Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1. Kemarahan Pak Anang

Pak Anang melemparkan kertas hasil ujian tepat ke wajah Lintang, putri tunggalnya. Wajah lelaki itu merah padam. Matanya menyorot tajam. Dadanya naik turun tak beraturan seiring emosi yang menggelegak.

“Mau jadi apa kamu? Hah! Semua nilai ujian kamu enggak ada satupun yang bisa bikin Ayah bangga.” Matanya menyorot tajam saat kalimat itu keluar dari mulutnya.

Lintang hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ini semua memang salahnya. Dia tak fokus belajar saat akan ujian. Dia malah sibuk pacaran dengan kakak kelasnya. Dia bahkan abai dengan semua tugasnya sebagai pelajar.

“Percuma Ayah biayain kamu sekolah mahal-mahal kalau kamu nggak niat seperti ini,” ucapnya lagi.

Lintang semakin menundukkan kepalanya. Gadis itu terlalu takut untuk mengangkat kepalanya sedikit saja. Dia sadar betul ini semua adalah kesalahannya. Kesalahan yang mungkin tak termaafkan oleh orang tuanya.

“Ayah nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus bisa perbaiki nilai-nilai kamu. Kalau enggak…”

Pak Anang menggantung ucapannya. Matanya menatap tajam ke arah sang anak yang masih tertunduk lesu di hadapannya. Lelaki itu ingin tahu apa reaksi Lintang saat kalimat itu tak selesai. Tetapi Lintang hanya menunduk saja dan tak bereaksi berlebihan.

“Ayah akan kirim kamu ke pondok pesantren,” bisik Pak Anang.

Mendengar kalimat itu. Lintang lantas mengangkat kepalanya. Dia menggeleng kuat-kuat.

“Jangan, Yah. Aku nggak mau ke pondok pesantren. Maafin Lintang, Yah,” ucap Lintang.

“Kalau nggak mau, berusaha dong biar nilai-nilai kamu nggak berantakan seperti ini,” jawab Pak Anang.

“Iya, Yah. Lintang akan berusaha untuk memperbaiki nilai-nilai itu. Lintang janji sama Ayah.” Lintang berkata sembari memegang tangan ayahnya kuat-kuat.

“Oke. Ayah pegang janji kamu. Tapi ingat, satu aja ada nilai yang jelek. Ayah nggak segan-segan mengirim kamu ke pondok pesantren. Mengerti, Lintang!” tegas lelaki berkumis tipis itu.

Lintang mengangguk yakin. “Lintang akan berusaha, Yah. Lintang janji akan memperoleh nilai yang memuaskan di ujian berikutnya.”

Tanpa merespon jawaban sang anak, lelaki itu lantas keluar dari dalam kamar Lintang. Kini tinggallah Lintang seorang diri dengan helaan napas lega tapi menyesakkan.

‘Aku harus gimana sekarang? Aku nggak mau kehilangan teman-teman baruku,’ ucapnya dalam hati.

‘Aku nggak mau mereka pergi meninggalkanku kalau aku nggak nurut sama mereka. Gimana ya?’ Lintang benar-benar dilanda kebingungan saat ini.

Saat sedang asik memikirkan solusi atas masalahnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Sebaris nama dengan simbol hati terpampang jelas di layar ponsel pintar miliknya.

“Halo Honey. Keluar yuk!” ajak sebuah suara di seberang telepon.

“Em… ma-maaf, Kak. Aku nggak bisa keluar malam ini. Ayah nggak ngizinin aku keluar karena nilai-nilaiku jelek semua,” tolak Lintang.

Terdengar decakan kesal di seberang sana. Lintang tahu kekasihnya kecewa karena dirinya menolak ajakannya. Tetapi mau bagaimana lagi?

“Maaf ya, Kak. Kakak nggak marah kan sama aku?” Lintang memberanikan diri bertanya saat telinganya tak mendengar suara sang kekasih.

“Marah sih. Tapi mau gimana lagi? Ya udah deh aku tutup dulu teleponnya.” Tanpa menunggu jawaban Lintang, pemuda itu menutup teleponnya dan berjalan menghampiri teman-temannya di pinggir alun-alun kota.

“Loh Lintang mana, Med? Katanya Lo ngajakin dia ke sini?” tanya salah seorang temannya.

“Enggak jadi ikut dia. Bokapnya nggak ngizinin dia keluar malam karena nilai-nilai ujiannya jelek semua,” jelas pemuda tampan itu dengan nada kesal.

Teman-teman pemuda itu tertawa mendengarnya. Mereka seolah menertawakan kekolotan sikap orang tua Lintang.

“Makanya, Med. Jangan pacaran sama bintang sekolah. Bakalan susah diajak keluar. Apalagi happy-happy kayak malam ini. Pasti bakalan banyak halangannya.” Salah seorang temannya berkata sambil tertawa.

Pemuda itu berdecak kesal mendengar celetukan teman-temannya. Tanpa menghiraukan teman-temannya, dia lantas menyalakan motornya dan pergi dari sana. Masih terdengar suara tertawa saat pemuda itu menjauh dari teman-temannya.

Sungguh malam yang sangat menyebalkan. Berharap bisa bermesraan dengan kekasih tetapi harus kecewa karena sikap orang tuanya.

********************

Hari-hari berlalu. Lintang mulai berusaha keras untuk belajar. Dia berusaha untuk memperbaiki nilai-nilainya yang berantakan.

Hari ini ada pelajaran bahasa Indonesia. Lintang harus melengkapi catatan miliknya jika tak ingin mendapatkan masalah dengan gurunya. Tanpa pikir panjang lagi, dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja salah seorang temannya.

“Dira, boleh pinjam catatan kamu nggak?” tanya Lintang pada teman sekelasnya.

Gadis yang dipanggil Dira itu hanya melirik sekilas kemudian pergi meninggalkan Lintang begitu saja.

Lintang merasa heran dengan sikap temannya itu. Padahal sebelumnya gadis itu masih bersikap baik padanya. Tapi sekarang… kenapa bisa berubah begitu cepat?

“Nilam, boleh pinjam catatan kamu nggak?” tanya Lintang pada temannya yang lain.

Gadis yang dipanggil Nilam menatap Lintang dengan tatapan yang sulit diartikan. Sama seperti Dira tadi. Nilam pun pergi meninggalkan Lintang tanpa berkata sepatah pun.

Lintang tak putus asa. Dia kembali berjalan menuju bangku temannya yang lain. Tapi perlakuan yang sama juga ia dapatkan dari teman-temannya yang lain.

“Kenapa sih kalian? Aku ada salah ya sama kalian semua?” gumamnya.

“Apa aku ada salah sama kalian semua?” gumam Lintang lagi.

Lintang mendesah pelan. Dengan putus asa dan kecewa, dia beranjak menuju tempat duduknya sendiri. Saat itulah sebuah tangan terulur memberikan sebuah buku padanya.

“Pinjam aja buku catatanku, Lin,” ucap orang itu.

Lintang menatap orang itu dengan tatapan tak percaya. Masih ada yang peduli padanya di saat semuanya berpaling darinya.

Ternyata tak hanya teman-temannya saja yang berubah padanya. Kekasihnya pun turut berubah. Pemuda yang sehari sebelumnya masih bersikap biasa saja kini berubah dingin.

“Aku minta maaf soal semalam. Aku benar-benar enggak boleh keluar sama Ayah,” jelas Lintang.

“Enggak usah dijelasin lagi. Kamu emang nggak mau berkorban supaya bisa jalan sama aku.” Pemuda itu menjawab ucapan Lintang seraya menatap tajam gadis itu.

Lintang hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia merasa sangat bersalah karena menolak ajakan kekasihnya. Tetapi dia juga tak bisa melanggar peraturan yang telah ayahnya buat.

“Maafin aku, Kak. Aku nggak bermaksud bikin Kakak kecewa,” lirih Lintang.

Seulas senyum miring tergambar di wajah pemuda itu.

“Enggak ada gunanya juga minta maaf. Kamu udah bikin aku kecewa. Sekarang lebih baik kamu pergi deh. Aku nggak mau lihat kamu,” usir pemuda itu.

Lintang mendongakkan kepalanya. Dia tatap wajah pemuda yang selalu ada untuknya itu.

“Aku minta maaf, Kak. Apa yang harus aku lakukan supaya Kakak mau maafin aku?” tanya gadis berambut panjang itu.

Pemuda itu menghela napas panjang. “Enggak perlu berbuat apa-apa. Turuti aja ayah kamu. Enggak usah pedulikan aku.”

“Jangan gitu, Kak. Aku mau ngelakuin apa aja asalkan Kakak mau maafin aku.” Lintang berkata dengan tegas sembari menatap kedua manik mata pemuda pujaannya.

Mendengar perkataan Lintang, pemuda itu tersenyum sinis. Di kepalanya tersusun rencana untuk bisa membuat Lintang semakin jatuh cinta dan menuruti apa maunya.

“Apa pun yang aku mau kamu sanggup menurutinya?” tanya pemuda itu meyakinkan.

Lintang mengangguk yakin. “Apa pun akan aku lakuin, Kak.”

Senyum penuh kemenangan semakin tergambar jelas di wajah pemuda itu.

“Oke. Kalau gitu aku mau kamu …”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel