anak di bawah kamu usianya."
Aulia tersenyum kembali dan meletakkan foto itu, lalu mengajak Arsa keluar dari ruang kerja Aizan. Pikirnya, hanya masa lalu sang ayah. Tapi kenapa ibunya tidak cemburu sama sekali, malah tersenyum bahagia jika mengingat hal itu. Ini aneh sekali. Meskipun baik, setidaknya ada rasa cemburu dari ibunya, tapi ini tidak ada sama sekali. Luar biasa bukan, ibunya.
???
"Maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, kenapa Anda memilih saya? Kita belum pernah mengenal." Azlan hanya mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah Aila. Aila bersidekap dada dan memandang Azlan.
"Karena kita pernah bertemu. Dan saya juga tidak mau memperistri perempuan centil seperti dia." Aila mengangguk paham siapa yang dimaksud Azlan.
"Kapan ya? Perasaan saya tidak pernah bertemu dengan Anda". Aila mencoba mengingat wajah datar Azlan, tapi zonk, dia tidak ingat. Tidak ada kenalannya yang mempunyai wajah datar seperti Azlan.
Ingin rasanya Azlan tertawa melihat wajah Aila yang dalam mode kebingungan namun masih menggemaskan. Tapi Azlan masih saja mempertahankan wajah datarnya.
"Beberapa hari lalu, disaat saya bertugas. Kamu meyakinkan saya, bahwa kamu adalah perempuan yang terbaik dan tidak centil. Jadi terima saya sebagai calon suami kamu."
"Pede sekali Bapak?"
