Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Senior Tidak Pernah Salah

Aba-aba dari jam istirahat telah berbunyi, seluruh perajurit yang ada di lapangan latihan pun beringsut pergi satu persatu. Sementara aku masih bergeming di depan pohon seraya menatap target lingkaran di ujung sana, diperhatikan oleh Nio yang juga tak mau pergi.

Entah kenapa dia malah menatap aku layaknya seekor mangsa, kali ini lebih tajam dan perasaan ini mulai tak tenang. Awalnya biasa saja, akan tetapi lama-kelamaan ada perasaan aneh tumbuh dalam diriku. Entah itu perihal pertanyaaan konyol, atau sekadar bayangan fana saja.

Beberapa menit setelahnya, Nio pun membangkitkan badan dari bawah pohon bunga tanjung. Dia bergerak laju menemuiku, akan tetapi di posisi kanan ada Komandan Reza yang juga menemui. Tatapan sejurus aku lempar pada Komandan, karena dia adalah orang petinggi di sini.

Seraya mendekati, Komandan Reza menyentuh pundak ini secara perlahan. "Jhon, apakah kau enggak istirahat? Sudah tiba waktunya," ucapnya.

"Sebentar lagi, Komandan," jawabku.

"Tidak bisa begitu, Jhon. Kau harus mematuhi peraturan di sini, karena ada jam-jamnya dan sudah diatur sedemikian rupa. Oh, ya, saya mau ajak kamu makan di dekat pos, apa mau?" tawarnya mengajak.

Karena di samping ada Antonio, aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian. Apalagi tadi dia sudah baik dan mau meminjamkan baju, sekarang aku harus bisa mengatakan tidak pada seseorang agar tak melukai orang lain.

"Ma-maaf, Komandan, aku akan makan siang bersama Nio. Lagian ... aku merasa malu kalau bergabung pada kalian di sana," sergahku.

"Ta-tapi, Jhon!"

"Lain kali saja komandan, karena kami akan menyusul ke sana," kataku seraya pergi dari lapangan itu.

Bersama dengan Antonio, kami bergerak menuju asramah dan ingin istirahat sejenak. Aku tidak mau terlalu akrab pada petinggi di Batalyon ini, karena mereka memiliki jabatan luar biasa dan takutnya ada kecemburuan sosial dari berbagai pihak.

Dengan berjalan laju bersama sahabat, kami pun menuju penyimpanan senjata dan meletakkannya rapi seperti semula. Lalu, Nio menyiku lengan ini seraya menoleh tajam ketika di ruangan itu.

"Apa yang dikatakan Komandan Reza tadi, Jhon?" tanya Nio.

"Hmm ... dia mengajak aku makan siang, tapi aku enggak mau karena malu," jawabku sekenanya.

"Kenapa kau tidak mau. Kan, kalau makan sama dia pasti aman dari gangguan. Lagian ... siapa, sih, yang enggak mau kenal sama petinggi di Batalyon ini," imbuhnya lagi, kali ini dia melepaskan ikatan di tangannya.

Seketika aku menatap sang sahabat, secara saksama dia pun seperti merasa kesal dan marah. Aku menyibak keringat yang ke luar membasahi pipinya, saat orang tidak ada satu pun dalam ruangan.

Kemudian Nio menoleh ke arahku, dan dia terlihat sangat lelah setelah seharian ini menunggu aku latihan. Meskipun dia tidak ikut, dan hanya memerhatikan dari kejauhan, akan tetapi tetap saja dia lelah.

"Keringatmu banyak sekali, Nio. Kau harus banyak minum air biar enggak dehidrasi," ucapku seraya menyibak wajah sahabat.

Lalu, Antonio terdiam dan dia memerhatikan aku yang sedang menyapu wajahnya menggunakan kain perca. Sapu tangan ini selalu aku bawa di dalam kantong, karena ada masanya keringat datang akan aku hapus.

"Jhon," panggilnya.

"Hmmm ... kau kenapa? Sini, aku akan bersihkan leher kamu ini, jorok banget. Pasti habis push-up lagi, jadi banyak debunya," imbuhku.

Dengan menghentikan pergerakan tanganku, Nio pun menatap secara saksama kedua netra ini. Aku tidak tahu harus berkata apa, karena dia memandang seperti ada maksud lain. Tanpa mampu berkata apa pun, aku menarik napas panjang.

Seketika aku membuyarkan lamunan dan merubah posisi tangan. "Eh, ma-maaf, aku sudah terlalu berani padamu."

"Ah, enggak masalah. Yuk, kita ke asramah lagi. Ada yang mau aku bilang sama kamu," ajaknya.

Kami pun bergerak menuju ke dalam asramah yang tak jauh dari lokasi saat ini, kemudian kami masuk dan di sana sudah ada Raka, Fikram dan Bambang. Setelah kami masuk, mereka pun merubah posisi dan duduk lebih sopan.

"Dari mana saja kau, Jhon?" tanya Bambang.

"Aku dari ruang senjata, baru saja mengembalikannya," jawabku sekenanya.

"Oh, ini siapa, Jhon?" tanya mereka lagi.

"Hai, aku adalah Antonio Kristiano. Panggil aja Nio, aku sahabat Jhon," sergah Nio sekenanya.

"Oh, kamu yang tadi pagi mengantar baju, ya?" tanya Bambang.

"Iya, baju untuk Jhon. Kalian enggak makan siang?" tanya Nio.

"Belum masuk jadwal, aku takut kalau sampai sana malah kena mental," pekik Raka Lesmana.

Sejenak kami berhenti berkata, karena mereka pada sibuk dengan latihan hari ini. Aku yang berada di tengah mereka, kemudian mendudukkan badan di atas ranjang dan mengambil tas. Bau baju kotor sudah seperti bangkai, lalu aku berniat mencucinya selepas sore hari.

Tanpa sengaja, aku menyentuh tangan Nio yang tidak bergerak sama sekali dari atas ranjang. Dia menatap secara spontan, kemudian menoleh wajah ini lagi. Senyuman hangat dia berikan, aku malah traveling ke hidungnya yang mancung itu.

"Ah, ma-maaf, aku enggak sengaja," titahku terbata-bata.

"Gak masalah. Oh, ya, kau enggak nelepon keluarga kamu di kampung, Jhon? Kan, kamu lulus sekarang?" tanya Nio.

"Enggaklah, aku enggak punya nomor mereka. Lagian ... sebelum pergi ada hal paling aku kesalkan terucap dari mulut pamanku," jawabku dengan memasukkan baju kotor ke dalam bak mandi.

Kami bergerak ke arah kamar mandi, dan membawanya begitu saja dengan tumpukan lainnya. Lalu, Nio mengekor ke mana pun aku pergi. Dia duduk di atas bak semen, memerhatikan aku yang mencuci sandal.

"Katamu, ayah dan ibumu akan datang ke sini. Saat pembagian baju seragam untuk kita," kataku.

"Iya, mereka akan datang tapi aku enggak tahu kalau mereka benar datang atau tidak. Lagian ... sekarang kalau pun mereka tak datang ada kau yang membuat aku selalu semangat."

Mendengar ucapan itu, aku tediam. Pasalnya, degup jantungku berdetak lebih kencang. Kali ini, aku bergeming sejenak dan batin mulai berkata.

'Nio kenapa bicara seperti itu, ya, kok, aku merasa ada yang aneh darinya. Ah, enggak-enggak, mungkin hanya perasaan aku aja kali,' celotehku dalam hati.

Tanpa menjawab, aku tetap mencuci sendal dan menyiramnya dengan air. Di dalam kamar mandi ini sangat sempit, sehingga kami harus mandi di lain wilayah ke luar dari dalam kamar. Bergabung dengan para tentara yang sudah ada di sini lama, berjejer rapi dan mengantre.

Namun, kadang aku mandi pakai air di dalam kamar mandi ini karena selalu tidak dapat waktu yang pas saat bergabung. Kalau mereka mudah saja mandi dengan membuka baju dan celana di hadapan sahabat.

Kalau aku tidak, karena tak pernah begitu pada siapa pun. Bahkan pada ibuku sendiri aku malu memperlihatkan rudalku yang bergelayuh ketika mandi. Walau pun di sini lelaki semua, aku tetap pakai celana dalam minimal.

Beberapa menit setelahnya, suara azan pun berkumandang. Aku mendengarnya dan langsung menuju ke luar dari dalam kamar. Nio mengikuti, dia pun berjalan denganku dari posisi belakang.

"Kau ngapain ikut ke sini, Nio?" tanyaku.

"Aku mau ikut salat juga bersama kamu, Jhon. Kenapa emangnya," jawabnya.

"Ta-tapi, tapi kau—"

"Sudahlah, mereka enggak akan tahu kalau aku non-muslim. Kan, banyak di sini perajurit baru. Ayolah, gak masalah," kata Jhon.

"Okelah kalau begitu," kataku.

Kali ini kami bersama-sama memasuki musala dan mengambil shaf paling belakang. Di samping kanan, ada Nio yang salat juga mengikuti pergerakan kami. Ketika rukuk dia ikut, ketika sujud juga dia ikut.

Sehabis salat, barulah jam makan siang tiba dan kami pengarahan dulu kemudian masuk ke dalam ruangan tempat pembagian nasi. Kali ini, aku dapat satu piring lemgkap dengan lauk.

Seorang perajurit yang berasal dari kamar lain datang terlambat, dia mengambil nasi akan tetapi tidak ada jatah makan sama sekali. Pernah aku mengalaminya, dan itu sangat pedih. Kemudian dia berjalan melintasi kami, duduk di bangku paling belakang dengan menekuk wajah.

Antonio yang berada di samping kanan menolehku, karena aku berdiri dan pindah tempat duduk. Kali ini, seorang yang terlambat dapat nasi itu menatap ke arahku, dia pun melihat nasi di dalam piring ini masih utuh belum tersentuh.

"Apakah kau lapar?" tanyaku spontan.

Tanpa menjawab, orang di hadapan pun mengangguk saja.

"Nih, aku bagi untukmu setengah. Oh, ya, ini lauknya juga. Dah, makanlah," kataku mengimbuh.

"Ta-tapi, tapi ....."

"Tidak ada tapi-tapian, kita sama-sama perajurit di sini, gak ada yang membedakan kita," imbuhku.

Senyum semringah itu telah dipancarkan olehnya, lalu datang seorang pengacau di dalam sini, mereka selalu berbuat onar pada siapa pun untuk memahami tiap karater dari kami. Lalu, mereka duduk di bangku kami dengan baju lorengnya.

Aku tidak peduli dan hanya menarik napas panjang, sudah pasti kalau dia pernah membuat aku kelaparan waktu itu. Tanpa menoleh sama sekali, aku pun tetap membiarkan mereka menyantuh makanan kami.

"Kalian ngapain di belakang? Pasti kalian terlambat, ya?" tanyanya.

"Tidak, kami tidak terlambat," jawab orang di hadapanku.

Dengan lirikan, aku memberikan dia kode agar tidak melawan sedikit pun ucapan mereka. Mereka yang sudah lama di sini, pasti memiliki sebuah wewenang dalam hal apa pun. Senior itu selalu benar, tidak mungkin salah.

"Oh, berani kau melawan senior," ucap mereka seraya menarik kerah baju orang di hadapanku.

Melihat kejadian itu, aku pun tetap diam dan hanya makan tanpa mau berbuat masalah. Di sisi lain ada rasa kasihan, karena baru saja datang belum pun makan sudah mendapatkan refleksi mental.

"Sekarang kau push-up dua ratus kali," ucap Senior.

Mendengar perintah itu, aku menoleh tajam ke arah mereka. Melihat dari tatapan tajam ini, mereka pun membalasku.

"Apa kau lihat-lihat!" pekik senior.

Lalu, perajurit di hadapan mereka yang terbilang lebih kecul itu push-up, dia sudah merasa tak tahan karena baru lima puluh kali. Aku pun tidak tega melihatnya, ini adalah hukuman paling aneh yang pernah terlihat.

"Senior, aku sudah tak tahan," ucapnya.

"Kau tidak tahan! Wah, mentalmu sama seperti mental tempe. Kalau kalian enggak punya mental baja, jangan masuk angkatan, dunia kita keras Bung, bukan dunia para banci!" kata Senior.

Aku yang masih menatap mereka, kemudian Senior memberhentikan tawa dan menemui. Lalu, salah satunya datang ke hadapanku dan langsung menatap tajam.

"Kau kenapa melihat aku seperti itu. Ada masalah apa kau rupanya," ucap senior bertopi baret hijau.

"Tidak ada!" pekikku.

"Lalu, kenapa kau malah seperti menantang aku di sini. Hei!" senior memukul meja dengan sangat keras, membuat nasi di dalam piringku terjatuh.

Kali ini emosi mendadak memuncak, aku mengepal tangan dan langsung berdiri di hadapan satu senior yang terlihat bringas itu.

"Apakah kau tidak melihat kalau ini ruang makan. Mana etikamu ketika memasuki ruangan ini!" pekikku ngegas.

Para senior pun terdiam, dia saling menoleh samping kanan dan kiri. Ruangan yang tadinya ricuh menjadi hening bagai kuburan, bahkan tak ada satu pun dari mereka berkata lagi.

Lalu, Senior bernama Bram itu langsung berdiri di hadapanku. Dia menarik kerah baju ini dan langsung membawaku ke luar, dengan sangat kuat dia melemparku di tanah.

"Apa maksudmu membentak-bentak kami senior di ini. Kau tidak lihat jabatan dan pangkat kami sekarang?" tanya mereka ngegas.

Aku yang tersungkur kemudian menatap dengan wajah penuh kekesalan. Ini adalah kali pertama dalam hidupku bermasalah pada orang lain, senior itu menepuk dadanya seperti sangat pongah.

Menggunakan jemari tangan, aku menunjuk senior itu. "Kau, ini adalah militer dan kemanusiaan yang kalian junjung tinggi dari semua sosial. Tapi kenapa, kalian malah menjadikan tempat ini bobrok karena moral dan etika."

Mendengar ucapanku, senior itu datang dan dia melayangkan pukulan kaki kanannya di perut itu.

Brug!

"Ach ... uhuk!" aku batuk dan darah ke luar dari dalam mulut.

Para perajurit seangkatan pun berkumpul dan melihatku kala itu, termasuk senior lainnya. Dari samping kanan, Komandan Satria dan Reza datang melerai. Aku tidak tahu akan apa yang mereka lakukan, ini sudah terlewat batas.

"Bram, hentikan. Mereka adalah peserta baru, tidak ada refleksi mental seperti ini di Batalyon kita. Ingat kesatuan kita dan jaga sumpah kita," ucap Komandan Reza.

"Tapi dia berani berkata etika dan moral padaku, di mana harga diri kalian sebagai senior," sergah Bram ngegas.

"Tetapi tidak begini caranya dalam menangani masalah. Ayolah, kita dapat menjadikan ini sebagai objek pertama dalam persatuan Yonif kita."

Komandan Reza pun menemuiku dan dia membangkitkan aku. Sementara Komandan Satria membawa senior itu ke kantor, akh juga dibawa mereka ke kantor yang sama. Baru dua hari di sini, sudah ada masalah yang menimpah.

Akibat menolong orang lain, akhirnya aku terkena sendiri imbasnya. Di tengah ruang persidangan, hanya ada kami berempat saja. Senior yang berada di samping kanan, serta Komandan Reza dan Satria.

"Jhon, kenapa kau melawan seniormu di sini?" tanya Komandan Reza.

"Maaf, Komandan. Aku melakukan itu karena alasan yang kuat, ini menyangkut kemanusiaan. Bukan dari segi jabatan dan pangkat. Aku tahu kalau aku adalah anak baru di sini, kalian pun perlu tahu satu hal, kalau TNI memiliki citra baik di luar sana, dapat lulus di sini adalah hal paling diimpikan laki-laki. Tapi semua itu salah sejak aku tahu, Senior membuang makanan yang tak bersalah di sana."

Tatapan aku lirikkan kepadanya.

"Benarkah, Bram, kau melakukan itu di ruang makan?" tanya Komandan Satria.

"I-iya, Komandan. Ta-tapi ... tapi ini sesuai—"

"Tidak ada peraturan di sini melakukan refleksi mental pada adik-adik perajurit di ruang makan. Kan, masih ada ruangan lain. Kalian bebas kapan pun melakukan itu, kalau demi meningkatkan kualitas mental yang maksimal."

"Baik, Komandan. Ini adalah yang terakhir, kami tidak akan melakukannya di ruang makan," jawab Bram seraya menatapku sangat tajam.

"Aku baru sadar satu hal, kalau di sini masih ada yang namanya perploncoan. Bagai hidup di hutan, hukum rimba pun masih sangat kental," imbuhku.

Para komandan diam, dan senior juga diam. Mereka menatapku dan Komandan Reza menemui. "Jhon, bagaimana pun kau tetap salah, sekarang minta maaf pada senior."

Bersambung ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel