#Chapter 3
Wajah Ustadza Dwi meringis, merasa ngilu di lobang peranakannya sekaligus menggelinjang nikmat merasakan otot-otot kontol Pak Imbron di dinding memeknya.
Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk… Ploookkk…
Suara tubrukan selangkangan mereka terdengar semakin keras ketika Pak Imbron semakin gencar mengaduk-aduk lobang memek Ustadza Dwi yang semakin banyak mengeluarkan pelumas. Sembari menikmati jepitan memek Ustadza Dwi, tak lupa Pak Imbron meremas-remas payudara Ustadza Dwi yang menggantung bebas.
“Pak… Saya keluar!” Erang Ustadza Dwi.
“Bareng Bu.” Wajah Pak Imbron mengeras ketika ia merasakan desakan di kepala kontolnya.
Secara bersamaan mereka berdua menumpahkan hasrat birahi mereka secara bersamaan. “Oughkk… Enak sekali Bu Ustadza.” Erang Pak Imbron.
Setelah puas menyiram rahim Ustadza Dwi, Pak Imbron mencabut kontolnya. Dan tampak lelehan sperma Pak Imbron jatuh keatas tempat tidur Ustadza Dwi. Sementara tubuh Ustadza Dwi terkulai lemas diatas tempat tidurnya. Wajahnya terlihat begitu puas dengan bibir tersenyum.
Pak Imbron segera turun dari tempat tidur Ustadza Dwi yang berantakan. Ia mengenakan kembali celananya, dan duduk di tepian tempat tidur Ustadza Dwi.
“Maafkan saya Ustadza!” Lirih Pak Imbron.
Ustadza Dwi hanya diam tidak menanggapi permohonan maaf dari Pak Imbron.
Setelah menghabiskan rokok sebatang, Pak Imbron segera meninggalkan Ustadza Dwi yang masih terlihat berantakan dengan sperma Pak Imbron yang terlihat mulai mengering. Tidak ada penyesalan sama sekali di hati Ustadza Dwi, bahkan ia ingin kembali mengulanginya.
Pulang sekolah.
“Mana duit loh?”
Dengan tangan gemetar Azril merogoh kantong celananya, ia hendak memberikan uang lima ribu kepada mereka. Tapi tiba-tiba pemuda tersebut mengambil semua uang Azril. “Eh… Jangan semua dong.” Protes Azril.
Mata Juned memicing. “Berani loh sama kita.” Ancam Juned dengan mata melotot.
“Kayaknya perlu di hajar ni anak.” Ujar Roby.
Pemuda itu menarik kerah baju Azril, reflek Azril menangkup tangannya di dada. “A-ampun Rob, sudah ambil aja semuanya.” Mohon Azril ketakutan.
Bukkk…
Tanpa aba-aba dia memukul wajah Azril hingga lebam. Kemudian ia menekuk lututnya, dan menghajar perut Azril dengan lututnya sembari melepaskan pegangannya sehingga Azril sempoyongan.
Tanpa ampun Juned menerjang wajah Azril hingga terjengkang ke tanah.
“Aduh sakit.” Jerit Azril.
Robby menarik kembali kerah Azril. “Banyak bacot.” Azril memejamkan matanya ketika kepalan tangan Robby hendak kembali memukul wajahnya.
Tab…
“Auww…” Jerit seseorang sembari meringkuk ke tanah.
Azril sedikit membuka matanya, dan melihat ada sebuah tangan di depan wajahnya. Ia sangat kaget ketika melihat Rayhan berdiri di sampingnya sembari meremas kepalan tangan Robby, hingga Robby mengerang kesakitan.
“Jangan ganggu sohib gue.” Ucap Rayhan pelan.
Juned yang berdiri tak jauh dari Robby terlihat shok melihat tangkapan tangan Roby yang hampir mengenai wajah dari anak pemimpin ponpes Al-tauhid.
Dengan tendangan udara Juned hendak mengincar wajah Rayhan. Buuuuk… Kaki Juned tepat mengenai wajah Rayhan, tapi Rayhan terlihat biasa-biasa saja, walaupun wajahnya sempat terhentak kesamping. Tubuh Juned gemetaran melihat Rayhan yang tengah tersenyum kearahnya. Dengan menggunakan lengannya Rayhan mendorong kaki Juned dari wajahnya.
“Pergilah… Atau?”
“Bangsaaaaat!” Pekik Robby yang kesal. Kepalan tangan kirinya terarah ke dada Rayhan.
Sebelum pukulan Robby mengenai dada Rayhan, siku Rayhan lebih dulu menghantam wajah Robby. Buuuuk… tubuh Robby terjengkang kebelakang dengan wajah memar, ia langsung jatuh pingsan.
Kemudian dengan cepat kilat, Rayhan melancarkan dua kali pukulan kearah wajah Juned yang langsung terhuyung kebelakang hingga punggungnya menabrak tembok bangunan asrama.
“Anjiiiing sakit!” Jerit Juned sembari memegangi wajahnya.
Rayhan belum selesai, ia mecekik leher Juned hingga pemuda itu kesulitan bernafas.
Buukk… Buuuk…
“Hoeegh… Hoeegh…” Erang Juned.
Dua pukulan lagi kearah perut Juned hingga mengenai ulu hatinya. Matanya memerah karena sempat tidak bisa bernafas setelah menerima pukulan Rayhan di perutnya yang terasa sangat menyakitkan.
“Ini peringatan terakhir. Bawak teman Lo pergi dari sini, dan jangan pernah ganggu sohib gue lagi.” Geram Rayhan dengan tatapan tajam.
“I-iya Ray!” Jawab Juned gemetar.
Rayhan segera melepas cengkeramannya dan mengajak Azril untuk segera pulang. Di samping Rayhan, Azril lebih banyak diam. Ia tidak menyangka kalau Rayhan akan senekat itu melawan dua orang sekaligus.
Sadar kalau sedang di perhatikan, Rayhan menoleh kearah Azril yang tergagap.
“Lo kenapa?”
Azril menggaruk-garuk kepala. “Ngeri juga Lo, tapi terimakasih ya sudah nolongin gue.” Ujar Azril memaksa untuk tersenyum di hadapan Rayhan.
“Santai aja, itulah gunanya sahabat.”
“Gue senang bisa punya sahabat kayak Lo.” Azril merangkul pundak Rayhan. “Sumpah gue puas banget lihat mereka Lo hajar, soalnya sudah satu semester ini gue di palakin Mulu sama mereka.” Wajah Azril mendadak murung sembari memukul telapak tangannya sendiri.
Rayhan menggelengkan kepalanya. “Kenapa gak Lo lawan?” Kesal Rayhan. Ia tidak bisa terima kalau ada sahabatnya yang di aniaya.
“Gue gak sekuat Lo Ray.”
“Sama-sama makan nasi ini, apa yang perlu di takutkan. Lain kali kalau mereka masih gangguin elo, kasih tau gue, bakalan gue habisin mereka semua.” Geram Rayhan, entah kenapa Rayhan merasa menyesal karena melepaskan mereka, seharusnya ia memberi pelajaran untuk mereka lebih dari itu atas perlakuan mereka kepada Azril.
“Terimakasih Ray, Lo memang sahabat terbaik gue.”
“Santai aja.” Ujar Rayhan senang melihat sahabatnya senang. “Gue balik dulu.” Ujar Rayhan setibanya di persimpangan, Rayhan mengajak tos Azril yang di sambut Azril dengan kepalan tangannya bertemu dengan kepalan tangan Rayhan.
Rayhan tidak langsung menuju rumahnya, melainkan ke rumah Ustadza Dewi. Rasanya sudah lama sekali ia tidak berbagi kehangatan bersama Ustadza Dewi. Terakhir ia bertemu ketika Ustadza Dewi menjenguknya yang sedang sakit. Dan itupun mereka tidak bisa saling mengumbar syahwat.
Setibanya di rumah Ustadza Dewi, ia langsung di sambut pelukan hangat oleh Ustadza Dewi.
Mereka berciuman sangat panas melepas rindu yang membuncah di hati mereka. Sembari melumat bibir merah Ustadza Dewi, telapak tangan Rayhan bergerilya diatas payudara Ustadza Dewi yang di bungkus oleh kaos berwarna cream lengan panjang.
“Ustadza kangen kamu Ray!” Bisik Ustadza Dewi.
