Bab 4
Langit belum pulih.
Tapi untuk pertama kalinya sejak ribuan tahun, langit tidak lagi berusaha menutupi keretakannya.
Awan-awan gelap menyisih, bukan karena kalah, tapi karena memilih memberi ruang. Di bawah langit yang kini terbuka, ratusan kota kecil menggantung dalam diam. Mereka yang dulu hidup dengan aturan langit kini memandang ke atas… dan mendapati dunia tidak lagi sama.
Kael turun dari puncak Aseran. Langkahnya pelan. Sayapnya tak lagi menyala terang, hanya tersisa percikan merah di tepinya—seperti bara yang belum padam, tapi juga tak lagi membakar.
Yuna dan Eira menyambutnya. Mereka tidak berkata apa-apa. Hanya berjalan di sisinya. Karena kadang, keberadaan adalah bahasa yang lebih dalam dari nasihat atau ucapan selamat.
Di balik mereka, naga-naga purba terdiam.
Satu per satu, mereka mulai menutup mata. Bukan karena mereka lelah. Tapi karena mereka tahu… generasi berikutnya sudah belajar mendengar, bukan hanya melawan.
Di sisi lain dunia, Lyseren berlutut di depan danau kuno yang disebut “Cermin Pertama”. Danau itu tidak memantulkan bentuk… hanya emosi.
Ia melihat dirinya di permukaan air. Tapi yang tampak bukan sosok sempurna seperti yang diciptakan.
Ia melihat… kesedihan.
Rasa ingin tahu.
Dan rasa takut yang ia tak mengerti.
"Aku... merasa," bisiknya pelan, suara gemetar.
Seekor burung kecil hinggap di batu di dekatnya. Tidak takut. Tidak lari.
Lyseren menatapnya. "Apakah kau takut padaku?"
Burung itu miringkan kepala, lalu mengepak pelan dan terbang, membuat riak kecil di air.
Di balik bayangannya sendiri, Lyseren melihat pantulan wajah Kael.
Tapi bukan dari tubuh Kael.
Dari dalam dirinya.
Dan ia sadar, bagian dari yang disebut “cacat” itu… juga tinggal di dalamnya.
Ia menggenggam dada. Kali ini bukan karena perintah.
Tapi karena pertama kalinya, ia merasa denyut.
Perlahan. Tapi nyata.
“Aku… hidup.”
Beberapa minggu kemudian, Pasukan Cermin dibubarkan.
Kuil Ketiga dikosongkan.
Dan untuk pertama kalinya, Kota Langit menurunkan pelindung-pelindung transparan yang selama ini memisahkan mereka dari dunia bawah.
Rakyat mulai turun dari langit, bukan untuk menaklukkan, tapi untuk bertanya.
Untuk mendengar.
Dan di kota-kota yang dulu dilarang berbicara tentang naga, anak-anak mulai menggambar sayap di dinding. Bukan sebagai musuh. Tapi sebagai bagian dari cerita yang akhirnya diberi tempat.
Kael mendirikan tempat di batas antara pegunungan dan lembah.
Bukan kuil.
Bukan benteng.
Hanya sebuah lingkaran batu, di mana siapa pun boleh datang dan duduk.
Di situ, ia tidak mengajar.
Tidak berpidato.
Hanya mendengarkan.
Beberapa datang membawa cerita kehilangan. Beberapa datang dengan kebingungan. Beberapa bahkan datang dengan amarah.
Kael tidak menyela.
Ia hanya duduk.
Dan saat malam tiba, ia menyalakan api.
Lalu berkata, "Api ini... dari tubuhku sendiri. Tapi kalian boleh hangatkan tangan kalian di sini. Tidak apa-apa."
Yuna mengelola tempat itu bersama Eira.
Mereka menamai tempat itu Telinga Kedua—karena dunia terlalu lama hanya bicara lewat mulut pertama, tapi lupa mendengar dengan yang lain.
Dan suatu sore, datang anak kecil dengan mata emas dan rambut abu-abu.
Ia tidak tahu siapa dirinya.
Tidak tahu dari mana ia datang.
Tapi Kael menatapnya dan berkata, "Namamu... bukan hasil dari mereka. Namamu akan kau pilih sendiri."
Anak itu berpikir lama, lalu berkata, "Aku ingin nama yang belum pernah dipakai siapa-siapa."
Kael tersenyum.
"Itu berarti... kau akan jadi awal cerita, bukan kelanjutan."
Dan anak itu memilih nama: Arven.
Arven tinggal di tempat itu, membantu menanam, menyapu, dan kadang duduk memandangi bintang. Suatu malam, ia bertanya pada Kael:
“Kalau aku bukan dewa… bukan senjata… bukan bagian dari mereka… aku ini apa?”
Kael menatapnya dan menjawab, “Kau… adalah kemungkinan.”
Gerbang Keempat tak pernah benar-benar dibuka.
Karena ternyata, dunia tidak butuh lebih banyak pintu.
Dunia hanya butuh cukup ruang… untuk menampung semua yang tidak sempat ditampung sebelumnya.
Dan dalam ruang itu, luka tidak disembuhkan paksa.
Ia hanya diberi tempat duduk.
Dan diberi nama.
Karena nama… adalah awal dari diterima.
Dan diterima… adalah awal dari damai.
Beberapa tahun berlalu.
Arven tumbuh di bawah langit yang tak lagi ditentukan oleh kekuasaan, tapi oleh waktu yang belajar bersabar. Rambutnya kini lebih panjang, digelung asal di belakang kepala. Matanya masih menyimpan pantulan emas—namun tak lagi menyilaukan, hanya cukup untuk terlihat di antara kerumunan.
Ia menghabiskan hari-harinya merawat batu-batu di Lingkaran Kedua. Menyusun ulang formasi energi tanah. Mendengar cerita orang-orang yang datang dari jauh—dari reruntuhan kota langit, dari sisa benteng penjaga lama, dari pulau-pulau yang dulu tersembunyi di balik kabut Chi.
Suatu malam, ia duduk sendirian di dekat api unggun.
Kael mendatanginya, membawakan dua cangkir teh herbal dari akar tanah merah.
“Kau tidak tidur?” tanya Kael.
Arven menatap langit. “Langitnya diam sekali malam ini.”
Kael duduk di sebelahnya. “Kadang diam adalah caranya menunggu.”
“Menunggu apa?”
Kael memandang lurus ke depan. “Menunggu seseorang bertanya sesuatu yang tak pernah ditanyakan sebelumnya.”
Arven menyesap teh. “Kau tahu… akhir-akhir ini aku dengar suara.”
Kael diam.
“Bukan seperti suara makhluk. Tapi suara... rindu. Seperti ada yang tertinggal. Bukan di dunia ini, tapi... di antara celahnya.”
Kael akhirnya menjawab, pelan, “Gerbang kelima.”
Arven menoleh.
“Ada cerita yang tidak pernah selesai,” lanjut Kael. “Bukan karena dilupakan. Tapi karena semua yang hidup... terlalu takut menyentuhnya.”
“Cerita apa?”
Kael menatap api. “Cerita tentang mereka yang tidak berasal dari dunia ini, tapi pernah mencoba memahami kita.”
Arven menyipitkan mata. “Kau bicara tentang... makhluk sebelum naga?”
“Bahkan sebelum itu.”
Diam sejenak.
Lalu Kael menaruh gulungan kecil di tangan Arven.
“Kota Tanpa Langit,” katanya. “Pernah ada, pernah hilang. Tapi bukan karena musnah. Melainkan karena... ia menolak ditemukan oleh siapa pun yang belum siap.”
Arven membuka gulungan itu. Sebuah peta kasar. Hanya ada tiga titik: satu di tengah gurun bekas lautan, satu di antara patahan Pegunungan Moru, dan satu... melayang di udara, tanpa daratan di bawahnya.
“Ini... nyata?”
Kael mengangguk. “Tapi tidak bisa dicari dengan mata.”
Arven mengernyit. “Lalu dengan apa?”
“Dengan luka yang tak bisa kau beri nama.”
Malam itu, mimpi Arven dipenuhi suara.
Bukan bahasa. Bukan simbol. Tapi aliran rasa yang terlalu tua untuk didefinisikan.
Ia melihat bangunan-bangunan melingkar dari batu hitam dan cahaya biru.
Ia melihat makhluk tinggi berkulit cermin, berjalan tanpa bayangan.
Ia melihat langit yang punya dua sisi—satu yang menaungi, satu yang menyembunyikan.
Dan di tengah semua itu… ia melihat dirinya sendiri, berdiri di atas jembatan transparan yang retak di tengah.
Suara itu berkata:
> “Jika dunia ini ingin sembuh… luka terdalamnya harus dikenali.”
> “Dan untuk mengenali… seseorang harus bersedia menyelam lebih dalam dari kegelapan.”
Ketika Arven terbangun, ia tahu.
Sudah waktunya ia pergi.
Kael memeluknya sebelum ia berangkat.
“Jangan jadi pahlawan,” katanya.
“Aku tidak akan,” jawab Arven.
“Lalu kenapa kau pergi?”
“Karena aku ingin tahu… apakah luka bisa mencintai balik.”
Kael terdiam sejenak, lalu tersenyum.
“Maka kau akan menemukan mereka.”
Perjalanan Arven dimulai tanpa pengikut.
Hanya dia, peta yang tak bisa dibaca siapa pun, dan sebuah kalung kecil peninggalan Lyseren yang ditemukan Kael di danau Cermin Pertama.
Di utara, ia menghadapi tanah yang menolak dilalui—Chi yang membalik arah, medan realitas yang menekan seperti pelukan raksasa.
Di tengah gurun, ia berhari-hari hanya mendengar suara jantungnya sendiri. Tapi di hari ketujuh, ia mendengar suara lain—lembut, familiar, dan sangat asing sekaligus.
> “Kenapa kamu ke sini?”
Ia menoleh.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya pasir yang diam.
> “Apa kau tidak takut dilupakan?”
Ia menunduk.
Lalu menjawab, “Aku tidak datang untuk dikenang.”
> “Lalu untuk apa?”
“Aku datang... untuk memberi nama bagi yang tidak pernah diberi.”
Langit berubah di atasnya.
Pasir terangkat. Udara membentuk pusaran.
Dan di tengah badai Chi itu… muncul satu gerbang.
Tidak megah.
Tidak tajam.
Hanya lengkungan tipis yang jika dilihat sekilas… terlihat seperti lengkungan tulang rusuk.
Arven melangkah masuk.
Di balik gerbang itu…
Dunia lain menunggunya.
Dunia yang tidak bicara lewat suara.
Tapi lewat rasa.
Lewat luka.
Lewat memori yang tidak pernah selesai.
Dan mungkin…
di sanalah,
akhir cerita yang selama ini berputar,
akan menemukan satu awal baru.
