Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Arkana

Lelaki itu menatap nanar sebuah foto gadis kecil, dengan pita biru di rambutnya, dan senyuman manis yang menampakkan lesung pipinya. Gadis itu tidak sendirian, melainkan dengan seorang lelaki dengan senyuman yang selalu terarah pada gadis pemilik lesung pipi itu.

"Rembulan" gumamnya pelan.

Dia masih mengingat dengan jelas sekali, saat itu Rembulan benar-benar tidak hadir sama sekali. Entah kemana, sampai sekarang dia juga tidak tahu-menahu. Yang dia tahu, Rembulan telah melanggar janjinya. Janji mereka berdua.

Erna mengetuk pintu kamar anak bungsunya. Lelaki itu membuka pintunya, dia menatap datar Maminya. Dia sedang tidak ingin di ganggu sama sekali. Dia sedang meratapi nasib hatinya yang sedang terluka.

"Ada apa sih Mi?" Erna tersenyum pada anak bungsunya itu.

"Yuk, ganti baju kamu. Ikut kita yuk!" Mau tak mau, harus mau. Lelaki itu segera berganti pakaian.

Memakai kemeja berwarna abu-abu monyet dengan dipadu celana jeans biru. Dia keluar kamar, walau hatinya sedang tidak baik sama sekali. Dia masih ingin mencari tentang Rembulan.

Tetap diam, dia terus saja menstalking sosial media, mencari seorang gadis bernama Rembulan. Seorang gadis yang cukup lama mengisi hatinya, dengan berbagai warna. Hingga tak sadar, mobil yang dia tumpangi itu telah berhenti di sebuah rumah minimalis berwarna coklat. Dia mengikuti kedua orangtuanya untuk masuk kedalam.

Cukup untuk membuatnya terperangah, di sana sebuah foto dengan figura yang sangat besar, terpampang jelas wajah seorang Rembulan, gadis kecil yang dia cari selama ini. Dengan senyuman yang tetap sama manisnya. 13 tahun yang lalu, telah merubah gadis itu menjadi seorang perempuan dengan senyuman yang menawan, sedang memegang sebuah medali emas di lehernya, dan sebuah piala kemenangan. Dan foto disampingnya, membuatnya ingin menghancurkan figura itu saat ini juga. Foto Rembulan sedang memeluk leher seorang lelaki yang sangat dia kenali, sahabat terbaiknya.

"Ini Kana?" Arkana itu menganggukkan kepalanya sopan, kala Mila menyapanya.

"Teteh!" Serua Mila kearah tangga.

Seorang gadis dengan senyuman yang telah mencuri hati Arkana selama 13 tahun itu, berdiri kaku menatap lelaki di depannya. Dia bahkan tidak tahu-menahu jika ada lelaki itu dan keluarganya. Dia hanya keluar dari kamar, hanya untuk bersalaman dengan Erna dan Handi.

"Ini Arkana, yang dulu kamu panggil Bang Kana" rasanya oksigen dalam dada Rembulan hilang sudah, dia masih bertanya-tanya, siapa itu Kana, dan yang berdiri didepan dia adalah Bintang, cinta pertamanya.

Dia di paksa duduk bersebelahan dengan Arkana. Rembulan hanya diam, berpura-pura tidak mengenal lelaki di sampingnya itu. Lelaki yang pernah membullynya dulu semasa sekolah. Lelaki itu memandang Rembulan dengan senyuman smirk.

"Rembulan Salsabila. Harusnya gue tahu dari awal kalau itu lo," dia menghirup aroma coklat di rambut Rembulan, "masih ingat gue kan? Arkana Bintang Pradana" Rembulan mengangguk.

"Yang hobi bully gue jaman SMA" Arkana mengernyitkan keningnya, bukan ini yang dia maksud.

"Jadi begini, sesuai kesepakatan kita dulu, kita akan menikahkan Kana, sama Bulan. Dan segera saja kita urus pernikahan mereka!" Ucapan Handi membuat Rembulan segera menarik tangan Arkana untuk keluar dari rumah.

Dia berdiri di teras rumah, dengan meremas rambut panjangnya. Benar-benar tidak disangka-sangka. Mereka akan menikah sebentar lagi, dan lebih parahnya, kedua orangtua mereka sudah merencanakan ini sejak awal. Astaga.

"Gila ... ini gila!" Bulan mengacak rambutnya asal, yang berhasil membuat Bintang tertawa.

"Menikah? sama lo?" teriak Bulan frustasi, "nggak ada dalam kamus kehidupan gue!" Dan Bintang tertawa terbahak-bahak, melihat kelakuan konyol Bulan. Dia benar-benar terhibur melihat Bulan frustasi.

***

Kepala Bulan rasanya dilanda pusing tiada akhir. Padahal dia baru saja menerima gaji, tetapi kenapa kepalanya masih tetap pusing. Bukan efek dari tanggal tua, ini tanggal muda dan dia masih memegang uang gajinya utuh. Dia pusing karena sesuatu hal yang memang mengganggu pikirannya kali ini.

Bintang melihat Bulan sedang berjalan dengan gontai menuju gerbang kampus. Hari ini dia memang tidak membawa motor matic kesayangannya itu. Dia masih sayang nyawanya, gawat sekali kalau dia terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Niat hati ingin menghampiri, tetapi langkahnya harus terhenti, karena dia melihat seorang lelaki berkemeja hitam menghampiri Bulan, menghampiri Rembulannya. Lelaki itu berbincang-bincang dan terlihat sangat akrab, bahkan dia juga melihat Bulan tersenyum pada lelaki itu. Padanya saja tidak tersenyum, sedangkan dengan yang lainnya saja, Bulan mampu mengulas senyum walau sebentar.

"Saya tunggu besok di ruangan saya ya!" Bulan mengangguk dan tersenyum kembali, yang mampu membuat Bintang panas.

Bintang berlari dan menarik Bulan menuju mobil jazz merahnya, dia segera masuk kedalam. Benar-benar menguji kesabaran Bintang. Dia tidak suka apa yang telah menjadi miliknya ini, diganggu orang lain. Dia benar-benar orang yang posesif. Dia menginjak pedal gasnya dengan kuat, sehingga membuat Bulan takut.

"Tang, lo gila ya? pelan dong!" Teriak Bulan ketakutan.

"Diem Lan! Gue nggak suka diatur." Bintang semakin menjadi, bahkan dia bisa menyalip beberapa mobil.

"Bintang, gue takut," tidak ada jawaban dari Bintang, dia terus saja melakukan hal yang serupa, "Abang Bintang ... aku takut!" Lirih Bulan, dia benar-benar sudah menangis karena ketakutan.

Bintang segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia benar-benar tersentuh kala Bulan memanggilnya Bang Kana. Sejujurnya dia rindu dengan sebutan itu dari Bulan, dia selalu menunggu Bulan memanggilnya Bang Kana dari awal mereka berjumpa.

Bintang melepaskan seat belt miliknya dan milik Bulan. Bulan masih menangis sesenggukan, dan itu membuat hati Bintang tersentuh. Dia memeluk Bulan, dan mengusap kepala Bulan dengan lembut.

"Maaf Lan," Bulan mengangguk di pelukan Bintang.

"Aku takut Bang, aku trauma!" Bintang mengangguk dan memeluk erat Bulan. Dia benar-benar merasa bersalah.

"kita jalan lagi ya Lan, udah ditunggu Mami sama Bunda."

Bulan mengangguk, dia paham maksud Bintang. Mereka berdua harus segera menuju KUA. Untuk melampirkan berkas pernikahan mereka segera. Tinggal mendatangkan calon pengantin dan kedua orangtuanya. Bahkan ini yang membuat Bulan pusing, pernikahan mereka semakin dekat. Bulan Juni sebentar lagi, karena pernikahan mereka akan dilaksanakan bulan Juni.

Mereka berdua telah sampai di depan KUA di wilayah Bulan, disana Erna dan Mila sudah menunggu dengan sabar kedua anak mereka. Bahkan mereka berdua paham, mengapa mereka sedikit terlambat, karena wajah sembab Bulan. Tentunya Mila tahu, bahwa anak sulungnya itu, akan menangis jika marah, sedih dan kecewa.

"Pakai bedak dulu atuh Teh, itu kelihatan banget kalau habis nangis," Bulan menggeleng, "nanti dikiranya kamu dipaksa nikah aja."

"Emang iya kan Bun? apa bedanya sama di jod--" Mila membungkam bibir Bulan.

"Diam Teh, Bunda sentil bibir kamu nanti!" Bulan mengerucutkan bibirnya, dia benci harus melakukan ini, "Abang, anterin Teteh dandan gih ke mobil." Bintang mengangguk dengan semangat 45, dia kembali menarik Bulan menuju mobilnya.

Bulan benar-benar menggerutu dalam hati, dia memoles bedak di wajahnya dan memakai liptint berwarna pink di bibirnya yang sudah kering. Bulan menghela napas berat, dia melirik Bintang yang asyik dengan tabletnya. Apa lelaki selalu seperti ini, jika menunggu perempuan berdandan.

"Tang, ini kapan selesainya sih? gue harus kerja nih," tidak ada jawaban dari Bintang, "Bintang, lo dengerin gue nggak sih?"

Sama sekali tidak ada jawaban dari Bintang. Ah Bulan lupa, jika menyebut password yang salah. "Abang Bintang ... "

Bintang tersenyum tipis, dia selalu suka jika Bulan memanggilnya seperti itu. Dia menghentikan kesibukannya dengan tablet, dan memandang Bulan yang sudah kembali rapi dan terlihat cantik alami.

"Abang Bintang, ini kapan selesainya sih? aku tuh harus kerja!"

"Sabar aja Rembulan, yuk turun!"

Mereka berdua saling diam, sampai keduanya dibawa kedua orangtua mereka ke sebuah ruangan yang hanya ada mereka berdua, Mila dan Erna, serta seorang pegawai lelaki dari KUA. Berbagai pertanyaan ditujukan untuk mereka berdua, dan hanya Bintang yang menjawabnya, bahkan dia benar-benar terperangah dengan jawaban Bintang yang mampu menggetarkan hatinya. Bintang tahu banyak seputar dirinya.

"Kalian berdua menikah atas dasar dijodohkan atau sendiri?" Pertanyaan itu berhasil membuat hati Bulan gamang.

"Atas dasar cinta, Pak!" Bulan memandangnya, dan Bintang memandang Bulan juga dengan senyuman yang manis, "iya kan Lan?"

Deg

Deg

Deg

Jantung Bulan berpacu cepat, dia bukan pertama kali seperti ini. Jantungnya berdegup pertama kali dengan jawaban Bintang. Lebih tepatnya saat Bintang mengatakan mereka saling mencintai. Bintang memang cinta pertama baginya, dia bahkan masih menyimpan cintanya sampai sekarang.

"Iya Pak ... kami saling mencintai" rasanya lidah Bulan kelu, mengakui perasaan cinta yang mungkin akan dianggap bualan oleh Bintang, tapi dia tidak peduli akan hal itu. Yang dia yakini, dia mencintai Bintang.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel