Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Tak Berubah

Seminggu sudah sejak diberlakukannya aturan baru dari ayahnya. Lintang harus menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dan belajar. Jenuh dan capek sudah pasti dia rasakan. Tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa kecuali mematuhi peraturan sang ayah.

“Bunda, Lintang boleh minta sesuatu?” Lintang bertanya saat sang bunda mengantarkan camilan untuknya.

“Minta apa anak manis?” Bunda menjawil dagu lancip milik Lintang dengan gemas. Tak lupa senyum lembut terbingkai di wajah cantiknya.

“Em… em… Lintang… Lintang mau…”

Bunda menunggu dengan sabar hingga Lintang menyelesaikan kalimatnya. Tetapi kalimat itu hanya tergantung begitu saja tanpa lanjutan.

“Minta apa, Sayang? Kalau Bunda bisa, pasti Bunda kabulkan,” ucap Bunda.

Lintang menatap wajah sang bunda dengan perasaan campur aduk. Dia tak yakin permintaannya akan dikabulkan oleh bundanya walaupun wanita cantik itu berkata demikian.

“Lintang minta… Lintang minta…”

“Enggak usah banyak permintaan. Perbaiki nilai-nilaimu yang berantakan itu.” Pak Anang yang kebetulan mendengar percakapan Lintang dan bundanya tiba-tiba saja menyahut.

“Nilai masih berantakan saja banyak tingkah,” gerutu Pak Anang.

Lintang mendesah pelan. Rasanya dia sudah ingin menyerah kali ini. Mendengar ayahnya berbicara seperti itu membuat Lintang semakin putus asa.

“Lanjutkan lagi ya belajarnya. Bunda mau beresin pakaian Ayah dulu,” ucap Bunda.

Lintang mengangguk paham. Dia lantas meneruskan aktivitas belajarnya lagi.

Sementara itu di tempat lain, Median tampak memegang kaleng minuman. Di sebelahnya duduk seorang gadis yang usianya sebaya dengannya. Mereka saling berpelukan mesra tanpa rasa canggung sedikitpun.

“Jadi, gimana kelanjutannya?” tanya gadis dengan pakaian minim itu.

“Gimana apanya?” sahut Median tak mengerti.

Gadis itu berdecak kesal. “Ya kelanjutan hubungan Kakak sama Lintang. Kalian masih jalan apa udah putus?”

Median tersenyum miring. Kemudian dia tampak mengangkat bahunya.

“Enggak usah bahas soal itu. Yang penting malam ini aku senang bisa berdua dengan kamu.” Median mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.

Seulas senyum terkembang di bibir keduanya saat ini. Hari mereka pun dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran aneka warna. Mereka, terutama Median, melupakan Lintang yang tengah berusaha keras menyesuaikan diri dengan peraturan baru yang dibuat oleh ayahnya.

*******************

Lintang terduduk lesu. Di tangannya terdapat kertas hasil ulangan kemarin yang telah diberi nilai. Sekali lagi ia menatap kertas ulangan miliknya. Hatinya berdenyut saat melihat angka empat yang tertulis di bagian nilai.

‘Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ tanyanya dalam hati.

‘Ayah pasti marah karena hasil ulangan ini. Aku harus bagaimana?’ ucapnya.

Setetes bening meluncur dengan ringannya. Membasahi pipi mulus dengan tulang pipi yang tegas dan hidung yang minimalis.

“Lintang.” Sebuah suara memanggil namanya.

Lintang buru-buru menghapus air matanya. Dia lantas berdiri dan mengucapkan kata saya.

“Ikut ke ruangan saya sekarang.” Guru itu memanggil Lintang dan mengajaknya ke ruang konseling.

Lintang hanya mengangguk tanpa membuka mulut untuk menjawab. Di sudut kelas tampak seorang gadis berkacamata menatap Lintang dengan iba. Gadis itu tahu apa penyebab Lintang dipanggil oleh guru. Tak sedikit pula yang mencemooh Lintang dengan sebutan yang sama sekali tak enak didengar.

“Duduk,” titahnya saat Lintang suda berada di ruang konseling.

“Kamu ada masalah apa? Semua nilai-nilai kamu enggak ada yang memuaskan. Semua berada di bawah KKM.” Guru itu mulai berbicara dan bertanya pada Lintang.

Lintang menundukkan kepalanya. Dia merasa malu kalau harus berkata yang sejujurnya. Tapi apa dia masih punya kesempatan untuk berbohong?

“Kalau ada masalah, kamu bisa cerita sama Ibu. Ibu akan dengarkan keluh kesah kamu.” Tangan guru itu mengelus lembut bahu Lintang.

“Kamu punya pacar?” Guru yang biasa dipanggil Bu Endar itu bertanya sembari tak melepaskan tatapannya pada Lintang.

Lintang terkejut mendengar pertanyaan yang langsung pada intinya itu. Padahal selama di sekolah, dia dan Median tak pernah ingin menunjukkan kemesraan. Lalu, darimana Bu Endar tahu dirinya punya pacar?

“Lintang.” Tangannya kembali menepuk lembut bahu anak didiknya itu.

“Saya… sebenarnya saya… iya,” jawab Lintang gugup.

“Tapi saya janji akan memperbaiki nilai-nilai saya yang berantakan, Bu. Jadi tolong jangan beri surat peringatan lagi. Saya mohon, Bu!” Lintang berkata sambil mencium tangan gurunya dengan nada memohon.

Bu Endar tampak kebingungan melihat sikap Lintang. Dirinya hanya ingin berbicara dengan Lintang untuk mengetahui apa yang sedang dialami gadis itu.

“Saya mohon, Bu. Jangan beri saya surat peringatan lagi. Saya rela dihukum asalkan Ibu tidak memberi saya surat peringatan,” ucap Lintang lagi.

Bu Endar tersenyum. “Ibu tidak akan memberimu surat peringatan. Tapi kamu harus janji satu hal pada Ibu.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Lintang segera keluar dari ruang menakutkan itu. Dia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Suara desahan pelan terdengar menyesakkan dada.

“Lintang!” seru seseorang.

Lintang menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Tampak seorang gadis berkacamata sedang berjalan menghampiri dirinya.

“Kamu baik-baik aja, Lin?” Gadis itu bertanya setelah bisa mensejajarkan langkahnya dengan Lintang.

Lintang mendesah pelan. Sejak keluar dari ruang konseling tadi, raut wajahnya tampak sangat kacau. Bahkan lebih kacau lagi daripada sebelum dari ruang konseling.

“Nih buat kamu.” Seorang gadis berkacamata menyodorkan sebotol minuman dingin pada Lintang.

“Makasih.” Lintang menerima botol itu. Seulas senyum yang dipaksakan tergambar jelas di wajahnya.

“Kamu baik-baik aja, kan?” Gadis itu mengulangi pertanyaannya. Dia nampak khawatir karena melihat wajah Lintang yang masih terlihat murung.

“Aku… aku ke kelas dulu ya. Makasih minumannya,” ucap Lintang tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.

Gadis berkacamata itu mengangguk. Dalam hati dia berniat untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan teman sekelasnya itu. Bukan bermaksud ikut campur, tetapi dia merasa perlu membantu Lintang saat ini.

Gadis berkacamata itu tak akan pernah melupakan kejadian waktu itu. Kejadian yang membuatnya semakin ingin berteman dengan gadis periang itu.

Di dalam kelas, Lintang kembali melamun. Dia merasa semua usahanya sia-sia belaka. Dia sudah berusaha keras untuk belajar tapi hasilnya masih tetap saja sama. Tak ada yang berubah dari nilai yang didapatkannya.

Matanya kembali menatap nanar kertas ulangan tadi. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Seolah ada beban ribuan kilo yang menghimpit dadanya saat ini.

Tiba-tiba dari sebelah kiri ada sebuah tangan yang merampas kertas ulangan miliknya. Lintang menoleh dan berusaha merebut kembali kertas itu. Tapi orang itu berusaha menjauhkan kertas itu dari jangkauan Lintang.

“Ternyata sekarang Elo nggak ada bedanya sama lalat di tong sampah ya,” ucap seorang siswi dengan rambut dikepang.

“Iya. Ternyata aslinya Elo itu bego pakai banget. Masa ulangan gampang begini dapat nilai kursi kebalik?” Seorang siswi menyentil ujung kertas ulangan Lintang.

Lintang tak memperdulikan ucapan temannya itu. Dia masih berusaha meraih kembali kertas ulangannya. Saat Lintang tengah berusaha keras mendapatkan kertas itu kembali. Ponsel dalam sakunya bergetar. Menandakan ada telepon masuk. Lintang segera mengangkat telepon dan seketika itu juga wajahnya berubah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel