Bab 2. Surat Panggilan
Median menampilkan senyum licik saat mengatakan keinginannya pada Lintang. Pemuda itu tahu dan yakin jika Lintang akan dengan senang hati meluluskan permintaannya. Walaupun permintaan itu terdengar tak masuk akal.
“Malam ini, Kak?” tanya Lintang meyakinkan pendengarannya.
Median menganggukkan kepalanya. “Gimana? Kamu sanggup?”
Lintang tampak ragu untuk menjawab. Tapi kalau dia menolak…
“Kalau enggak mau ya nggak masalah sih. Tapi ya tanggung sendiri akibatnya.” Median melontarkan kalimat itu dengan sebuah senyuman tipis.
“Apa nggak bisa lain kali aja, Kak?” tanya Lintang.
Median menyurutkan senyumnya. Baru kali ini dia mendengar Lintang menawar apa yang dia katakan. Biasanya gadis itu akan langsung melakukan apapun yang dikatakan olehnya.
“Aku nggak bisa kalau malam ini, Kak. Aku ada tugas sekolah dan harus dikumpulkan besok,” kata Lintang.
Median berdecak kesal. Pemuda itu menyorotkan ketidaksukaannya atas jawaban yang diberikan oleh Lintang. Tetapi saat akan menjawab perkataan Lintang, bel panjang berbunyi. Menandakan semua siswa siswi harus masuk ke dalam kelas lagi.
“Udah bel. Aku harus buru-buru ke kelas.” Lintang berdiri dari duduknya dan mulai berjalan menjauh dari sang kekasih.
‘Sialan! Udah berani nolak dia sekarang. Lihat aja entar. Kamu pasti mau meluluskan permintaanku,’ ucapnya dalam hati. Matanya menatap kepergian Lintang dengan sorot tak suka.
Sore harinya, saat berada di kamar. Lintang tampak menimang sebuah amplop. Dia menatap amplop putih bertuliskan logo dan nama sekolahnya itu dengan tatapan sedih bercampur takut. Dia bisa saja mengabaikan surat itu. Menyembunyikannya di lemari atau di bawah bantal dan ayahnya tak akan pernah tahu, tetapi…
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Enggak mungkin kan aku mengurung diri di dalam kamar seperti ini terus terusan,” gumamnya.
Helaan napasnya terdengar sangat berat dan sesak. Dia takut menghadapi kemarahan ayahnya. Terlebih lagi jika ayahnya tahu nilai ulangan yang tadi dibagikan oleh guru di sekolah.
Di saat Lintang tengah asik berpikir. Pintu kamarnya terbuka dari luar. Seraut wajah lembut penuh kasih sayang muncul dari balik pintu.
Lintang terlonjak kaget. Dia segera menyembunyikan amplop itu di balik punggungnya.
“Bunda! Bunda kok nggak ketuk pintu dulu kalau mau masuk!” tegur Lintang pada ibunya.
Wanita cantik itu tersenyum. “Maaf ya. Bunda masuk tiba-tiba. Bunda khawatir sama kamu karena semenjak pulang sekolah tadi kamu nggak keluar kamar. Bunda takut kamu sakit, Sayang.”
Lintang menatap wajah sang Bunda dengan tatapan sedih. Tiba-tiba saja dia memeluk wanita itu kemudian menangis.
“Sayang, ada apa? Apa ada masalah?” Wanita cantik itu mengelus lembut rambut sang anak sembari melontarkan tanya.
“Bunda marah nggak kalau Lintang nggak dapat juara tahun ini?” Lintang bertanya sembari melepaskan pelukannya.
Wanita itu mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan sang Anam gadis.
“Bunda marah nggak kalau Lintang dapat surat teguran dari sekolah?” Lintang menyerahkan amplop putih yang sejak tadi ia sembunyikan.
“Apa ini, Lin?” tanya Bunda.
“Itu… itu surat… surat panggilan… orang tua,” jawab Lintang lirih. Kepalanya langsung tertunduk dalam setelah memberikan jawaban.
Mata wanita cantik itu terbelalak. Dia tak percaya jika sang anak akan memberikan surat panggilan untuk orang tua.
“Memangnya kamu bikin kesalahan apa kok sampai dapat surat panggilan seperti ini?” Bunda bertanya sembari membuka amplop yang masih tertutup rapat itu.
Lintang semakin terdiam. Dia tak berani mengangkat wajahnya sedikitpun. Mulutnya pun terkunci rapat seolah enggan mengatakan alasannya.
Bunda mengeluarkan surat yang masih tersimpan dalam amplop. Kemudian membacanya dengan saksama.
Helaan napas berat terdengar setelah Bunda membaca surat yang diserahkan oleh Lintang tadi. Matanya menatap sang anak dengan tatapan tak percaya.
“Ayah tahu kalau kamu mendapat surat panggilan ini?” tanya Bunda.
Lintang menggeleng. “Aku belum kasih tahu. Bukan belum, tapi aku nggak berani kasih tahu Ayah soal ini. Aku takut, Bun.”
“Bisa jelasin sama Bunda kenapa sampai kamu nggak mengerjakan tugas sekolah? Apa tugasnya sulit sehingga kamu memilih untuk nggak mengerjakan tugas itu?” tanya wanita itu dengan lembut.
Lintang kembali menundukkan kepalanya. Dia merasa sangat bersalah karena mengabaikan tugas sekolah demi menuruti keinginan sang kekasih. Sekarang tinggallah penyesalan yang tersisa dalam hatinya.
“Lintang,” panggil Bunda. Wanita itu mengelus rambut Lintang dengan sayang.
“Bunda nggak marah kok kalau kamu mendapat nilai jelek untuk ulangan atau tugas,” ucap Bunda.
“Tapi Bunda akan marah kalau kamu nggak mengerjakan tugas dan mengabaikan sekolah kamu seperti ini.”
“Dengan adanya surat ini sudah membuktikan kalau kamu belum bisa bertanggung jawab atas diri kamu sendiri,” lanjut Bunda.
Lintang semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam saat mendengar ucapan sang bunda. Dia merasa sangat bersalah saat ini. Dia menyesal terlalu mengikuti kekasihnya dan mengabaikan sekolahnya.
“Maafin aku, Bun. Sekarang aku harus gimana? Aku takut kalau…”
Belum selesai Lintang mengucapkan kalimatnya, tiba-tiba sebuah tangan merampas amplop putih itu dan menatap Lintang dengan tajam.
Pak Anang membaca isi surat itu dengan wajah merah padam. Sedetik kemudian lelaki berkumis tebal itu menghadiahi Lintang pelototan tajam.
“Kamu memang nggak bisa diandalkan. Selalu saja membuat masalah!” geram Pak Anang.
Lintang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia terlalu takut menatap wajah ayahnya jika sudah seperti ini.
“Sudah, Yah. Jangan dimarahi seperti itu. Lintang juga nggak mau kan kejadian seperti ini,” ucap Bunda mencoba menenangkan.
“Kamu selalu saja membela anak ini. Seharusnya kamu bisa lebih tegas lagi padanya. Jangan biarkan dia kelayapan saja.” Pak Anang menumpahkan kekesalannya pada sang istri yang mencoba menenangkan emosinya.
“Sekarang apa alasan kamu? Kenapa kamu nggak mengerjakan tugas dari sekolah?” tanya Pak Anang pada anak gadisnya.
Lintang semakin menyembunyikan wajahnya dalam-dalam. Dia tak berani membuka mulut untuk menjawab pertanyaan dari sang ayah.
“Jawab Lintang!” Dengan suara keras menghentak, Pak Anang mengucapkan kata-kata itu.
“Ma-maaf, Yah. Lintang… Lintang waktu itu…” Lintang menjawab pertanyaan ayahnya dengan suara lirih namun begitu sang ayah masih bisa mendengarnya.
“Keterlaluan sekali kamu. Kamu mengabaikan sekolah hanya demi bisa jalan-jalan dengan temanmu. Apa yang ada dalam otakmu itu, Lintang?”
Pak Anang semakin kalap saat mendengar alasan yang Lintang utarakan. Lelaki itu akhirnya berkata dengan tegas dan penuh penekanan. Tak ada yang bisa membantah ucapannya ketika Pak Anang sudah mengeluarkan sebuah pendapat.
Setelah mengatakan itu, Pak Anang segera keluar dari dalam kamar Lintang. Meninggalkan anak gadisnya dan sang bunda yang masih tak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Lintang hanya mampu menangis dalam dekapan Bunda. Hancur sudah harapannya sekarang. Waktunya akan lebih banyak tersita saat ini. Tak akan ada lagi waktu untuk bersenang-senang dengan teman-temannya ataupun dengan Median.
