#Chapter 5
Beberapa kali Ustadza Dewi meringis, ketika mesin tato milik Rayhan menusuk kulitnya. Setelah kerangka tato kupu-kupu selesai di buat, Rayhan mengganti tinta tato berwarna merah terang, dan mewarnai gambar kupu-kupu yang baru saja ia buat. Selama proses pembuatan tato, berulang kali Ustadza Dewi menjerit kesakitan.
Setelah hampir satu jam, barulah proses pembuatan tato milik Ustadza Dewi selesai.
Rayhan tersenyum melihat hasil karya yang baru ia buat. Diatas gambar kupu-kupu terdapat tulisan lonte berwarna hitam, dan di bawah gambar tersebut terdapat tanda tangan Rayhan, sebagai bentuk penegasan kalau Ustadza Dewi telah resmi menjadi budak seks miliknya.
“Indah sekali Ustadza.” Bisik Rayhan.
Ustadza Dewi bangkit dari tempat tidur, lalu dia membelakangi kaca besar yang ada di kamarnya. Ia menatap takjub kearah tato yang baru saja di buat oleh Rayhan.
Setelah merapikan alat tatonya, Rayhan menghampiri Ustadza Dewi, dia memeluk erat tubuh Ustadza Dewi sembari melumat bibir budak sex barunya. Lidahnya bergerilya di dalam mulut Ustadza Dewi, sementara tangannya membelai tato Ustadza Dewi hingga meringis menahan pedih.
“Berbalik Ustadza!” Perintah Rayhan.
Ustadza Dewi memutar tubuhnya sembari menungging di hadapan Rayhan. “Masukan sekarang Tuan! Hamba sudah siap untuk di nikmati.” Manja Ustadza Dewi, sembari membuka lipatan memeknya.
“Ahkkk… Lonte!” Desah Rayhan.
Kontol Rayhan perlahan menjelajahi lobang memek Ustadza Dewi yang terasa seret.
Dengan gerakan pelan Rayhan kembali menyodok-nyodok memek Ustadza Dewi. Tangannya mencengkram payudara Ustadza Dewi. Perlakuan lembut Rayhan, membuat Ustadza Dewi merinding keenakan.
Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk…
Tubuh kekar Rayhan menyentak-nyentak kedepan dengan ritme perlahan. Plaaakk… Plaaakk… Plaaakk… Rayhan menampar berulang kali pantat Ustadza Dewi hingga bergetar dan memerah.
Kemudian Rayhan memutar tubuh Ustadza Dewi menghadap kearah dirinya. Kembali Rayhan membenamkan kontolnya. Setelah beberapa menit, Rayhan merasa ingin keluar.
“Saya keluaaar Ustadza.”
“Saya juga tuan…” Jerit Ustadza Dewi.
Sembari berpelukan mereka menuntaskan hasrat syahwat mereka secara bersamaan.
“Astaghfirullah Azril.”
“Eh, Umi.” Azril nyengir kuda sembari menggaruk-garuk kepalanya.
Ustadza Laras mendesah pelan sembari menghampiri putranya yang pulang dalam keadaan berantakan. “Duduk sini.” Suruhnya, meminta Azril duduk di sofa, di samping dirinya. Dengan patuh Azril duduk di samping Ibunya.
Ia memegangi wajah putranya yang tampak memerah, dan mata kiri Azril sedikit bengkak. Terakhir kali ia melihat Azril bonyok seperti saat ini ialah dua bulan yang lalu, dan kali ini kembali terulang lagi. Sebagai seorang Ibu tentu saja ia merasa sangat khawatir.
Setelah memeriksa luka di wajah Azril, Laras berlalu ke kamarnya untuk mengambil kotak p3k, dan air hangat untuk mengompres luka Azril.
“Kamu berantem lagi.” Tanya Laras.
Azril memilih diam, ia tidak tau harus mengatakan apa kepada Ibu tirinya. Ia tidak mungkin berbohong, tapi ia juga tidak berani untuk berkata jujur.
Dengan menggunakan kain kasa, Laras mengompres wajah memar Azril membuat pemuda itu meringis kesakitan menahan pedih di wajahnya. “Aduh sakit Mi.” Rintih Azril meringis menahan pedih.
“Tahan ya sayang! Sini peluk Umi.” Ujar Laras.
Azril memeluk pinggang Laras, sembari membenamkan wajahnya diatas payudara Ibu tirinya yang terasa empuk. “Maafin Azril ya Mi.” Lirih Azril, ia merasa sangat nyaman berada di dalam pelukan Laras, apa lagi ia bisa merasakan tekstur empuk payudara Laras.
“Sudah umi katakan berulang kali, jangan berkelahi.” Ujar Laras, sembari membersihkan luka di wajah Azril.
“Iya Umi.”
“Kali ini Umi akan adukan kamu sama Abi.” Ancam Laras. Membuat wajah Azril mendadak pucat pasi.
Dia menatap Ibunya sembari menggelengkan kepalanya. “Ja-jangan Umi. Nanti Abi marah sama Azril.” Mohon Azril kepada Ibunya yang baru saja selesai mengompres luka di wajahnya yang memar.
“Biar kamu jera.” Cetus Laras.
Wajah Azril berubah memelas di hadapan Laras. “Umi tega lihat Azril di pukul Abi?” Melas Azril, dengan tatapan sedih. Bukannya merasa kasihan, Laras malah terlihat gemas melihat tingkah putranya yang begitu innocent.
“Siapa suruh kamu bandel.”
“Azril janji tidak akan mengulanginya lagi.” Azril membentuk huruf V dengan kedua jarinya.
Laras menggelengkan kepalanya. “Kemarin kamu juga bilang begitu! Sudah-sudah sana kamu mandi dulu, habis itu makan bareng Umi.” Titah Laras, Azril hanya pasrah menuruti perintah Ibunya. Ia berjalan gontai menuju kamarnya dengan raut wajah yang tidak bersemangat.
Setelah Azril kembali ke kamarnya, Laras merubah ekspresi wajahnya menjadi tersenyum.
Sebenarnya ia juga tidak ingin mengadukan kelakuanku Azril kepada Suaminya. Tapi Azril memang harus di kasih hukuman agar ia jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Laras menyenderkan punggungnya di sofa sembari terus berfikir mencari solusi yang lebih baik dari pada harus mengadukan perbuatan Azril hari ini kepada suaminya.
Setelah berfikir cukup lama, akhirnya Laras menemukan solusi yang tepat untuk membuat Azril jera tanpa harus memberi tau kan Suaminya.
Ia segera menyusul Azril ke kamarnya, tanpa mengetuk pintu Laras membuka kamar Azril. Pemuda berwajah innocent tersebut tampak kaget melihat Ibunya masuk ke dalam kamarnya.
“Sini kamu Nak.” Panggil Laras.
Azril yang mengenakan handuk menghampiri Laras yang tengah duduk di tepian tempat tidurnya. “Ada apa Umi?” Tanya Azril keheranan.
“Telungkup di pangkuan Umi.” Suruh Laras.
Walaupun ia tidak mengerti tapi Azril tetap menuruti perintah Laras. Ia tidur terlungkup diatas paha Laras.
Laras menarik nafas dalam, ia merasa tak tega untuk melakukannya. Tapi demi kebaikan putranya, ia harus melakukannya. Bukankah lebih baik dirinya yang menghukum Azril dari pada Abinya.
Plaaakk…
“Aaauuww…” Jerit Azril.
Sebuah pukulan keras mendarat di pantat Azril, hingga terasa pedih di pantat Azril. Dalam keadaan bingung, berulang kali Laras memukul pantat Azril hingga handuk Azril terlepas dari pinggangnya.
Laras dapat melihat bekas merah di pantat putranya, tapi itu tidak mengendurkan pukulannya dari pantat putranya.
“Aduh Umi… Sakit!” Mohon Azril.
Plaaakk… Plaaakk… Plaaakk…
“Ini hukuman buat anak Umi yang gak mau nurut apa kata Umi.” Ujar Laras.
Plak… Plaakk… Plaaakk…
“Auww… Uhkk… Ampun Umi.” Mohon Azril.
Jeritan manja Azril malah membuat Laras semakin gemas terhadap putranya. Yang awalnya tidak begitu keras, kini ia melakukannya sekuat tenaga seakan ia lupa kalau yang ia pukul saat ini adalah anak kesayangannya.
Hal yang sama juga di rasakan Azril. Rasa sakit dari pukulan Laras, malah membuat pemuda itu terangsang. Sadar atau tidak kontol Azril kini telah tegang maksimal.
Puluhan pukulan di layangkan Laras ke pantat putranya, sampai ia merasa capek sendiri, barulah Laras berhenti memukuli pantat putranya yang kini memar memerah akibat kerasnya pukulan Laras. Tapi anehnya Laras malah tersenyum melihat pantat putih putranya kini berwarna merah.
“Ayo duduk!” Perintah Laras. Ketika Azril hendak kembali memakai handuknya, Laras mencegahnya. “Tidak usah di pakai, toh Umi juga sudah lihat.” Ujar Laras sembari memandangi kontol Azril yang tidak berbulu, karena Azril sangat rajin mencukur habis rambut kemaluannya.
Laras tersenyum geli melihat selangkangan putranya. Sudah botak ukuran kontol Azril juga sangat kecil, seukuran jari kelingkingnya, padahal saat ini Azril sudah tegang maksimal.
“Sakit Mi.” Rengek manja Azril.
Saking gemasnya dengan Azril, Laras memeluk putranya yang tengah merengek. “Habis kamu bandel si Dek, makanya Umi pukul.” Ujar Laras enteng.
“Iya Umi!” Lirih Azril. “Azril sayang Umi.” Sambungnya.
“Umi juga sayang Azril.”
