5. Siapa Di Belakangmu?
Setelah salam-salaman dan menjabat tangan, perdamaian pun terjadi dalam ruangan itu. Namun, pertikaian kami tak mungkin akan damai sampai situ saja, karena aku merasakan aura negatif dari tatapan senior yang selalu membuat onar di kala para adik kelas sedang ingin makan.
Aku tak menyangka sebelumnya, kalau kehidupan di dalam batalyon angkatan seperti itu. Masih ada yang mengatakan menganus sistem hukum rimba, siapa yang terkuat dia yang akan memegang kekuasaan. Ini adalah angkatan, bukan tempat para preman dalam melakukan perploncoan.
Dengan mengikuti kata hati, aku pun sekarang harus lebih waspada dengan apa yang hendak aku lakukan. Apalagi ketika menolong orang lain, karena ketika terkena masalah, orang yang dibantu tidak ada kala itu. Aku pun ke luar bersama para komandan, senior tampak sudah memimpin jalan dan bertemu pada sahabatnya.
Kali ini, tepat di belakangku sudah ada Komandan Reza, mengenakan baret merah dan dia adalah kopassus paling berpengaruh di sini. Sementara Komandan Satria dan Ferdy, merupakan anggota dari cabang Infantri Angkatan Darat.
Sama seperti aku, yang saat ini lulusan dari Bintara Angkatan Darat dari cabang Infantri. Setelah kami memasuki koridor, kali ini tibalah aku di sebuah lapangan yang banyak menghadirkan sahabat lainnya di sana.
Entah kenapa, sejak aku melintas di area mereka, semua buang muka dan seperti menyembunyikan sesuatu. Langkah kaki berhenti di bawah pohon bunga tanjung, karena bola voli menemui kakiku dan satu dari mereka memberikan kode agar aku membuangnya.
Sembari mengambil bola itu, aku pun langsung mengoper pada permainan mereka di bawah senja. Kali ini, mereka kembali bermain dan aku menatap sejurus ke depan. Tepat di hadapan mata, salah satu senior ada di sana dengan memakai baret hijaunya.
Datang menemuiku dan dia meletakkan tangannya di pundak ini. "Hai," katanya.
Lalu kutoleh dia sebentar, "hai juga, Bang," jawabku.
Kemudian senior tersenyum, akan tetapi di balik senyumanya itu terlihat sebuah dusta. Aku dapat merasakan, lalu dia pergi begitu saja ke arah yang lainnya. Sebelum semua menghilang begitu saja. Aku berjalan lagi, duduk di bawah teras tepat di asramah Batalyon 3.
Antonio datang menemui, dia membawa biskuit dan minuman yang aku tak tahu dapat dari mana. Sejak kami berada di sini tiga hari, aku belum pernah makan biskuit ataupun minuman seperti itu.
"Mau susu," ucapnya seraya menyodorkan.
Karena terlihat hanya ada dua botol, aku menggeleng saja. "Tidak, terima kasih," jawabku.
"Kau kenapa, Jhon? Kok, tadi di tempat makan membuat aku hampir mati," jawab Antonio seraya menoleh.
Mendengar ucapan itu, aku malah membalas tatapannya dan mengambil satu keping biskuit di tangan kanannya. Sahabat paling mengerti akan keadaan ini sedang berseteru ternyata, dia tak tahu akan pemindasan adik perajurit ketika hendak makan.
Seraya mengunyah biskuit itu, aku pun menatap sejurus para senior di hadapan kami. Mereka selalu di eluh-eluhkan para perajurit muda. Bertingkah aneh di hadapan mereka, dan seperti menjadi kebanggan tersendiri.
Jujur saja aku tidak suka hal demikian, karena sistem kultivasi di kesatuan ini harus segera dirubah. Tidak ada tingkatan antara yang termuda dan senior, akan tetapi aku tak tahu caranya bagaimana.
Sebagai seorang perajurit harus bisa percaya diri pada kemampuan mereka, tidak melulu memuji para senior dan membuat mereka menjadi gelap akan kekuasaan, jabatan, dan lain sebagainya.
"Jhon, aku tidak mau kalau kau kena masalah lagi. Mulai sekarang, jangan pernah ambil pusing akan perbuatan senior," ucap Antonio.
"Bukan aku yang mulai, Nio. Aku tidak tahu yang sebenarnya, kalau aku tidak suka ada senior semena-mena pada bawahan. Apalagi, ketika makan. Kalau kegiatan lain enggak masalah, kan, seperti kau yang selalu mendapatkan hukuman," jelasku ngegas.
"Ya, itu menurut kita, Jhon. Tetapi tidak dengan mereka. Kau harus paham lingkungan, senior tidak pernah salah dalam hal apa pun. Ingat itu, aku berkata seperti ini agar kau paham."
"Sudahlah, aku keras kepala kali ini, Nio. Kau tidak tahu betapa kasihannya nasi itu terjatuh ke lantai di buang sia-sia," sergahku.
"Hanya sebatas nasi, Jhon, kalau kau terluka—"
"Hanya sekadar nasi katamu, Nio." Aku bangkit setelah ucapan, lalu kutoleh tajam lawan bicara. "Asal kau tahu, untuk mendapatkan sesendok nasi itu kami petani mengeluarkan secangkir keringat, Nio," imbuhku.
Dengan perkataan tersebut mengakhiri kami bertemu sore ini, aku pun masuk ke dalam kamar dan berdiam diri tanoa perkataan apa pun. Sementara yang lainnya sedang tertawa senang di luar sana, hingga waktu sore telah tiba.
Senja berhasil memboyong udara yang semula panas menjadi sangat gelap. Garis cakrawala mampu ditebas habis oleh udara dan panorama, ini adalah penampakan malam di senbuah garis khatulistiwa.
Setelah mandi, aku bergeming dan mengambil sebuah buku yang memperlihatkan bacaan, entah kenapa dari pada tidak ada kegiatan dan curhat tentang kejadian hari ini, aku lebih suka mengerjakan TTS.
Beberapa sahabat memasuki kamar, mereka sepertinya pergi ke suatu tempat dan aku tidak ikut. Semalaman ini, setelah salat aku hanya mendekam dalam kamar saja. Tidur telungkup, dan Raka Lesmana pun duduk di sampingku.
"Jhon," panggilnya.
Aku menoleh ke arahnya, lalu kujawab menggumam, "hmmm ...."
"Kau kenapa hanya ada di dalam kamar saja? Enggak mau ikut dengan kami ke luar?" tanyanya.
"Gak perlu, aku hanya betah di dalam saja," jawabku sekenanya.
"Mana sahabatmu yang biasa ke sini, dia enggak datang lagi mengantar makanan atau minuman?" tanya Raka lagi.
"Gak tahu, mungkin dia lagi bersama Senior kali. Kan, dia teman dekat Senior sekarang," titahku menjawab.
"Kenapa, ya, mereka cepat banget berteman dengan senior. Sedangkan aku, malah menganggap mereka tidak bisa dianggap teman," sergah Raka Lesmana.
"Benar itu, aku juga merasa seperti kau, Raka. Apalagi Senior Bram, kenapa mereka selalu membuat adik perajurit seperti itu, ya?" sambar Bambang.
"Tapi aku salut pada Jhon. Walaupun terbilang bintara paling kecil, dia berani menantang Senior Bram di dalam ruang makan. Kalau aku jadi dia, pasti enggak tenang hidupku sekarang," imbuh Fikram memuji.
Mendengar celotehan para sahabat aku pun menoleh satu persatu mereka. Dengan menarik napas panjang, aku tidak henti-hentinya berdialog pada hati perihal apa yang sekarang terasa. Namun, aku tidak langsung mengatakan, karena tidak ada yang lain lagi sekarang mampu aku sesalkan.
Sudah sejauh ini aku berjalan, karena tidak dapat berputar kembali dan jalan sudah sangat berkilo meter aku lalui sendiri. Tanpa tanggapan, aku mengerjakan TTS dan diam saja. Asa otak sebelum nanti kegiatan belajar seperti yang dibilang oleh Komandan Reza, TNI tidak hanya fisik saja dinilai tetapi otaknya juga.
"Kau lagi apa, Jhon? Kok, daritadi diam saja? Apakah kau lagi ketakutan di sana?" tanya Bambang.
"Aku lagi ngerjakan TTS. Ngapain aku takut, ini bukan akhir dari segalanya," jawabku sekenanya.
"Lalu, kenapa kau tidak mau ke luar akhir-akhir ini?" tanya mereka lagi.
"Buat apa aku ke luar, kalau di dalam sini lebih nyaman. Lagian ... kalau bertemu Senior pasti akan kena ancamab, dan ancaman," titahku.
"I-iya, sih. Tapi kau berani melawan mereka, aku sampai enggak habis pikir tadi," sergah Bambang, yang lainnya malah mengangguk setuju.
Sembari meninggalkan dipan, aku membawa TTS di atas kursi dan duduk memegang pulpen. "Kalian tidak perlu takut sama Senior, mereka makan nasi juga seperti kita. Tingkatkan mental aja, karena mereka tidak akan jahat pada kita."
"Ya, enggak jahat, tapi seram banget. Aku baru kali ini mendapatkan bentakan tiap hari dari mereka, hal kecil lun jadi masalah. Bahkan enggak ada masalah, jadi masalah," imbuh Fikram.
"Itu namanya refleksi mental, dan kalian harus paham maksud dan tujuan mereka apa. Udahlah, jangan pada gibah para senior, kita fokus aja sama tujuan awal kita masuk sini," kataku menengahi.
Beberapa menit setelahnya, serunai panggilan darurat pun datang. Malam ini, selepas salat isya, kami berlari dari dalam ruangan dan meninggalkannya begitu saja. Pasalnya, ada pemberitahuan yang akan kami hadiri malam ini.
Setibanya di tengah lapangan, para senior pun menatap satu persatu dari kami. Dalam posisi siap siaga, aku tidak menoleh sama sekali ketika para senior melintas di samping.
Salah satu dari mereka menatapku dengan pandangan yang sangat aneh, karena aku selalu baris paling depan, dengan ukuran badan lebih kecil di antara yang lainnya.
"Apakah semua sudah berkumpul?" tanya senior.
"Siap, sudah, Komandan!" teriak kami serempak.
"Dari kiri, hitung, mulai."
Kami saling menghitung masing-masing, karena ini jumlah kami adalah 92 orang. Namun, angka berhenti di nomor 91. Entah siapa yang tidak ada, kami pun kurang kenal satu persatu calon Bintara yang lulus tahun ini.
Sementara ruangan kami masih sama saja, belum dipisahkan berdasarkan kategori jabatan. Infantri, kopassus, dan yang lainnya. Malam ini adalah pemberitahuan tentang sistem di dalam asramah, tidak boleh tidur larut malam.
Ada lagi pemberitahuan tidak boleh membuang sampah sembarangan, tidak boleh ibadah tidak tepat waktu dan makan tidak datang cepat. Karena, pengakuan dari berbagai pihak ada yang menatakan kalau sebagian dari perajurit tidak mendapatkan jatah makanan ketika seharian latihan.
Hal itu bukan salah dari perajurit muda, karena ketika mereka sudah mendapatkan jatah, lalu dirampas oleh senior. Ini adalah skema jahat dari mereka, memberikan pemberitahuan yang jelas-jelas mereka lakukan sendiri. Kalau kala istilah, lempar batu sembunyi tangan.
Setelah semua sudah mendengarkan pemgumuman, salah satu anggota dari Infantri berlari memasuki barisan, dia adalah seorang laki-laki yang tadi siang terlambat ketika masuk dalam ruang makan.
"Eh, siapa suruh masuk ke barisan! Sini, enak saja kau ini!" seru sang senior.
Lalu, orang tersebut menemui senior. Tepat di dalam barisan, para anggota lainnya memekik dan mereka kasihan padanya lagi.
"Dia lagi dia lagi, habislah riwayat kau!"
"Iya, kasihan banget dia. Seperti orang yang tidak ada gairah sama sekali."
"Mungkin dia lelah, karena kegiatan kita yang memang penuh jadwal."
Begitulah reaksi para sahabat di dalam barisan, mereka merasa kasihan pada satu orang yang menjadi langganan bulan-bulanan para senior. Aku pun tidak kenal dia siapa, karena selama ini aku yang merasa sendiri, kalau hanya diri ini paling lemah di antara lainnya.
"Push-up seratus kali," ucap Senior.
Dia pun push-up, lalu kami menerhatikannya saja. Malam ini, kami pun bubar dari lapangan dan menuju ke ruang makan malam. Aku berada di paling belakang tempat duduk, lalu datang Raka dan Bambang.
Seseorang yang sering terlambat tadi sudah hadir, dia pun tak tahu akan duduk di mana. Malam ini aku menggeser tempat duduk agar dia berada di sampingku, sekalian kami akan mengintrogasinya kenapa sering datang terlambat saat pengumuman.
"Hai, silakan duduk di sini," ucapku menawarkan.
Dia mengangguk, lalu duduk di samping kananku. Tatapannya sangat merasa lemah, karena matanya lebam akibat sesuatu hal.
"Kau kenapa selalu terlambat datang? Apakah di dalam asramah tidak ada alarm?" tanyaku penasaran.
"Bukan, aku tidak dengar kalau lagi tidur. Lagian ... aku sedang berduka, ibuku meninggal dunia di kampung," jawabnya.
"Innailahi wainnailahi roziun ... kenapa kau tidak mengatakan ini pada Komandan. Kan, kau bisa pulang," titahku menjelaskan.
"Tidak bisa, karena ini adalah pelatihan tahap awal. Kalau aku pulang, ini akan menjadi hal paling meninggalkan aku dalam banyak hal. Sudahlah, lagian ibuku sebelum meninggal berkata kalau dia tidak masalah meninggal tanpa kepulanganku, mereka sudah ikhlas."
Mendengar pengakuan itu, kami terdiam. Aku yang semula selalu kesal padanya karena terlambat dan lainnya, sampai membuat aku berdebat pada Senior karena hal kematian. Di kala seperti ini, tidak ada yang mampu melawan.
Karena perajurit itu adalah 99% milik negara, dan 1% milik keluarga. Apa pun yang terjadi, kami harus konsisten sampai darah penghabisan. Posisi inj pernah aku alami, karena ketika ibuku meninggal dunia tiga hari aku langsung pergi.
Seraya menyentuh pundak laki-laki di sampingku, lalu aku berkata, "semangat, kawan, aku juga mengalami hal yang sama padamu. Tapi syukur, kau masih punya ayah. Kalau aku tidak punya siapa pun."
Raka dan Bambang pun terdiam seribu bahasa dalam hal ini. Mereka yang selalu mengeluh kalau masuk kamar, sekarang mendapat pukulan keras, bahwa hidup mereka adalah kehidupan yang orang lain inginkan. Namun, kami tidak seberuntung mereka.
Besok pagi, kami akan mendapatkan sebuah seragam yang bagus, loreng dan menjadi bintara sesungguhnya. Latihan itu akan terasa lebih terasa ketika pakai seragam dinas, aku menunggu akan hal itu. Karena selama ini kami hanya menggunakan pakaian hitam dan putih saja.
Hari-hari yang aku jalani di dalam Batalyon 3 memang mengundang banyak pengalaman. Di sinilah mentalku ditempah habis-habisan dan bagaimana dalam menyikapi orang-orang belum dikenal sama sekali.
"Sekarang sudah selesai, kita kembali ke asramah, yuk," ajak Bambang.
"Ya, kita akan kembali. Karena besok kita akan latihan fisik dan bela diri. Aku enggak tahu bagaimana jadinya aku kalau tak tahu pelatihan itu," jawab Raka.
"Oh, ya, nama kamu siapa?" tanyaku pada orang yang tadinya berteman.
"Nama aku Rohim Kusuma Siregar," jawabnya.
"Baiklah, salam berkenalan dan semoga kita bisa jadi teman baik."
Kami menjabat tangan dan ingin kembali ke dalam asramah masing-masing. Ini adalah sistem pertemanan paling singkat dalam sejarah manusia, karena hanya bertemu sekian menit selebihnya latihan.
Seraya memasuki koridor, lengan tanganku ditarik seseorang. Lalu, aku berhenti. 'Ini siapa yang menarik tanganku, ya?' tanyaku dalam hati.
Bersambung ...
