Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Aku senang. Tapi bukan berarti kamu harus dekat dengan Hamdan," ucapku dengan nada tinggi.

"Mas! Dia itu pelanggan, jadi aku harus ramah dengannya—"

"Tapi bukan berarti kamu harus bilang kalau suami kamu itu minggat 'kan? Ingat! Ucapan adalah doa," teriakku menyadarkan nya.

Elena mengentak-entakkan langkahnya menuju ke kamar, "Kamu itu enggak tahu apa maksudku, kamu itu enggak ngedukung aku, mas."

Elena membanting pintu kamar hingga sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding rumah kami terjatuh dan pecah. Sebuah foto pernikahan aku dan Elena tiga tahun lalu.

Aku duduk di kursi, menatap gulai patin yang berserakan di lantai, tidak lama kemudian Emil datang dan melahapnya, tampak dari matanya dia sangat kelaparan. Eh, di sini aku mau memperkenalkan Emil dulu, Emil adalah seekor kucing jantan yang sudah ku rawat sejak kecil.

"Meong!" Ucapnya ketika memandangku.

Aku jongkok menghadapnya, "Makanlah, habiskan, aku sudah kenyang," ucapku berbohong sambil mengelus kepalanya.

* * *

Aku merebahkan tubuhku di ranjang, tepatnya di sebelah Elena dengan posisi telentang. Kudengar suara gemuruh di bagian perut, cacing di dalam perutku sedang kelaparan.

Aku tidak bisa tidur dengan perut kosong, tapi apalah dayaku, sayur yang di masak Elena tadi sudah di buang. Apa aku harus nyuruh Elena untuk masak lagi? Oh, tidak. Nanti aku malah di telan olehnya.

Dreett ...

Dreett ...

Gawai Elena bergetar tanpa suara.

Aku meraba lalu melihat pemanggilnya, "Pak Hamdan?" Batinku setelah aku melihat nama bos Hamdan tertera di sana.

Kuletakkan lagi gawai itu tepat di samping kepala Elena. Tidak lama Elena menggeliat lalu meraba mencari gawainya.

"Siapa, Dek?" Tanyaku ketika gawai itu berdering untuk yang kedua kalinya.

"Emh, ibu," sahutnya sambil memainkan gawai.

Aku mengangguk-anggukkan kepala, aku menunggu istriku menjawab panggilan itu, tapi panggilan itu di tolak, terlihat dari Elena menggeser layar ke sebelah kiri.

Aku membenahi tidurku, memasang selimut untuk mencari posisi ternyaman. Semua pikiran kotorku ku buang jauh-jauh, aku lebih memilih menghayal daripada menyesali apa yang telah terjadi.

.

.

"Bangun!"

Lagi. Elena menarik selimutku, tadi malam aku tidak tahu bagaimana cara jam berputar, yang pasti masih sama ke arah kanan. Yang ku maksud, aku tidak tahu apa-apa, begitu tidur, sudah di bangunkan lagi. Terbayangkan bagaimana lelahnya aku?

* * *

"Mas, aku berangkat," ucap Elena menjabat tanganku.

Aku menelan segumpal nasi beserta lauk yang ada di mulutku. "Memangnya sudah siap semua?" Tanyaku.

"Sudah, aku enggak mau pelanggan ku kabur kalau aku kesiangan," ucapnya.

Aku melihat pergerakan Elena menata bahan dan peralatan jualan kelilingnya. Pandanganku berpindah pada piring ketika Elena sudah keluar dari rumah.

Aku menatap gawai yang ada di mejaku, kalian harus tahu apa merek gawaiku ini. BBS, black berry senter, gawai yang enggak bisa di mainkan seperti milik orang-orang, gawai yang tidak bisa di geser-geser layarnya. Tapi biarlah, semua ini aku syukuri.

.

.

"Mas Rustam!" Teriak Pak Warto, tetanggaku ketika aku memarkirkan motor.

Dari kejauhan, aku melihat Elena tengah duduk di kerumunan para kuli bangunan, dan di sampingnya duduk seorang lelaki tinggi besar dariku. Aku mengalihkan pandangan ke arah Pak Warto yang tengah berjalan ke arahku.

"Ada apa, Pak?" Tanyaku sambil membuka helem.

"Mas, bukannya itu, Elena?" Tanyanya padaku sambil menoleh ke belakang.

"Iya, Pak," sahutku sambil melemparkan senyum terpaksa.

"Ngapain dia di sana, Mas?" Tanya pak Warto kepo.

"Dia jualan pecel, mungkin ada yang sedang mentraktir mereka. Bapak enggak ikutan, Pak?" Tanyaku.

"Oh, pantes, di rubung gitu," ucapnya cekikikan.

Melihat tawanya, hatiku hancur. Aku tahu Pak Warto sedang berpikiran buruk tentang Elena, aku menepuk pundaknya lalu melangkah ke arah kerumunan orang yang sedang menikmati pecel buatan Elena.

"Aku duluan, Pak," ujarku.

"Iya, iya, mas," sahutnya sambil terus tertawa kecil.

Aku duduk di sudut, sesekali memperhatikan mimik wajah istriku yang sangat semringah.

"Elena, tadi malam kamu bilang sedang ada tamu di rumah, siapa?" Tanya Pak Hamdan memandang Elena.

Elena tercengang dengan mata melotot, ternyata dia sudah sadar kalau aku tengah duduk di sana.

Elena berpura-pura merapikan jualannya, tanpa menghiraukan pertanyaan Pak Hamdan. Aku penasaran dengan apa yang tengah di tanyakan tadi.

"Mbak Elena, itu Pak bos bertanya," ucapku memandang Elena sambil tersenyum.

"Eh, apa pak? Pak! Aku mau keliling dulu, ya. Nanti keburu sore," ujar Elena tanpa menjawab pertanyaan itu.

"Sabar,"

Elena membalik badan sambil menghentikan langkahnya dengan tangan yang memegang setang sepeda.

"Ada apa, Pak?" Tanya Elena sekilas memandangku.

"Ini belum di bayar," ucap Pak Hamdan mengingatkan.

Pak Hamdan mengeluarkan uang kertas berwarna pink, semua pesanannya sejumlah delapan puluh ribu rupiah.

"Tidak, tidak. Kembaliannya untuk kamu saja," ujar Pak Hamdan ketika Elena mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah.

"Terima kasih, Pak," ucap Elena sambil tersenyum.

Aku menggelengkan kepala, walaupun sakit rasa hatiku, ada rasa senang dalam hati melihat dagangan Elena laris manis. Dan pastinya aku enggak bakal mendengar keinginan konyolnya itu.

Masih pagi Elena sudah sampai di sini, berarti tujuan utamanya Pak Hamdan, pelanggan yang belinya sampai puluhan ribu.

"Rus, kamu tahu rumah Elena?" Tanya Pak Hamdan berbisik ketika lelaki itu mendekati ku.

"Memangnya kenapa, Pak?" Tanyaku spontan.

"Aku pingin main ke rumahnya, tapi dia enggak mau kasih alamat. Katanya sih ayahnya galak," ucap Pak Hamdan.

"Bapak naksir sama dia?" Tanyaku dengan nada datar.

"Jujur, ya, Rus, aku salut sama wanita yang pandai masak. Dari dulu aku pengen punya istri yang pandai masak. Cantik, baik, pandai masak, bisa juga bantu cari penghasilan. Apalah kurangnya Elena ini, ya, sampai-sampai suaminya tega ninggalin dia," ucap Pak Hamdan yang masih memandangi Elena dari belakang.

Pak Hamdan memandangku ketika Elena sudah hilang di tikungan. Lelaki itu pernah berkata padaku, jika aku memiliki istri, akanku jadikan dia ratu. Sedangkan aku, aku tidak bisa menjadikan Elena ratu di rumah itu.

Tapi aku enggak akan membiarkan Pak Hamdan dekat dengan Elena, biar bagaimanapun aku harus menutupi statusnya dan juga mendukung usahanya.

"Pak! Elena itu, sebenarnya mandul, maka dia di tinggalkan istrinya," ucapku berbohong.

"Masak sih?" Tanya Pak Hamdan dengan nada serius.

"Coba bapak tanya, sudah berapa tahun menikah? Punya anak berapa? Pasti dia jawab enggak punya anak," ucapku.

Pak Hamdan mengangguk-anggukkan kepala, sepertinya dia sedang berpikir. Aku beranjak lalu meninggalkan dia yang sedang termenung.

Sebenarnya aku dan Elena memang belum memiliki anak, sudah tiga tahun kami menikah. Bukan karena mandul di antara kami, tapi kami memiliki sepakat, kami tidak ingin memiliki bocah sebelum memiliki rumah. Ya, rumah yang kami tempati sekarang adalah rumah pewaris orang tua Elena. Tidak besar, namun nyaman untuk di tinggali.

Kami sudah berjanji akan keluar dari sana setelah kami memiliki rumah sendiri, rumah itu menjadi hak milik adik bungsu Elena yang kini sedang TKW di luar negri.

"Rustam! Makan siang kamu mana?" Tanya Widodo, temanku.

"Aku enggak bawa, nanti beli saja," jawabku dengan nafas ngos-ngosan.

Tadi pagi aku dan Elena bertengkar lagi sebelum aku mandi, Elena hanya menggoreng telur dadar untuk sarapan pagi ku. Jadi, aku tidak membawa bekal pagi ini.

Semua pekerja beristirahat di tengah hari, mereka semua mengeluarkan bekal namun tidak diriku. Aku hanya mengambil dan menghadap seteko air mineral.

"Rus, kamu enggak makan?" Tanya Pak Edwin.

"Enggak, Pak, masih kenyang," jawabku.

"Tapi katanya mau beli?" Timpal Widodo dengan nada lirih.

Aku hanya bisa tersenyum, bagaimana aku akan membeli, pagi ini aku tidak di kasih uang sama Elena. Aku enggak pernah megang uang, seluruh uangku kuberikan pada Elena selepas gajian.

"Sini, makan sama aku," ujar Widodo sambil membuka bekal di hadapanku.

"Enggaklah, aku masih kenyang," ucapku.

"Sudah, jangan sok nolak, aku tahu semuanya," ucapnya dengan nada lirih.

Aku diam dan memandang Widodo, dia tau apa? Sedangkan rumah kami berjauhan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel