Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Langkah Arven bergema lembut dalam ruang yang tidak memantulkan suara.

Ia melintasi tanah yang tak bisa dijelaskan sebagai padat atau cair, cahaya yang tak menyilaukan tapi menembus pikirannya seperti getar paling halus. Di sekelilingnya, tidak ada bentuk yang bisa dikenali—tidak bangunan, tidak langit, tidak daratan. Hanya lapisan-lapisan rasa… seperti kenangan yang belum pernah diingat.

> “Selamat datang.”

Bukan suara.

Bukan kata.

Tapi seperti seseorang menaruh tangannya di punggung Arven—bukan untuk mendorong, tapi untuk mengatakan: “Aku di sini.”

Ia menoleh. Dan menemukan sosok itu.

Seseorang—atau sesuatu—berwujud seperti dirinya, tapi tak sepenuhnya padat. Rambutnya seperti asap, kulitnya bening seperti embun pagi, dan matanya tak punya warna—karena isinya terlalu banyak.

“Siapa kau?” Arven bertanya, tidak dengan suara, tapi dengan rasa.

Sosok itu menunduk sedikit. “Aku adalah mereka yang mencoba menjadi kamu.”

“…Makhluk sebelum naga?”

“Makhluk sebelum makhluk. Kami adalah cermin yang pertama. Tapi tak ada yang cukup berani untuk bercermin saat belum siap melihat cacatnya sendiri.”

Arven menggenggam kalung peninggalan Lyseren. Rasanya hangat. Ia melangkah maju. “Aku datang… bukan untuk bertanya. Tapi untuk mengerti.”

Sosok itu tersenyum. Sebuah senyum yang tidak menyembunyikan kesedihan. “Lalu kau sudah lebih jauh dari siapa pun sebelumnya.”

Mereka berjalan bersama. Tapi langkah itu bukan gerakan tubuh, melainkan gerakan hati. Setiap tempat yang mereka lalui… bukan lokasi, tapi lapisan-lapisan kesadaran.

Mereka melewati Ruang Pertama—yang disebut Luka yang Ditolak.

Arven melihat bayangan manusia pertama yang menangis, tapi memilih menyembunyikannya dalam amarah. Di dinding transparan, ia melihat perang, pengusiran, dan kebohongan yang dibangun bukan karena kejahatan… tapi karena takut dilihat rapuh.

Mereka melewati Ruang Kedua—yang disebut Luka yang Dilupakan.

Di sini, Arven menyaksikan cerita yang tak pernah dicatat. Anak-anak yang hilang. Bahasa yang dibungkam. Makhluk-makhluk yang disapu bersih karena tidak sesuai harapan dunia.

> “Mereka tidak pernah dimakamkan. Maka mereka tidak pernah selesai.”

Dan Arven menangis. Tidak keras. Tapi dalam.

Di Ruang Ketiga—yang disebut Luka yang Diwariskan, ia melihat dirinya sendiri. Tapi bukan tubuhnya. Bukan jiwanya. Melainkan beban-beban yang ia bawa tanpa tahu dari mana asalnya.

> “Ini luka orang lain yang tertanam dalam ingatanmu,” kata sosok itu.

> “Tapi rasanya seperti milikmu sendiri.”

“Bagaimana cara… membedakannya?” tanya Arven, nyaris tenggelam.

Sosok itu menjawab: “Dengan tidak buru-buru menyembuhkannya. Tapi duduk bersamanya. Seperti yang Kael ajarkan padamu.”

Dan Arven duduk. Di ruang yang tak punya lantai. Di dalam luka yang tidak punya sumber pasti. Ia duduk.

Lama.

Sampai semuanya berhenti menyakiti.

Bukan karena hilang.

Tapi karena akhirnya…

Diterima.

 

Saat ia membuka matanya, ia berada di tengah lingkaran batu yang asing tapi familiar. Di hadapannya, sosok-sosok dari berbagai zaman berdiri melingkar. Tidak saling menyentuh, tapi saling mengakui.

Ia melihat naga pertama. Makhluk Chi dari langit.

Ia melihat Lyseren—atau mungkin bagian jiwanya—tersenyum pelan dari kejauhan.

Ia melihat sosok Kael, duduk di kejauhan, tidak hadir secara fisik… tapi terhubung lewat denyut batu yang ia duduki.

Dan di tengah lingkaran itu, sesuatu tumbuh.

Bukan pohon. Bukan menara.

Tapi sebuah jembatan.

Dibangun dari serpihan rasa yang telah diterima.

Terbentang ke arah yang tak bisa dijelaskan—bukan ke timur atau barat, bukan ke masa depan atau masa lalu.

Tapi ke dalam.

Arven berdiri di atas jembatan itu. Ia menoleh sekali ke belakang. Tidak ada yang menahannya.

Ia menatap ke depan. Tidak ada yang menuntunnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak bertanya…

> “Apa ini jalannya?”

Karena kali ini, ia mencipta jalan itu sendiri.

 

Di tempat lain, di dunia yang lama, langit berubah warna perlahan.

Orang-orang di Lembah Tua melihat cahaya samar yang memantul dari pegunungan. Tidak menyilaukan. Hanya seperti bisikan pelan dari tempat yang sangat jauh:

> “Kami tidak hilang.”

> “Kami hanya sedang belajar menyembuhkan.”

Dan di malam itu, saat api di Telinga Kedua dinyalakan oleh Yuna dan Eira, seseorang bertanya:

“Di mana Arven sekarang?”

Yuna tersenyum pelan. “Di tempat yang bahkan langit pun harus belajar mendengarkan.”

Di tempat di mana Arven melangkah lebih dalam dari kegelapan, waktu tidak berjalan.

Atau mungkin… ia belajar berjalan secara berbeda.

Setiap langkah Arven di atas jembatan itu adalah pertanyaan yang belum pernah ditanyakan. Dan setiap inci jembatan yang terbentuk di bawah kakinya… bukan hasil dari bahan bangunan, melainkan hasil dari keberanian untuk tidak tahu.

Tidak tahu tujuan.

Tidak tahu arti.

Tidak tahu akhir.

Dan justru karena itu…

Ia menemukan mereka.

Makhluk-makhluk yang tak punya nama. Tidak bisa dikenali oleh bahasa dunia lama. Tidak bisa dijelaskan oleh sihir naga atau teknologi langit. Wujud mereka tidak tetap. Kadang menyerupai kabut yang bergerak dengan pola seperti napas. Kadang seperti sosok manusia dengan wajah yang terus berubah sesuai siapa yang melihatnya.

Mereka tidak bicara.

Mereka tidak menyerang.

Tapi mereka mengelilingi Arven—bukan sebagai ancaman, tapi sebagai pertanyaan.

> “Siapa kamu saat tidak sedang berperan?”

Arven membuka telapak tangannya. Kalung peninggalan Lyseren masih ada di sana. Tapi warnanya berubah—bukan lagi perak, melainkan tembus pandang, seperti beningnya rasa yang belum pernah ditolak.

“Aku… belum tahu,” jawab Arven.

Salah satu dari makhluk itu bergerak lebih dekat. Wujudnya seperti cahaya patah, memantulkan kenangan. Saat Arven melihatnya, ia tidak melihat makhluk itu.

Ia melihat ulang bayangannya sendiri.

Tapi bukan Arven saat ini.

Bukan Arven sebagai anak.

Bukan Arven sebagai murid Kael.

Melainkan semua versi dirinya yang pernah ia tolak.

Arven yang pernah takut.

Arven yang pernah iri.

Arven yang pernah ingin pergi dan tak kembali.

Dan perlahan, ia mengulurkan tangan.

Makhluk itu menyentuh ujung jarinya.

Dan dalam sekejap, tidak ada suara.

Tidak ada cahaya.

Hanya satu detak.

Satu.

Nyata.

 

Arven membuka mata. Ia terbaring di atas batu. Tapi bukan batu dunia lama. Ini seperti kulit bumi pertama yang belum pernah disentuh peperangan atau ambisi.

Langit di atasnya berbentuk lingkaran.

Dan dari tengah langit itu, jatuh satu tetes air. Hening. Mendarat di dadanya.

> “Itu… air dari memori pertama,” ujar suara dalam dirinya.

Ia menyentuh titik basah itu. Dan tubuhnya… berubah.

Tidak menjadi makhluk baru. Tapi menjadi makhluk utuh.

Arven tidak memiliki kekuatan naga.

Tidak memiliki kecemerlangan Lyseren.

Tidak punya sayap.

Tidak punya senjata.

Tapi ia punya satu hal:

Ia tahu bahwa dirinya cukup.

 

Di dunia lama, perubahan dimulai sebagai bisikan.

Chi yang dulu kacau, mulai berdenyut mengikuti napas orang-orang yang mau diam.

Anak-anak mulai mimpi tentang tempat yang tak diajarkan, tapi terasa familiar.

Di reruntuhan Kota Langit, seseorang menemukan batu yang bergetar jika disentuh sambil berkata jujur.

Dan di Lembah Tua, Yuna menulis satu kalimat baru di dinding Lingkaran Kedua:

> "Luka bukan untuk ditutup. Tapi untuk dijaga, sampai siap dicintai."

 

Beberapa musim berlalu.

Pada malam yang tidak punya bulan, angin membawa aroma yang tak dikenal.

Eira menoleh ke arah lembah.

“Yuna,” katanya, pelan. “Lihat.”

Sosok berjalan di antara kabut.

Langkahnya tenang.

Rambutnya panjang, digelung asal.

Matanya… masih menyimpan pantulan emas. Tapi kali ini, di balik pantulan itu, ada satu hal lain.

Ada ruang.

Arven kembali.

Tapi bukan sebagai yang hilang.

Bukan sebagai yang ditunggu.

Melainkan sebagai yang siap memulai lagi.

 

“Apa yang kau temukan?” tanya Yuna.

Arven menatap api unggun.

Ia menjawab,

> “Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab.”

> “Karena cukup… untuk mendengarnya.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel