Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

07. Menghancurkan Kota Raja

Kota Raja Giling Weusi dipesisir Pantai Selatan, sangat ramai dikunjungi oleh para kultivator, baik kultivator muda maupun kultivator tua. Mereka berdatangan dari berbagai kerajaan se-Nusantara, untuk mengikuti Pemilihan Jago di wilayah selatan.

Para peserta Pemilihan Jago sudah berdatangan, memadati arena pertarungan ditengah alun-alun, berbaur dengan para penonton.

Pemilihan Jago dibagi menjadi empat babak, dengan persyaratan, setiap pemenang harus membunuh lawannya sampai mati, atau dilumpuhkan. Babak pertama, harus mampu memenangkan seratus kali pertarungan berturut-turut tanpa jeda. Babak kedua, mampu memenangkan di atas lima puluh kali pertarungan. Babak ketiga, mampu memenangkan di atas tiga puluh pertandingan. Babak terakhir, jago melawan jago, dan pemenangnya akan bertarung dengan Raja Giling Weusi, bila memenangkan pertarungan, hadiahnya adalah kerajaan Giling Weusi. Namun bila kalah, harus mengabdi selamanya kepada Raja Giling Weusi.

Pertarungan babak pertama sudah dimulai, belum ada yang mampu untuk menang secara berturut-turut. Baru dua kali menang, pertarungan ketiga kalinya kalah. Paling hebat mereka bertarung sampai empat kali menang, dan pertarungan kelima kalinya juga kalah. Belum ada yang benar-benar bertahan sampai sepuluh kali pertarungan, apalagi sampai seratus kali pertandingan. Karena Raja Giling Weusi punya niat buruk, ingin membunuh seluruh kultivator ahli di Nusantara, namun tidak melalui tangannya sendiri.

Jika seluruh kultivator sudah terbunuh, akan mudah untuk menguasai kerajaan di seluruh Nusantara. Karena Raja Giling Weusi juga, mengundang para Kultivator Ahli dan petinggi dari seluruh kerajaan di Nusantara.

Aji Saka, Juminten dan dua sahabatnya, sudah berada di Alun-alun Giling Weusi, mereka menonton pertarungan dari jauh.

"Kak Saka, mau ikut pemilihan jago?" Tanya Juminten.

"Iya, Dik Inten. Kalian bertiga tunggu disini saja, biar aku yang menghadapi mereka semua. Sampai yang terakhir, baru membunuh Raja Giling Weusi," jawab Aji Saka.

Ketiganya menganggukkan kepalanya, tanda mereka setuju apa yang diucapkan oleh Aji Saka.

Tidak menunggu waktu lama, Aji Saka melesat terbang menuju ke arena pertarungan, dan melayang di atas arena, menatap lawan-lawannya.

Tentu saja apa yang dilakukan oleh Aji Saka, membuat semua penonton dan para kultivator kaget, bercampur dengan takjub dan kagum, karena selama mereka hidup, baru pertama kalinya mereka melihat manusia terbang.

"Ayo semuanya maju, jika kalian semua punya nyali!" Seru Aji Saka, memprovokasi mereka, agar semuanya maju menyerang Aji Saka.

"Bajingan kamu...! Jangan mentang-mentang bisa terbang, kamu seenaknya saja bicara. Ayo serang dia!" Seru kultivator tua, mengajak kultivator lainnya, untuk menyerang Aji Saka.

Ada lima belas kultivator muda dan tua, bergabung untuk menyerang Aji Saka. Mereka mengepungnya dari berbagai arah, lengkap dengan senjatanya masing-masing, yang siap ditebaskan kearah tubuh Aji Saka, yang sudah berdiri tegak diarena pertarungan.

Para peserta Pemilihan Jago, terdiri dari berbagai aliran dan kalangan, dari mulai kalangan petinggi dan pejabat kerajaan, yang ingin menguasai Kerajaan Giling Weusi, termasuk beberapa Panglima, Patih dan Raja se Nusantara, aliran hitam dan para pendekar bebas.

Hanya aliran putih yang tidak melibatkan diri dalam pertandingan, mereka cukup sebagai penonton saja, karena mereka mengetahui niat buruk Raja Giling Weusi dibalik Pemilihan Jago.

Seperti yang sedang mengepung Aji Saka, mereka semua gabungan dari aliran hitam, yang ingin menguasai kerajaan Giling Weusi.

"Ayo serang dia! Jurus Pedang Iblis Bayangan!" Seru tokoh tua aliran hitam, menebaskan pedangnya kearah Aji Saka, diikuti dengan yang lainnya.

"Tebasan Pedang Kembar!" Seru Pendekar Aliran Hitam, yang memegang dua pedang kembarnya di tangan kiri dan kanannya.

Begitu juga dengan ketiga belas kultivator lainnya, serentak menerjang Aji Saka, dengan pukulan dan pedangnya masing-masing, yang diarahkan kepada tubuh Aji Saka.

"Pukulan Gentar Bumi!" Balas Aji Saka, melesat terbang ke atas sambil menghantam semua musuhnya, dengan Pukulan Gentar Bumi.

Duarr.... Duarr.... Duarr.... Bom.... Bom.... Duarr.... Duarr....

Beberapa kali ledakan yang sangat dahsyat, menggema di kawasan alun-alun, dan mengguncangkan Kerajaan Giling Weusi, seperti sedang dilanda gempa yang sangat kuat.

Kelima belas kultivator aliran hitam, hancur menjadi debu, dan Istana Raja serta beberapa bangunan pada roboh. Semua orang yang berada di alun-alun pada berhamburan, menyelamatkan dirinya masing-masing. Hanya Juminten, Layang Seta dan Layang Kumitir, yang masih berada di alun-alun.

Ketiganya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah Aji Saka, yang membubarkan acara Pemilihan Jago. Karena memang, dia ingin mengacaukan niat jahatnya Raja Giling Weusi, yang ingin membunuh para kultivator di seluruh Nusantara.

Setelah semuanya bubar, Aji Saka langsung mengejar Raja Giling Weusi, yang berniat kabur untuk menyelamatkan dirinya.

"Mau lari kemana, Raja Bodoh!" Sergah Aji Saka, menghadang Raja Giling Weusi.

"Bajingan kau....! Rasakan ini.... Weusi Kuning Sakti!" Seru Raja Giling Weusi, mengeluarkan pusaka Weusi Kuning Sakti, yang langsung menghantam Aji Saka.

"Gentar Bumi!" Balas Aji Saka, menghantam Raja Giling Weusi, yang menerjang dirinya, dengan menggunakan kekuatan mistis senjata andalannya.

Duarr.... Duarr....

Dua kekuatan yang hebat beradu, kekuatan mistis Weusi Kuning dengan kekuatan pukulan Gentar Bumi, yang dipadukan dengan kekuatan inti petir, hingga membuat Raja Giling Weusi dan pusaka Weusi Kuningnya hancur berkeping-keping.

Kota Raja Giling Weusi hancur porak-poranda, semua petinggi kerajaan, Panglima dan Raja seluruh Nusantara, yang hendak mengikuti Pemilihan Jago, berhamburan keluar dari Kota Raja, begitu pula dengan para kultivator, baik dari aliran hitam, maupun dari aliran putih, sama-sama pada menyelamatkan dirinya masing-masing.

Hanya ada dua orang tokoh tua, dari perguruan beladiri aliran putih, yang masih berada di Kota Raja. Keduanya melihat sepak terjang Aji Saka, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, karena keduanya sangat mengenal dengan pukulan Gentar Bumi, yang ratusan tahun lalu menggemparkan jagad raya, kini muncul kembali menggemparkan Alam Bumi.

"Siapa sebenarnya pendekar muda itu? Apa hubungannya dengan si pemilik pukulan Gentar Bumi?" Tanda tanya didalam batin kedua tokoh tua itu, membuat dirinya semakin penasaran.

Kedua tokoh tua mengamatinya dari jauh, karena mereka tidak ingin adanya kesalahpahaman diantara aliran putih. Jadi mereka berdua hanya mengawasinya, tidak terburu-buru untuk menghampirinya.

Sedangkan Aji Saka, setelah menghancurkan Raja Giling Weusi, dia kembali ketempat Juminten dan kedua sahabatnya, yang menunggu dibawah sebuah pohon besar, yang ada dipinggiran alun-alun.

"Ayo kita pergi!" Seru Aji Saka, setelah berada dihadapan mereka.

"Kak Saka, sebaiknya kita membenahi kota ini dulu. Bila perlu, kota ini dijadikan pusat kekuasaan kerajaan di seluruh Nusantara. Bagaimana pendapat aku ini, Kak?" Tanya Juminten, kepada kekasih hatinya.

"Boleh....! Kalau begitu, biar nanti Layang Seta dan Layang Kumitir mencari ahli bangunan. Kita perlu beberapa ahli untuk menata dan membangun kembali kota ini, juga sekaligus membangun sebuah dermaga, tempat perahu para pedagang dari seluruh kerajaan berlabuh. Sekarang, lebih baik kita mencari tempat untuk istirahat," jawab Aji Saka.

Mereka semua pergi menunggangi empat kuda putih, untuk mencari sebuah tempat istirahat.

Tiba-tiba muncul dua tokoh tua aliran putih, menghampiri rombongan Aji Saka.

"Salam Tuan Muda dan Tuan Putri, kalau kalian perlu tempat untuk beristirahat. Boleh singgah di Pendopo kami, yang tak jauh dari sini. Pendopo kami tidak ikut hancur, karena semuanya menggunakan bahan dari kayu jati yang sangat kuat," ucap salah seorang tokoh tua, mengajak Aji Saka dan rombongannya.

"Terimakasih, Pak Tua. Silahkan dipandu jalannya," balas Aji Saka.

Dua tokoh tua berjalan didepan, dengan berjalan kaki karena jaraknya tidak jauh, diikuti oleh Aji Saka dan yang lainnya, sama-sama berjalan kaki sambil menuntun kudanya, menghargai tokoh tua.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel