Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Langit retak seperti kaca hitam.

Petir mencabik-cabik angin.

Dan dari pusaran badai di atas reruntuhan Kota Caelra, sesosok naga raksasa turun—sayapnya seperti awan malam yang hidup, matanya membara seperti bara amarah dewa.

Zarhymel, Penjaga Langit Keempat.

Manusia berlarian di bawah. Teriakan mereka tenggelam oleh raungan sang naga. Rumah-rumah pecah. Menara-menara roboh. Tapi Kael berdiri diam di atap bangunan tua, jubahnya berkibar liar.

Di tangannya tergenggam Cindai Pemanggil Api, pedang pendek bermata ganda, dengan ukiran berbentuk api yang menyala samar.

"Ini waktunya," gumamnya.

Di pinggangnya tergantung dua tabung logam—alat pendorong udara terlarang, hasil curian dari bengkel udara militer. Hanya segelintir orang yang pernah memakainya, dan kebanyakan dari mereka… sudah mati di langit.

Kael menarik tuas kecil di pergelangan tangannya.

Desing!

Tubuhnya melesat ke udara, menembus pusaran badai. Petir melintas di sisinya. Wajahnya mengeras, matanya menatap langsung ke mulut Zarhymel yang mulai bersinar merah.

> "Kau bukan dewa. Kau cuma binatang yang lupa siapa tuannya."

Zarhymel menyemburkan nyala petir dari tenggorokannya.

Kilatan itu menyapu langit—sebuah pancaran maut.

Tapi Kael memutar tubuh, menukik ke kiri, lalu menekan dua tombol lagi.

BOOM!

Alat pendorongnya menjerit, menciptakan semburan uap dan api yang mendorongnya melewati kilat.

Lalu ia menukik lurus ke arah kepala naga.

"Cindai... bangun."

Pedang di tangannya bersinar—tidak menyala biasa, tapi menyerap panas badai. Simbol di bilahnya menyala merah menyilaukan.

> Api dan petir bertabrakan.

BRANG!!!

Dunia mendadak hening.

Ledakan dari tabrakan itu menghempaskan awan dan membuka celah besar di langit.

Kael terpental, tapi sempat berputar dan mendarat di punggung naga. Satu sabetan, dua, tiga—ia menorehkan luka di sisik logam Zarhymel.

Tapi sang naga mengaum, menggoyang tubuh, dan Kael terlempar ke udara terbuka.

"Aku tidak akan mati sekarang!" teriaknya.

Dari bawah, seseorang menembakkan kabel kait ke arahnya—Yuna.

Gadis itu berdiri di ujung menara runtuh, mata ungunya bercahaya, dan rambut peraknya menari dalam badai.

“Jangan mati sebelum kau tahu siapa dirimu sebenarnya, Kael!”

Kael menarik kabel itu. Tubuhnya terhentak, lalu meluncur kembali ke arah naga.

Dan tepat saat mulut Zarhymel menganga untuk serangan kedua, Kael mendarat di antara matanya.

"Ini... untuk dunia yang kalian kubur di bawah awan."

Pedangnya menghunjam.

Cahaya merah dan putih menyebar dari ujung bilah, mengiris langit dalam satu garis sempurna.

Zarhymel mengaum terakhir kalinya—dan langit keempat… runtuh.

 

Arah Cerita Berikutnya:

Kael dikejar militer langit karena dianggap membunuh naga suci

Yuna mengungkapkan kebenaran tentang "Dosa Langit" — manusia yang pernah menyatu dengan kekuatan naga

Ternyata naga bukan musuh, tapi korban. Penjaga sejati adalah entitas di langit ketujuh

Kael perlahan menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari eksperimen kuno yang gagal: proyek penggabungan darah manusia dan api naga

Langit kedua mulai retak... dan waktunya mencari Dosa Langit yang tersisa untuk melawan takdir

Awan bergulung hitam di langit yang diliputi petir. Deru angin menghempas puing-puing kota yang telah lama ditinggalkan. Di puncak reruntuhan istana kuno yang terpanggang hangus, seorang pemuda berdiri dengan napas berat. Jubahnya koyak. Tangan kanannya gemetar. Tapi matanya tetap terpaku ke langit, di mana seekor naga hitam raksasa mengepakkan sayapnya di antara petir menyambar.

"Nexus... kau akhirnya bangkit," gumam pemuda itu, Rivel, pelindung terakhir dari Ordo Flameguard.

Nexus, sang naga hitam api petir, menyeringai. Mata merah menyala di antara sisik hitam logam yang memantulkan kilatan cahaya. Nafasnya adalah arus plasma yang membakar udara. Dan sekali lagi, ia meluncur ke bawah seperti meteor.

Rivel menarik napas panjang dan meletakkan tangannya ke dada. Di sana, simbol bercahaya mulai bersinar. Satu-satunya warisan dari ayahnya yang hilang dalam Perang Surya. Simbol itu berdenyut, merespons bahaya yang semakin dekat.

Kilatan pertama dari Nexus menyapu reruntuhan istana. Suaranya seperti deru guntur dan gempa yang bersatu. Tapi Rivel sudah melompat, tubuhnya berputar di udara, melewati jalur ledakan dan bara. Di tangannya, senjata surgawi miliknya, Ignister, membara merah menyala.

“Aku tidak akan lari lagi,” kata Rivel kepada dirinya sendiri. “Aku akan menghentikanmu, seperti yang seharusnya dilakukan Ayah.”

Nexus mengaum. Suara itu membuat awan di sekeliling langit mendidih. Tapi Rivel justru bergerak lebih cepat. Ia menggunakan kekuatan pengait langitnya, dua tali baja yang tertanam di sabuknya, untuk menancap ke reruntuhan tinggi di sekeliling medan. Dengan satu gerakan cepat, ia meluncur menembus awan ke arah kepala naga.

Satu tebasan. Api dan listrik bertabrakan. Tapi tebasan itu hanya meninggalkan bekas kecil di rahang Nexus.

Rivel mundur ke udara. Tubuhnya bergetar karena arus balik kekuatan naga. Tapi ia tak menyerah.

"Aku tahu kau tidak bisa dibunuh dengan pedang biasa," serunya sambil mengaktifkan kembali pengait dan melesat ke arah sisi tubuh sang naga. "Tapi aku bukan manusia biasa."

Petir menyambar. Sayap naga bergerak seperti bilah-bilah raksasa. Rivel menukik, menembus celah badai, lalu menghindar sejauh mungkin dari ledakan.

Lalu, ia mengaktifkan mode kedua dari Ignister. Pisau yang tadinya satu sisi itu memisah menjadi dua bilah bercahaya, menyemburkan api merah yang menelan lengannya. Tangannya bergetar hebat, tapi ia bertahan.

“Mode Pembakar Jiwa,” ucapnya pelan.

Itu adalah teknik yang bahkan para pengawal kerajaan tak berani gunakan. Mengorbankan bagian dari jiwa untuk memperkuat serangan, menukar sebagian kehidupan demi satu tebasan mematikan.

Nexus menyadarinya. Ia terbang lebih tinggi, mencoba menjauh. Tapi Rivel sudah lebih cepat. Ia meluncur, melompat dari batu ke batu di udara. Setiap langkahnya meninggalkan ledakan kecil. Langit runtuh oleh kecepatan mereka.

Dan akhirnya, ia sampai di sisi leher sang naga.

Satu tebasan menyala terang.

Darah naga menyembur, bukan merah, tapi biru menyala seperti plasma bintang.

Nexus meraung. Suaranya mengguncang bumi dan memecahkan awan.

Tapi itu belum cukup.

Leher itu tidak terpotong. Luka itu dalam, tapi tak mematikan. Nexus mengepakkan sayapnya, melempar tubuh Rivel menjauh. Pemuda itu terhempas menembus beberapa bangunan hancur sebelum akhirnya berhenti, tubuhnya berdarah di pinggir kawah tua.

Ia batuk keras. Tangannya memegang rusuk yang patah.

Tapi sebelum ia bisa bangkit, Nexus sudah berada di atasnya. Rahangnya terbuka, cahaya api putih mulai terkumpul di dalam mulutnya.

“Tidak seperti ini,” bisik Rivel. “Aku tidak akan mati... belum.”

Tiba-tiba, sebuah suara wanita terdengar di tengah badai.

“Bangkitlah, pemilik api warisan. Kau belum sendiri.”

Cahaya biru lembut turun dari langit. Dan dari dalam pusaran cahaya itu, muncul sesosok perempuan bersenjata busur cahaya. Rambutnya panjang, seputih salju. Matanya bersinar lembut. Ia berdiri di hadapan Rivel, memanah ke langit.

Anak panahnya mengenai dada Nexus. Sebuah tanda segel muncul.

Naga itu menjerit, tertahan di udara untuk beberapa detik.

“Siapa kau...?” tanya Rivel lemah.

“Aku Eira. Pewaris dari Klan Langit. Dan kamu, Rivel... ditakdirkan untuk mengakhiri era kehancuran ini.”

Dengan kekuatannya, ia memanggil medan pelindung di sekitar Rivel dan menyembuhkan sebagian lukanya. Rivel bisa berdiri kembali. Napasnya berat, tapi semangatnya menyala lagi.

Mereka berdiri berdampingan. Eira di kanan, Rivel di kiri.

Nexus melingkar di langit, mata merahnya penuh amarah.

“Jika kita ingin menang, kita harus menyerang bersamaan,” kata Eira cepat.

“Aku akan membuka jalan. Kau yang menghabisinya.”

Rivel mengangguk. Mereka bergerak dalam satu hentakan.

Eira melesat ke udara, menarik tiga anak panah berlapis mantra. Ia menembakkan ketiganya ke tiga titik vital di tubuh naga. Ledakan magis mengguncang langit.

Di celah itulah Rivel melompat. Menggunakan seluruh energi yang tersisa, ia memanggil bentuk terakhir dari Ignister. Pedang itu berubah menjadi tombak besar, menyala merah terang. Di ujungnya, terbakar simbol-simbol kuno yang diwarisi dari ayahnya.

Ia menusukkan tombak itu ke dada Nexus.

Ledakan terjadi.

Langit seperti meledak dalam cahaya merah dan biru.

Tubuh naga itu mengerang. Sayapnya mengembang dalam insting terakhir. Tapi kekuatannya mulai runtuh. Api di matanya padam sedikit demi sedikit.

Dengan teriakan terakhir, Rivel mendorong seluruh kekuatannya ke dalam tombak itu.

Dan akhirnya... Nexus jatuh.

Tubuhnya menghantam tanah dengan ledakan gemuruh yang mengguncang benua. Debu membubung ke langit. Angin ribut menyapu seluruh wilayah.

Rivel terjatuh. Ia kehabisan energi. Nafasnya nyaris tidak terdengar.

Eira mendarat di sampingnya, berlutut.

“Kau melakukannya,” katanya lirih.

“Tidak... kita melakukannya,” jawab Rivel pelan, sebelum matanya perlahan terpejam.

Langit kembali cerah.

Dan untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun... dunia tak lagi ditutupi bayangan naga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel