Pustaka
Bahasa Indonesia

Lapis Legit Dosen Cantik

31.0K · Ongoing
Nurkhairiyah
26
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Rustam—aku dan istriku sudah menikah selama 3 tahun lamanya. Namun, kami belum memiliki anak karena niat dan janji yang pernah kami ucapkan. Kami tidak ingin punya anak kalau belum memiliki rumah. Dari situ aku dan istriku selalu berusaha sama-sama untuk menambah tabungan supaya bisa membeli atau memiliki sebuah rumah. Di tengah-tengah perjalanan kami, badai menghantam rumah tangga kami. Seorang laki-laki tak tahu diri masuk ke dalam rumah tangga kami. Dia membayar istriku untuk menikah dengannya dengan bayaran 100 juta rupiah selama 2 bulan. Bagaimana kisah rumah tangga kami selanjutnya? Apakah aku bisa kembali kepada istriku lagi?

AktorRomansa

Bab 1

"Tuhan! Tolong cabut nyawaku! Aku capek dengan semua ini, jika hidupku sudah tidak bisa menghasilkan uang, cabut nyawaku. Aku tidak mau jika aku hanya membuat beban suamiku."

Terdengar jelas di telingaku doa istriku di tengah malam. Aku membuka mata, lalu kupandangi wajahnya dari arah samping. Istriku mengeluarkan air mata bercucuran, aku tak sanggup bergerak bahkan bersuara sekalipun. Aku menutup mata untuk mendengarkan keluh kesahnya lagi.

"Tuhan, sudah banyak kesalahan yang aku perbuat, sudah banyak maksiat yang aku lakukan, tolong, cabut nyawaku," ucapnya lagi.

'Tuhan, jangan dengarkan dia. Jangan turuti apa keinginan dia, dia itu hanya bercanda," batinku.

* * *

"Mas! Bangun!"

Elena menarik selimut yang menutupi tubuhku hingga aku merasa kedinginan. Sekilas aku membuka mata lalu aku memejamkan mata kembali.

Plak!

Elena menepuk bokongku.

"Bangun!" Ucapnya tegas.

Aku duduk dengan bermalas-malasan, tubuhku masih terasa lemas efek dari tidur yang tak nyenyak tadi malam.

"Sudah tua, bangun pun susah," cetusnya.

Aku tersenyum, itulah istriku, setiap pagi pasti marah-marah seperti singa kelaparan. Aku sadar, semua itu kesalahan yang sudah aku perbuat. Aku selalu susah untuk bangun pagi, pekerjaan di luar sana membuat tubuhku capek dan terasa pegal.

Aku bekerja di sebuah bangunan, menjadi anggota salah seorang pemborong membuat gedung untuk di jadikan sebuah hotel berbintang lima.

Aku mengikuti langkah istriku dari belakang, istriku berhenti tepat di tengah-tengah pintu.

"Aku mau coba jualan pecel keliling, Mas," ucapnya lirih.

Aku tertawa lepas. "Jual pecel?" Tanyaku tidak yakin.

"Iya, aku capek jualan cilok keliling, tidak ada yang beli," ucapnya polos.

"Iya, di coba saja dek, siapa tahu di situ rezekinya," ujarku.

Elena melanjutkan langkahnya ke dapur, dia berdiri di depan kompor untuk melanjutkan masaknya. Di atas kompor tampak sebuah panci berisi daun singkong yang sedang di rebus.

Aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk pergi bekerja.

.

.

"Rustam! Itu angkat semen, masukkan ke dalam," ujar Pak Hamdan, kepala pemborong.

"Siap, Pak," jawabku lalu meninggalkan batu bata yang kumasukkan ke dalam ember untuk di angkut ke lantai atas.

Lima puluh sak semen baru saja datang, semua orang di sini pada sibuk dengan pekerjaan masing-masing yang sudah di bagikan sebelumnya.

Aku mengangkat dua sak semen lalu ku topang kan ke pundak, membawanya masuk ke dalam gudang sampai selesai, di bantu dengan lima orang lagi temanku.

"Rustam! Itu batu bata belum selesai," teriak Edwin, teman sesama pekerja.

"Oke," sahutku ringan.

Aku mengerjakan semua pekerjaan yang bukan tugasku, aku tidak peduli, yang penting aku tidak terlihat duduk santai di mata Pak Hamdan.

Aku menghentikan gerakan ketika melihat seorang wanita sedang menuntun sebuah sepeda, ada sebuah kotak di belakangnya dan daun tampak daun pisang di keranjang bagian depan.

"Astaga, Elena," gumamku cekikikan. Elena tidak segan-segan menawarkan dagangannya kepada Pak Hamdan yang sedang duduk sendirian sambil memainkan gawai.

Elena menstandarkan sepedanya tepat di depan Pak Hamdan dan berdiri di sisi sepeda, rambutnya terikat rapi, baju kaos yang dia kenakan terlihat ketat karena ada dua buah yang menonjol di area dada.

Dari kejauhan mereka tampak akrab, padahal hari ini adalah kali pertama mereka berjumpa. Tapi sudahlah, namanya juga pedagang, harus ramah kepada pembeli.

Tangan Elena terlihat lihai menata sayur mayur ke dalam daun pisang yang di bentuk kerucut. Terakhir kalinya Elena menyiramkan sayuran itu dengan tiga sendok bumbu yang terbuat dari kacang tanah.

Pak Hamdan tampak menikmati pecel buatan Elena, lelaki itu berdiri lalu membalik badan menghadap ke gedung yang masih berantakan.

"Wooouii, sarapaaan!" Teriaknya dengan suara keras, "Aku traktiiir!" Teriaknya lagi.

Aku senyum semringah mendengarnya, akhirnya Elena mendapatkan pembeli yang tepat. Aku meletakkan batu bata yang masih ada di tanganku lalu berjalan ke arah Elena dan Pak Hamdan berada.

"Wah, pas banget aku belum sarapan," ucap salah seorang temanku sambil memandangku.

Aku tersenyum, langkahku berhenti tepat di samping Pak Hamdan. 20 pekerja bangunan berkumpul dan mengantre untuk mendapatkan sebungkus pecel buatan Elena.

"Eh, Rus, makanlah! Enak. Andai aku punya istri pandai masak, pasti aku enggak akan makan di luar," ucap Pak Hamdan sambil mengunyah ketika aku menerima pecel dari tangan Elena.

"Loh, istri bapak tidak bisa masak, ya?" Tanya Elena sambil meracik pecel selanjutnya.

"Tidak. Aku belum pernah menikah. Orang tuaku sudah pengen cucu, tapi aku belum mau menikah," jawabnya sambil sesekali memandang Elena.

"Kenapa, Pak?" Tanya Elena.

"Jangan panggil Pak, Hamdan saja," ujarnya.

Elena tertawa lepas, dia bersikap acuh tak acuh padaku bahkan aku tidak di anggap suaminya di sana.

"Mbak, pasti suaminya senang dong punya istri pandai masak seperti Mbak?" Tanya Pak Hamdan sambil membuang daun yang tak tersisa.

"Aku tidak punya suami," jawabnya tegas.

Degh!

Jantungku berdegup kencang, hatiku sakit tak karuan mendengar ucapan Elena barusan. Entah apa maksudnya dia tidak mengakui aku di sana.

"Oh, ya? Ke mana suaminya?" Tanya Pak Hamdan menatap Elena yang sedang memberikan pecel untukku. Bahkan Elena tidak memandangku.

"Dia pergi dan aku tidak tahu dia ke mana," ucapnya.

Aku tersenyum getir, walaupun di sertai rasa panas yang membara, aku berusaha bibirku selalu mengembang. Aku ingat pesan Elena, aku harus bertanya dulu apa maksudnya sebelum aku marah padanya.

Pembicaraan mereka sangat panjang dan lebar, aku di perintahkan untuk melanjutkan pekerjaan ku sedangkan mereka tetap bercerita di sana. Entah apa yang mereka obrolkan karena sesekali Elena tertawa terpingkal-pingkal.

Sebuah ember berisi adukan semen yang baru saja di tarik ke atas menggunakan tali tambang itu terjatuh membuat semua yang melihat berteriak.

"Awaaaas!"

"Rustam! Kamu ndak apa-apa?" Tanya Edwin sambil berlari mendekatiku.

"Enggak, aku enggak kena kok," jawabku sambil tersenyum.

Aku melihat ke arah Pak Hamdan dan Elena di sana, mereka masih tetap asyik mengobrol setelah melihat kejadian yang hampir melukaiku.

.

.

"Mas, kamu udah pulang?" Sapa Elena sambil duduk di bangku yang ada di teras rumah.

Aku tidak menjawab, aku membuka jaket sambil masuk ke dalam rumah. Elena mengikutiku dari belakang.

Aku melihat bekas wadah yang di bawanya dagang tadi pagi sudah bersih tersusun di rak piring, aku membuka tudung saji tapi tidak menemukan sisa dedaunan ataupun bumbu kacang.

"Mas, Alhamdulillah habis tadi pecelnya," ucap Elena dengan wajah semringah.

"Hmmm," aku hanya merespon dengan mulut tertutup.

"Mas, tau enggak aku dapat uang berapa? 350 ribu," ucapnya riang.

"Oh," jawabku singkat, padat, dan tepat.

"Mas! Sebenarnya kamu senang enggak sih kalau dagangan ku laris dan habis?" Tanya Elena kesal.

Aku membalik badan ketika hendak ke kamar mandi. "Aku lebih senang kamu jualan cilok! Walaupun enggak laku," ucapku ketus dengan mata melotot.

Rasa panas di dada meronta-ronta sejak aku melihat Elena dan Pak Edwin tadi, aku sudah mencoba memadamkan bara yang menyarang di dada, namun, aku gagal.

Prang!

Elena membanting rantang berisi gulai patin yang ada di meja makan ke lantai. Membuat aku terperanjat dan nyaliku ciut.

"Aku ini masih berusaha mencari uang, Mas. Kamu paham enggak sih?" Ucap Elena kesal.