Bab 4. Kabar Duka
Lintang berlari keluar kelas. Dia tak peduli pada orang-orang yang mengumpat kesal karena ditabrak olehnya. Dia terus berlari sambil menahan air matanya agar tak jatuh.
Melihat itu, Satria, gadis berkacamata itu berlari mengikuti Lintang. Dia juga berseru memanggil nama Lintang.
“Kamu mau ke mana?” Satria bertanya saat dirinya berhasil menahan langkah Lintang.
Lintang menoleh dan menatap wajah gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu kenapa? Mereka jahatin kamu?” Satria menatap mata temannya itu dengan sorot khawatir.
Lintang mengerjapkan matanya. Terlihat sekali dia berusaha untuk tidak menangis di hadapan Satria. Kemudian seulas senyum tipis terkembang di wajah cantik Lintang.
“Aku harus pergi sekarang.” Lintang melepaskan tangan Satria yang masih menggenggam tangannya.
Dia kembali berlari lagi dan berbelok menuju ruang BK. Dia bermaksud meminta izin untuk pulang cepat.
“Maaf, Pak. Saya izin pulang sekarang,” ucap Lintang begitu sampai di hadapan guru BK.
Seorang pemuda tampan yang duduk di balik meja tampak menatap Lintang dengan sorot menyelidik. Seolah-olah sedang mencari sesuatu dalam sorot mata gadis itu.
“Kenapa? Kamu sakit?” tanya pemuda itu.
Lintang menggeleng. “Kakek saya kritis di rumah sakit. Jadi, saya izin pulang cepat agar saya bisa menjenguk beliau.”
Pemuda itu masih menatap Lintang dengan tajam. Seolah tak mempercayai ucapan gadis itu.
“Kakek kamu yang kritis kenapa kamu yang izin pulang cepat? Atau ini hanya alasan kamu supaya bisa membolos sekolah?”
Lintang tak percaya pada ucapan guru muda itu. Matanya membulat sempurna saat guru itu mengatakan bahwa ini adalah alasannya saja.
“Pak, saya serius. Kakek saya…”
Tangan guru muda itu terangkat sebelah. Memberi kode agar Lintang berhenti mencari-cari alasan.
“Kembali ke kelas sekarang. Saya tidak akan memberikan surat izin pada kamu,” ucapnya dengan ketus.
Lintang melirik pun nama yang tersemat di baju seragam guru muda itu. Dia lantas tersenyum tipis tapi terlihat sangat sinis.
“Kenapa? Saya sudah hafal dengan tipe-tipe murid seperti kamu ini. Alasan ada keluarga yang sakit lah, meninggal lah. Tapi nyatanya kalian bolos sekolah demi bisa jalan-jalan.” Guru muda itu menceramahi Lintang dengan kata-kata yang menurut gadis itu terlalu diskriminatif.
“Diizinkan atau tidak. Saya akan tetap pulang sekarang dan semoga saja kejadian ini tidak menimpa Bapak atau keluarga Bapak di kemudian hari.,” ucap Lintang. Dia merasa kesal dengan ulah gurunya itu.
Setelah berkata demikian, Lintang berjalan cepat menuju pintu keluar. Dia tak peduli pada teriakan guru muda itu.
Belum sampai di depan gerbang, ponsel Lintang kembali bergetar. Lintang segera mengangkat telepon yang masuk. Seketika tubuhnya lemas dan jatuh terduduk. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Melihat itu, sang guru BK segera menghampiri Lintang.
“Hei! Kenapa nangis? Bangun dan kembali ke kelas sekarang,” ucapnya dengan angkuh.
Dengan mata memerah dan linangan air mata, Lintang menatap gurunya itu. Dadanya sesak saat melihat wajah innocent sang guru.
Tanpa memperdulikan pertanyaan sang guru, Lintang berdiri dan segera berlari menuju pintu gerbang sekolah. Di sana sudah menunggu taksi online yang tadi ia pesan. Dia segera masuk dan mengatakan tujuannya.
*******************
Lintang duduk termenung di samping jendela kamar kakeknya. Jenazah kakeknya baru saja dibawa ke peristirahatannya yang terakhir setelah disalatkan di masjid dekat rumahnya. Mata Lintang menatap kosong ke arah luar jendela. Di tangannya ada sebuah foto yang memperlihatkan seorang lelaki gagah dengan jambang lebat dan sorot mata yang tajam. Dialah Pak Tasrip, kakek yang amat disayangi oleh Lintang.
Tiba-tiba saja sekelebat bayang wajah guru BK-nya membayang di pelupuk matanya. Seketika amarah bercampur kebencian memenuhi rongga dadanya.
‘Ini semua gara-gara dia. Kalau saja dia nggak menahanku dan segera mengizinkanku pulang. Mungkin semua ini nggak akan terjadi. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah mau memaafkannya,’ ucapnya dalam hati.
Saat asik melamun, ponselnya bergetar. Sebaris nama terpampang di layar benda itu. Lintang melihat sekilas dan mengabaikan panggilan itu. Saat ini dia tak ingin diganggu. Dia ingin menikmati sebaris luka karena kepergian sang kakek tercinta.
Di tempat yang jauh dari rumah kakek dan nenek Lintang. Median tampak mengumpat kesal karena panggilan teleponnya tak direspon oleh Lintang. Pemuda itu terus mencoba tapi tetap saja Lintang mengabaikan panggilannya.
“Sialan! Ke mana aja sih dia? Awas aja kalau sampai ketemu di sekolah besok. Habis dia!” Median kembali menekan nomor ponsel Lintang. Tapi lagi-lagi dia harus menelan kekecewaan.
Baru saat menjelang isya, Lintang menerima panggilan telepon dari kekasih itu.
“Maaf Kak. Aku sedang berduka. Jadi, aku sedari tadi nggak pegang hp.” Lintang menjelaskan begitu mendengar suara Median yang sarat emosi.
“Aku nggak peduli ya kamu lagi berduka atau sekarat sekalipun. Yang jelas saat aku telepon kamu harus selalu mengangkatnya. Ngerti!” ucap Median dengan kasar.
Lintang mendengus. Hatinya terasa sakit saat mendengar ucapan orang yang selama ini selalu ada di dalam hatinya.
“Kenapa? Enggak terima?” tanya Median masih dengan nada tinggi.
Lintang menghela napas panjang. Dia lantas menjawab, “maaf, Kak. Aku harus bantu-bantu orang rumah untuk tahlilan. Selamat malam.”
Tanpa menunggu jawaban Median, Lintang mematikan ponselnya. Dia benar-benar tak ingin diganggu malam ini. Dia ingin menenangkan hatinya yang masih terasa sakit karena kepergian sang kakek. Padahal tadi dia berharap Median akan menghiburnya. Memberinya semangat dan semangat, tetapi nyatanya… ah sudahlah!
“Lah ini. Si anak sialan udah keluar kandang.” Begitu keluar kamar, salah seorang saudara neneknya langsung menyemprotnya dengan kata-kata yang tak pantas.
“Heh! Gara-gara kamu kakak iparku meninggal. Gara-gara kamu dan bapakmu yang tak tahu diri itu, kakak iparku sakit-sakitan.” Wanita tua itu terus saja berbicara sambil menunjuk-nunjuk Lintang dengan jarinya.
Lintang hanya bisa diam saja. Sejujurnya dia tak mengerti dengan ucapan wanita tua itu. Kenapa pula dia sangat membenci Lintang dan juga ayahnya? Padahal selama ini kakek dan neneknya selalu bersikap baik padanya dan ayahnya. Walaupun kakeknya beberapa kali terlihat cuek dan ketus saat berbicara dengan ayahnya, tetapi…
“Kalau saja ibumu nggak kawin dengan pria tak tahu diri itu. Mungkin sekarang kakak iparku masih hidup. Dia nggak akan sakit-sakitan karena mikirin anak gadisnya yang menjadi pembangkang.” Wanita itu semakin menjadi-jadi saat melihat sikap Lintang yang tetap diam dan tenang.
“Umur manusia nggak ada yang tahu, Bi.” Tiba-tiba seseorang menyahuti ucapan wanita tua itu.
“Tahu apa kamu soal umur dan hidup?” Mata wanita tua itu melotot saat ada yang menyahuti ucapannya.
“Emang Bibi ini siapa? Tuhan? Jangan pernah menyalahkan jalan takdir, Bi. Jodoh, maut, dan rejeki itu rahasia Tuhan,” ucap Riani, Tante Lintang.
Wanita tua yang dipanggil Bibi itu kini berbalik menghadap ke arah Riani. Jarinya masih menunjuk-nunjuk wajah Riani dengan kasar.
“Jangan acungkan jari kotormu itu untuk menutupi kebusukanmu sendiri.” Riani menangkap jari keriput itu dengan sebelah tangannya. Kemudian mengibaskan dengan sedikit kasar.
“Dasar perempuan bar-bar. Enggak tahu sopan santun,” hujannya.
“Aku bisa bersikap baik dan sopan saat lawan bicaraku juga memperlakukanku dengan baik dan sopan. Kalau dia kurang ajar dan bermulut pedas. Aku juga bisa lebih dari kejam,” bisik Riani di telinga wanita tua itu.
Setelah berkata demikian, Riani mengajak Lintang untuk menjauh dari hadapan wanita tua itu. Wanita tua itu hanya menyimpan kekesalannya terhadap Riani yang ikut campur urusannya.
Sementara itu di teras rumah, masih banyak orang yang duduk dan mengobrol ringan. Mereka adalah para tetangga dan juga teman-teman almarhum.
“Silakan dinikmati hidangannya.” Marina, ibunda Lintang menghidangkan makanan ringan dan juga minuman untuk para tamu.
“Terima kasih, Mbak Marina.” Pak RT berkata seraya menyunggingkan senyuman tulus.
Marina mengangguk dan segera berlalu dari tempat itu. Tetapi belum sampai dia sampai di depan pintu, sebuah suara menegurnya. Tubuhnya seketika menegang kala mendengar suara yang sudah lama tak ia dengar lagi itu.
