Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Langit kembali gelap.

Namun bukan kegelapan yang datang dari awan badai, melainkan dari bayangan sejarah yang tak pernah selesai ditulis. Di atas Menara Caelra, puing-puing ritual yang gagal masih berasap, dan di tengahnya... berdiri Ashura Kael. Sosok yang lahir bukan dari ramalan, tapi dari penolakan.

Ia tidak berbicara. Tidak memberi pengumuman. Hanya berdiri diam, membiarkan angin malam menyentuh wajah yang kini tak sepenuhnya manusia.

Eira memandangi punggung Kael, berusaha menemukan sesuatu yang familiar di balik sayap dan nyala matanya. Tapi yang ia lihat... bukan perubahan. Melainkan kebenaran yang akhirnya diberi bentuk.

"Kau tidak berubah," katanya pelan.

Kael menoleh, satu mata merah bersinar samar, satu lagi tetap kelabu seperti biasa. "Tidak. Aku hanya berhenti menyembunyikan siapa aku sebenarnya."

Di kejauhan, sinyal langit mulai menyala. Tiga pilar cahaya muncul di horizon—timur, utara, dan barat. Pertanda bahwa sisa penjaga langit telah mengirimkan tanda darurat. Mereka tahu ritual gagal. Mereka tahu Kael telah bersatu dengan darah naga yang dikubur di dalam dirinya.

Yuna berdiri di sisi Kael. "Kita harus pergi sebelum mereka datang."

Kael menggeleng. "Tidak. Dunia harus melihatku... dalam wujud ini."

Eira menyipitkan mata. "Kau ingin berperang?"

"Aku ingin dunia memutuskan sendiri," jawab Kael. "Apakah aku pantas dimusnahkan... atau didengar."

Langit bergetar. Suara tiupan panjang terdengar dari timur. Suara tanduk langit—pertanda bahwa Pasukan Cermin akan dikerahkan dari Kuil Ketiga.

"Berapa waktu yang kita punya?" tanya Yuna.

Eira menarik napas. "Kurang dari satu jam."

Kael menatap ke barat. "Kita ke pegunungan Aseran. Ke tempat langit pertama kali retak. Di sana... kita bisa bicara dengan mereka."

"Mereka?"

Kael mengangguk. "Naga yang tersisa. Yang belum sepenuhnya mati. Yang masih menunggu alasan... untuk hidup kembali."

 

Perjalanan menuju Pegunungan Aseran tak mudah. Langit kini seperti jaring retakan. Setiap langkah disambut oleh medan Chi yang tak stabil. Petir menyambar ke tanah tanpa suara, dan bayangan manusia kadang berubah bentuk saat tertimpa sinar bulan.

Di tengah malam, mereka berhenti di reruntuhan Kuil Lamira—tempat yang dulu menjadi tempat kelahiran eksperimen manusia-naga pertama. Tempat di mana Yuna dan sembilan anak lainnya pernah dibesarkan... lalu ditinggalkan.

Ia berdiri di tengah lantai yang dipenuhi angka dan simbol eksperimen. "Tempat ini... baunya masih sama. Dingin dan palsu."

Kael meletakkan tangannya di dinding. Ukiran di sana bergambar manusia bersayap dan naga tak bersuara. Tapi ada ukiran yang belum selesai, tertutup debu. Saat Kael menyentuhnya, debu menghilang, dan ukiran itu memperlihatkan satu sosok baru: manusia dengan dua wajah—satu wajah naga, satu wajah manusia, berdiri memegang cermin yang pecah.

"Ini..." gumam Eira. "Mereka sudah tahu. Dari awal... mereka tahu apa yang akan kau jadi."

Kael memejamkan mata. "Mereka tak pernah ingin kita memilih."

 

Di puncak Aseran, mereka bertemu dengan tiga penjaga tua dari ras naga murni. Mereka tak bisa bicara dalam bahasa manusia. Tapi dalam jiwa, Kael bisa merasakan mereka.

Satu dari mereka membungkuk, menyentuh dahi Kael dengan tanduknya.

Dalam sekejap, Kael terlempar dalam penglihatan purba.

Ia melihat dunia sebelum manusia.

Langit yang tenang. Naga yang hidup dalam harmoni, bukan sebagai penguasa, tapi sebagai pelindung energi bumi.

Lalu manusia datang—bukan dengan senjata, tapi dengan rasa takut. Dan rasa takut menciptakan pertanyaan: "Bagaimana kalau kita bisa menjadi lebih kuat dari mereka?"

Dari situ, lahir eksperimen. Lahir pengkhianatan. Lahir pemusnahan.

Ketika Kael kembali dari penglihatan itu, ia menatap langit dan berkata:

"Aku tahu siapa yang bersalah."

Yuna menatapnya. "Siapa?"

Kael tidak menjawab.

Karena ia tahu... dunia tak butuh satu pelaku.

Dunia telah menciptakan sistem yang menjadikan ketakutan sebagai alasan membunuh.

 

Sementara itu, di Ibukota Langit, rapat darurat digelar.

Salah satu dari Delapan Penjaga melapor:

"Kael telah menjadi Ashura penuh. Cermin Langit hancur. Dan kita kehilangan jalur komunikasi dengan Langit Ketiga."

Penjaga tertua menunduk. "Kita harus membangunkan Relikui Keempat."

Semua menoleh. Itu bukan keputusan biasa.

"Relikui itu belum stabil!" seru salah satu penjaga.

"Tapi hanya itu satu-satunya harapan kita menghentikan Kael sebelum ia bicara pada dunia."

"Kenapa kita takut jika dia bicara?"

"Karena kebenaran... akan mengubah segala hal yang telah kita bangun selama seribu tahun."

 

Langit kini tak bisa lagi ditutup.

Bayangan naga-naga purba mulai muncul setiap malam. Anak-anak mulai lahir dengan mata bercahaya ganda. Dan para penjaga langit tahu...

Gerbang Ketiga sedang terbentuk.

Bukan dari batu.

Tapi dari ingatan yang kembali.

Dan dari satu makhluk... yang memilih untuk tidak menjadi pahlawan, tidak menjadi monster, tapi tetap hidup... sebagai luka yang bicara.

Di bawah Istana Tertinggi Yura Celeste, jauh di bawah tanah yang bahkan para penjaga muda pun tak diizinkan menjelajah, terdapat sebuah ruangan yang tidak tercatat dalam peta dunia. Ruangan itu tidak memiliki pintu. Ia hanya muncul ketika nama-nama lama dipanggil kembali.

Delapan Penjaga berdiri di sekeliling altar melingkar, dinding ruangan dipenuhi urat emas yang berdenyut seperti nadi. Di tengah altar itu, mengambang sebuah kepompong cahaya besar, bentuknya seperti jantung—berdenyut pelan, memancarkan aura waktu yang tidak berasal dari dunia ini.

Salah satu penjaga, yang tertua dan tak pernah bicara selama seratus tahun terakhir, akhirnya angkat suara:

“Relikui Keempat... adalah satu-satunya makhluk yang tidak gagal dalam proyek manusia-naga.”

Seseorang di sisi kirinya bergetar. “Kau tidak serius... Dia—”

“Ya,” jawab si Penjaga Tertua. “Kita harus membangunkan Lyseren.”

Seketika, udara di dalam ruangan berubah dingin.

Nama itu bukan sekadar nama.

Lyseren bukan senjata.

Ia adalah perwujudan harapan dan kegagalan dalam satu tubuh.

Makhluk yang pernah diciptakan bukan untuk berperang... tapi untuk menggantikan dunia yang dianggap telah rusak.

“Jika Kael adalah luka,” gumam sang penjaga wanita yang bersuara dingin, “maka Lyseren... adalah penutup luka yang terlalu sempurna.”

 

Di Puncak Aseran

Kael duduk di antara tiga naga purba yang telah meminjamkan sebagian jiwanya untuk memperkuat keseimbangan tubuhnya. Di sekeliling mereka, formasi batuan melingkar menyala perlahan, terhubung oleh garis-garis Chi alam yang membentuk jalinan seperti syaraf bumi.

Yuna dan Eira berada tak jauh darinya, mengatur sistem pelindung sederhana. Namun keduanya tahu: siapapun yang menginginkan kematian Kael... sudah bergerak.

“Langit Keempat belum bangun sepenuhnya,” ujar salah satu naga. Suaranya bergema langsung di pikiran Kael. “Tapi dunia mulai menyesuaikan dengan kehadiranmu. Kita... mulai terlihat lagi.”

Kael menatap cakrawala. “Apa itu artinya aku membawa kehancuran?”

“Tidak,” jawab naga itu. “Tapi kau... adalah katalis perubahan. Dan perubahan, selalu menyakitkan.”

Tiba-tiba, petir merah membelah langit. Dari arah timur, cahaya berputar turun dari langit, membentuk lingkaran teleportasi raksasa. Dari dalamnya... satu sosok melangkah.

Langkah ringan. Tubuh berselubung cahaya lembut. Tapi udara di sekitarnya seakan membeku.

Rambutnya keperakan, matanya emas tanpa pupil.

Suaranya tenang, nyaris seperti nyanyian.

“Kael Ashura,” katanya, “aku diutus untuk menghentikanmu. Atas nama dunia yang tidak ingin diubah.”

Kael berdiri. Napasnya pelan, tapi tangan kirinya sudah mulai berdenyut api dari dalam.

“Siapa kau?”

Sosok itu tersenyum samar. “Aku... adalah keberhasilan. Namaku, Lyseren.”

 

Pertemuan Luka dan Sempurna

Mereka berdiri berhadapan.

Kael yang lahir dari cacat sistem. Lyseren yang diciptakan dari semua data eksperimen sebelumnya, termasuk genetik Kael.

“Mereka menciptakanmu... setelah aku gagal?” tanya Kael.

Lyseren mengangguk. “Tidak. Setelah mereka tahu... bahwa kau terlalu bebas.”

“Dan kau? Kau taat?”

Lyseren menatap langit. “Aku tidak diajarkan kehendak. Hanya fungsi.”

Kael tertawa pelan. “Itu bukan hidup.”

“Tapi itu... menjaga dunia tetap rapi.”

Pertarungan tidak langsung meledak.

Lyseren mengangkat tangannya. Tanpa mantra, tanpa api. Hanya satu sentuhan pada udara—dan ruang di sekitar Kael terbelah, seperti realitas yang ditarik paksa.

Kael menahan dengan sayapnya, melompat mundur, lalu membalas dengan semburan api naga yang dibentuk dari bentuk spiral tak beraturan.

Benturan pertama menciptakan gelombang suara hening. Tak ada ledakan. Hanya pecahan cahaya yang menyebar seperti debu bintang.

 

Yuna dan Eira: Misi Menembus Langit

Sementara dua makhluk hasil dosa langit bertarung, Yuna dan Eira menuruni formasi batu naga kuno. Mereka punya satu tujuan: mengaktifkan Menara Cermin Selatan—menara yang pernah digunakan untuk memutus pengaruh Penjaga Langit terhadap seluruh wilayah timur.

“Kalau kita bisa mengaktifkan sinyal cermin,” ujar Yuna sambil berlari, “setiap eksperimen tersembunyi... akan terungkap. Dunia akan tahu siapa sebenarnya Kael, dan siapa Lyseren.”

Eira mengangguk. “Dan mungkin... dunia akan berhenti memburu mereka berdua.”

 

Konflik dan Kesadaran

Kael mulai terdesak. Lyseren terlalu cepat. Terlalu sempurna. Ia tidak menyerang untuk membunuh—melainkan untuk menghapus.

Setiap pukulannya tidak meninggalkan luka, melainkan menghapus eksistensi Kael perlahan: satu sisi sayap. Separuh ingatan. Bahkan api di dalam dirinya mulai goyah.

“Aku... bukan bagian dari sistem,” teriak Kael. “Tapi itu... membuatku hidup!”

Ia berlutut.

Lyseren berdiri di depannya. Tangannya terangkat, siap menyentuh dahi Kael untuk menghapus keberadaannya dari dunia ini.

Tapi sebelum jarinya menyentuh—

Sinar cermin dari langit meledak.

Yuna berhasil.

Informasi tumpah ke langit dalam bentuk pantulan: rekaman eksperimen, penderitaan, nama-nama yang dihapus. Termasuk... wajah Lyseren sendiri.

Di balik cahaya yang sempurna, dunia melihat kebenaran.

Lyseren bukan manusia.

Bukan dewa.

Tapi hasil dari semua penderitaan sebelumnya—daging yang dikumpulkan dari puluhan jiwa hasil eksperimen, dibentuk menjadi satu: satu wajah tanpa ingatan, satu suara tanpa kehendak.

Lyseren mundur. Tangannya gemetar.

“Apa... aku ini?”

Kael berdiri perlahan. Mata merah dan kelabu di wajahnya mulai bersinar bersamaan.

“Kau adalah kebenaran yang dipalsukan,” ucapnya. “Sama seperti aku. Tapi bedanya... aku memilih untuk terus merasa sakit. Karena itu... membuatku manusia.”

 

Akhir Bab: Satu Langit Lagi

Lyseren tidak menjawab. Ia menunduk, lalu perlahan... menghilang dalam cahaya.

Tidak mati.

Tapi mundur, mencari arti dirinya.

Kael menatap ke langit. Di balik kabut dan petir, satu lingkaran baru mulai terbentuk.

Gerbang Keempat.

Tapi kali ini... bukan hanya langit yang bergerak.

Tanah pun mulai retak. Gunung mulai bernyanyi.

Dunia... akhirnya bicara.

Dan di tengah dunia yang mulai mencari ulang maknanya, Kael berdiri.

Tidak sebagai senjata.

Tidak sebagai dewa.

Tapi sebagai pengingat.

Bahwa luka... adalah bagian dari hidup yang tidak boleh disembunyikan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel