Bab 2
Kabut debu belum sepenuhnya reda. Tanah masih bergetar dari runtuhnya tubuh Nexus—naga terakhir dari Penjaga Langit yang tersisa di dataran terbuka. Tapi langit… tak lagi membara. Untuk sejenak, dunia terasa diam. Terlalu diam.
Eira berdiri di samping tubuh Rivel yang terbaring tak sadarkan diri. Jubahnya berkibar lembut di antara reruntuhan. Pandangannya menembus awan yang mulai tersibak, menatap cakrawala jauh di utara. Di sana, kilatan samar muncul—retakan langit yang tak kasat mata bagi manusia biasa.
> “Langit Kedua... mulai membuka dirinya,” bisiknya.
Di tangannya, busur cahaya perlahan menghilang. Tanda di punggungnya bersinar, lambang kuno milik Klan Langit: Mata Ketujuh. Lambang yang hanya muncul ketika bencana yang dikurung mulai membangkitkan dirinya kembali.
Kembali ke Ibukota Langit – Yura Celeste
Yuna, yang sebelumnya membantu Kael, kini berjalan menyusuri koridor Istana Tinggi Yura Celeste. Matanya tajam, tak seperti saat ia pertama kali muncul sebagai gadis pengintai yang ceria.
Ia kini mengenakan seragam Langit Dalam—penjaga rahasia tertinggi yang beroperasi di antara dunia dan rahasia langit.
Di hadapannya, berdiri lima orang berjubah putih perak. Mereka adalah Kelima Penjaga Cermin, faksi tertua yang menjaga sejarah berdarah antara manusia dan naga.
“Kael membunuh Zarhymel,” ujar salah satu dari mereka. Suaranya berat, penuh tuduhan.
“Tapi kalian tahu kebenarannya,” jawab Yuna pelan. “Zarhymel bukan penjaga. Dia tawanan.”
Ruangan menjadi dingin. Salah satu dari Penjaga bangkit. Topengnya bergeser, menampakkan sebagian wajah yang dipenuhi bekas luka bakar.
“Kau... berani menggali dosa kami?”
Yuna melangkah maju. Ia membuka lengan bajunya, memperlihatkan luka lama yang terukir membentuk angka: 09-Λ.
Simbol dari percobaan manusia-naga generasi ke-9.
> “Karena aku adalah bagian dari dosa itu.”
Ingatan yang Terkunci
Di tempat lain, Kael terbangun.
Bukan di reruntuhan, bukan di medan perang. Tapi di tempat aneh—dindingnya memantulkan cahaya, lantainya berkilau seperti cermin air. Di sekelilingnya, simbol-simbol langit mengambang di udara, seolah menyanyikan doa dalam bahasa yang hilang.
Di depannya, sebuah cermin besar berdiri. Tapi bayangannya tak sama.
Refleksi itu menatapnya... dengan mata naga.
> “Kau adalah kunci terakhir,” kata refleksi itu. “Darahmu bukan murni manusia. Dan ingatanmu telah dikunci oleh mereka.”
“Siapa mereka?” tanya Kael.
> “Para Penjaga Langit Ketujuh. Mereka yang menulis sejarah dan menghapus kebenaran.”
Tiba-tiba, cermin itu retak. Dan di baliknya, muncul gambar dunia yang terbakar. Bayangan tubuh-tubuh naga yang terikat, dijadikan senjata, dibakar dari dalam.
> “Dosa mereka... bukan karena membunuh naga.
Dosa mereka... adalah menciptakan manusia dari naga.”
Langit Kedua Retak
Di seluruh penjuru dunia, keanehan terjadi.
Bayi-bayi lahir dengan mata berpendar. Gunung-gunung bersuara. Sungai-sungai terangkat ke langit seperti ditarik oleh sesuatu.
Di atas pegunungan Aseran, sebuah lubang bercahaya muncul di langit. Dari dalamnya terdengar nyanyian—halus, tapi menusuk jiwa.
> “Bangkitlah, Dosa Langit.
Pengadilan Dunia akan dimulai.”
Dan dari lubang itu, turun satu makhluk baru. Tidak bersisik seperti naga. Tidak berbulu seperti manusia.
Tapi sesuatu... yang tak pernah seharusnya hidup di dunia ini.
Arah Cerita Selanjutnya
Kael harus menemukan kembali potongan ingatannya yang hilang: siapa ibunya, dan mengapa ia memiliki tubuh yang bisa menyatu dengan api naga.
Yuna mencoba membongkar rahasia eksperimen generasi ke-9, dan menemukan bahwa dia dan Kael sebenarnya bagian dari "Dosa Terakhir"—manusia yang dirancang untuk menjadi Dewa Tanpa Tahta.
Rivel pulih perlahan, tapi tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda tidak stabil: darah naga dalam dirinya mendekati batas.
Langit Kedua mulai runtuh. Tapi bukan karena kekuatan luar—melainkan karena penjaganya sendiri... ingin dibebaskan.
Langit malam di atas Menara Caelra telah berubah.
Dulu hanya bintang-bintang. Kini, satu mata bercahaya mengambang di tengah langit, menyala seperti penghakiman para dewa. Tak bergerak. Tak berkedip.
Di bawahnya, para penjaga langit berkumpul. Delapan sosok berjubah putih dan perak berdiri melingkar di altar kuno, dengan Kael di tengah lingkaran—tangan terikat rantai berkilau, tubuhnya penuh luka dari pertempuran dengan Nexus.
Tapi yang paling mencolok bukanlah rantai itu.
Melainkan mata Kael.
Salah satu dari mereka... menyala merah.
Mata naga.
> “Dosa telah dipanggil,” ucap penjaga tertua, suaranya dalam seperti gema gua purba. “Kael, pewaris darah api, anak dari rekayasa ke-7, kau diadili hari ini atas kejahatan yang belum kau sadari.”
Kael menatap mereka, napasnya berat. “Jika dosa ini bukan pilihanku, mengapa kalian mengikatku?”
“Karena dosa sejati bukan tentang pilihan,” bisik seorang penjaga wanita. “Tapi tentang keberadaan.”
Kebangkitan Cermin Langit
Di bawah lantai altar, Yuna dan Eira mengendap. Mereka telah membobol jalur tersembunyi yang hanya diketahui oleh para pelayan tertua. Dinding koridor dipenuhi ukiran naga dan manusia yang berdiri berdampingan—lalu, perlahan, saling menelan.
Eira menunjuk satu ukiran: manusia dengan pedang menembus dada naga, dan cermin yang membelah mereka.
> “Itu bukan cermin biasa. Itu Cermin Langit. Alat yang digunakan untuk memisahkan jiwa naga dari tubuh manusia. Tapi... juga bisa membalikkan prosesnya.”
“Jadi... kalau Kael diadili di sana, dan cermin itu aktif...” gumam Yuna.
“...mereka bisa menghapus sisa-sisa manusianya,” jawab Eira dingin.
Yuna mengepal. “Kita tak bisa biarkan itu terjadi.”
Pengadilan Dimulai
Di altar, para penjaga mulai membaca "Dosa Kael"—tindakan yang tidak pernah ia lakukan, tetapi ditulis dalam rekaman langit.
> “Engkau telah membunuh Penjaga Keempat: Zarhymel.”
> “Engkau membawa darah naga yang seharusnya punah.”
> “Engkau adalah hasil dari penggabungan ke-7: proyek rahasia yang ditolak oleh Langit Ketujuh.”
Kael menunduk.
“Lalu... mengapa kalian ciptakan aku?”
Keheningan.
“Jawab aku!” teriaknya.
Penjaga tertua berjalan maju. “Karena kami butuh senjata. Tapi senjata tak seharusnya punya kehendak.”
> “Dan sekarang, kau... terlalu hidup.”
Mata Langit – Aktivasi
Langit di atas altar mulai menyala terang. Simbol-simbol kuno muncul di udara. Rantai di tubuh Kael bersinar, dan dari atas, cahaya putih turun perlahan menuju dirinya.
Cermin besar muncul di belakang para penjaga—Cermin Langit.
Permukaannya bergetar seperti air. Dan dari dalamnya, muncul refleksi Kael—bukan dalam wujud manusia, tapi Kael dalam bentuk naga sepenuhnya. Sisik hitam, sayap api, dan mata merah menyala.
Kael menatapnya, tubuhnya bergetar.
> “Jadi ini... aku?”
Refleksi naga itu bergerak. Tapi bukan untuk menyerang—melainkan mendekat, dan berbicara dengan suara dalam, penuh gema:
> “Aku bukan musuhmu, Kael. Tapi aku adalah bagian darimu yang dunia tolak.”
> “Biarkan aku hidup... dan kita bisa memilih bersama siapa kita sebenarnya.”
Kael memejamkan mata. Di tengah semua penolakan, hanya bagian dirinya yang disebut ‘dosa’—yang mau bicara seperti manusia.
> “Lalu apa yang membuatku manusia?”
> “Bukan tubuhmu,” jawab sang refleksi. “Tapi apa yang kau pilih... saat semua orang memaksamu menjadi sesuatu yang bukan kau.”
Serangan dari Dalam
Tepat saat ritual penghapusan jiwa dimulai, ledakan mengguncang altar. Yuna dan Eira menerobos masuk.
Panah cahaya dan semburan api menyapu ruangan. Para penjaga terpencar.
“Lepaskan dia!” teriak Yuna.
Salah satu penjaga menyerang. Tapi Eira menahan dengan segel udara. Di baliknya, Kael mulai bangkit. Mata naga di wajahnya bersinar penuh.
Ia mematahkan rantai.
Cermin Langit mulai retak.
Dan dalam satu kilatan, tubuh Kael dan bayangan naganya menyatu.
> Sayap api membentang. Rambutnya membara. Matanya—manusia dan naga—menyatu dalam keseimbangan.
“Kael!” teriak Yuna.
Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang bukan hanya Kael.
Melainkan Ashura Kael—gabungan kehendak manusia dan kekuatan naga.
Pertempuran Altar Langit
Penjaga Langit tak tinggal diam. Mereka berubah menjadi wujud pertempuran masing-masing—sebagian menjadi bayangan logam, sebagian memanggil senjata langit.
Tapi Ashura Kael sudah bergerak lebih dulu.
Dengan satu teriakan, ia menghentikan waktu di sekeliling altar selama tiga detik. Cukup... untuk mematahkan dua segel langit dan menancapkan Ignister ke pusat Cermin Langit.
> “Kalian menyebutku dosa.”
> “Tapi dosa hanya ada... bila kebenaran dipalsukan.”
Ledakan terjadi. Cermin hancur.
Dan semua dosa yang disegel di baliknya... terlepas ke langit.
Bayangan naga-naga tua mulai muncul di langit di seluruh dunia. Tidak marah. Tidak mengamuk.
Hanya... menatap.
Menatap dunia yang pernah menyiksa mereka.
Akhir Bab: Langit Mulai Bicara
Setelah semuanya selesai, Kael terdiam di tepi altar yang hangus. Yuna mendekat, tangan gemetar.
“Kau masih... Kael, kan?”
Kael menoleh. Matanya tenang. Api di sayapnya telah padam.
“Tidak,” jawabnya pelan. “Aku bukan Kael yang kalian kenal.”
> “Aku adalah suara semua makhluk yang pernah kalian sebut... monster.”
