3. Komandan Reza Aprilio
Setelah apel malam, kami pun dipersilakan untuk mask kembali ke dalam asramah dan memulihkan tenaga pasca latihan untuk esok hari. Di dalam kamar yang berjumlah sedikitnya dua orang, akan tetapi ada juga tiga orang, kami masih bergeming di atas dipan.
"Apakah badan kalian tidak sakit semua?" tanya Raka Lesmana.
"Ya, sakit, sih. Namanya kita manusia bukan robot," sergah Bambang Harianto.
"Hmm ... pundak aku, sakit banget sumpah. Tapi mau gimana lagi, di sini enggak ada tukang pijat badan, kan, ya!" imbuh Fikram memekik.
Dalam pembahasan kali ini, aku hanya terdiam seribu bahasa. Banyak hal yang telah terpikir dalam benak. Salah satunya adalah, rasa tidak percaya berada di titik ini. Aku yang berasal dari orang tak punya, dan masuk bermodalkan nekat saja.
Menjadi perajurit adalah impianku sejak lama, merasa kagum pada seorang tentara angkatan darat setelah melihat siaran televisi di sebuah kegiatan sosial paca Tsunami Aceh.
Aku pun pernah mendapatkan bantuan itu waktu duduk di sekolah dasar. Para tentara yang menolong adalah orang-orang berhati baik, berseragam loreng dan sangat membuat diri ini merasa tergugah ingin menjadi seperti mereka.
Tak terasa, air mata menetes seiring berjalannya waktu. Bagai cendawan di musim semi. Jatuh ke atas daun, tetapi hilang karena itu adalah daun talas. Begitupun dengan diri ini, perlahan ingin mengatakan aku LULUS seperti yang mereka utarakan pada orangtua.
Akan tetapi, aku sudah tidak punya orangtua lagi yang dalat di hubungi. Bahkan, sebagian dari mereka telah kedatangan ayah dan ibunya walau sekadar mengintip dari luar asramah. Sementara aku, hanya membayangkan mereka dari dalam mimpi.
Lamat-lamat, kedua sahabatku datang menemui dan duduk di samping kanan serta kiri. Di situlah aku menyibak bulir bening yang ke luar dari mataku.
"Kau menangis, Jhon?" tanya Raka.
"Tidak, aku tidak menangis," jawabku.
"Kalau kau tidak menangis, kenapa ada air mata di pipimu?" tanya mereka lagi.
"Ini adalah keringat, aku tidak punya air mata sekarang. Yang ada adalah diriku adalah darah, bukan air mata!" pekikku seraya menoleh kanan dan kiri.
Melihat semangat itu, para sahabat pun terdiam seribu bahasa. Ada satu orang yang tidak bergabung, dia adalah Bambang. Salah satu dari tim kami yang tampaknya sangat manja, dia malah menutup wajahnya menggunakan bantal.
Suara isak tangis terdengar darinya, karena di asramah sangat sunyi, sehingga terdengar masuk ke dalam telinga kami.
"Bambang, kau menangis?" tanya Raka Lesmana lagi.
"Aku rindu pada ayah dan ibuku," jawabnya.
"Manja!" kataku.
Mendengar ucapan itu, Bambang pun membuka bantalnya dan dia menoleh ke arahku. Tak lama setelahnya, sang sahabat mendekat dan langsung mencengkeram kerah ini.
"Apa kau bilang, aku manja?!" pekiknya ngegas.
"Ya, kau manja!" imbuhku.
Bambang mengepal tangannya dan ingin melayangkan tangannya ke wajah ini. Tiba-tiba, kedua sahabat lainnya menyergah aksi tersebut.
"Wes-wes! Kalian jangan berantem, ini asramah. Kita adalah satu tim. Kekompakan kita dilatih di sini, jangan pada keras kepala," kata Raka.
"Sudahlah, kalau kau masih mau menangis, apadaya aku yang tidak punya orang tua. Siapa yang mau aku tangiskan," jawabku spontan.
Mendengar ucapan itu, ketiga sahabat pun diam. Suasana menjadi sangat hening. Tadinya ribut, bahkan Bambang pun lemah setelah mendengar tidak adanya ayah dan ibu dalam hidupku.
Mereka duduk di lantai, kali ini forum pembahasan terbuka telah kami lakukan.
"Aku terlahir dari anak seorang janda, entah ke mana ayahku berada. Bahkan ketika aku lahir saja wajahnya tak pernag terlihat. Ibuku, janda dan tak mau menikah lagi, aku rasa semua beban kalian tidak seberapa," jawabku mengimbuh.
"Lalu, kau ke sini uang dari mana, Jhon?" tanya Bambang menurunkan nada suaranya.
"Rumah ibu yang dijual oleh Paman, sebagiannya diberikan padaku." Kemudian aku mengambil uang seratus ribu dari dalam kantong dan dengan hentakan aku meletakkannya di atas meja. "Ini adalah uang satu-satunya yang aku miliki saat sekarang, sudah habis semua!"
Para sahabat tercengang, mereka pun saling tukar tatap. Sekarang mereka tahu kenapa aku lebih memilih diam daripada banyak bicara, karena semua ini adalah jalan yang telah ditentukan.
Ketiganya menemuiku dan mereka memeluk tubuhku yang lebih kecil dari mereka semua, akan tetapi aku memiliki semangat lebih besar di bandingkan mereka.
Dari luar pintu kamar, terdengar seseorang yang melintas dan melayangkan pukulan di jendela dan permukaan pintu.
Gubrak!
"Sudah malam! Istirahat! Kalian masih ngobrol di dalam sana!"
Barulah kami bergegas mematikan lampu asramah dan tidur dalam balutan selimut. Tidak ada suara sama sekali, curhatan telah berhenti dan kami saling berada dalam ranjang masing-masing.
Menjelang waktu subuh, semua para lulusan tentara muda ke luar dari dalam asramah dan bergerak menuju tempat untuk mandi. Tidak banyak dari mereka adalah orang yang lebih dulu bangun adalah orang yang akan melaksanakan salat subuh.
Aku bersama para rekan yang lainnya berlari menuju tempat untuk mandi. Badan terasa remuk redam setelah seharian ini tak pernah ada diamnya, ke sana dan ke mari banyak kegiatan. Dengan membawa baju kotor, aku hanya memakai handuk saja.
Karena kami bangun lebih awal, sehingga tidak ada yang mandi di ruangan tersebut. Awalnya aku selalu berpikir kalau kami mandi sendiri-sendiri. Ternyata tidak, shower itu berjumlah empat dan kami harus telanjang keempatnya selaligus.
Walaupun laki-laki, aku masih punya rasa malu dan tetap memakai celana dalam ketika mandi. Sementara Raka, Fikram, dan Bambang tidak memakai apa pun sebagai penutup badan mereka.
Setelah mandi, aku melintasi koridor ruangan dan membawa baju kotor ke dalam asramah lagi. Berjarak tidak jauh dari lokasi saat ini, kami tak tahu kapan waktu yang tepat ketika mencuci pakaian.
Beberapa menit setelahnya, seseorang mengetuk pintu kamar kami. Aku pun membukanya dengan cepat, ternyata Antonio yang datang seraya menenteng sesuatu.
"Hai, selamat pagi," ucapnya.
"Nio, kenapa kau datang ke kamar kami? Kalau komandan tahu, pasti kau akan kena marah," jawabku.
"Tidak masalah, paling kalau kena marah disuruh push-up seratus kali. Itu udah biasa buat aku. Ini, baju untukmu," titahnya seraya memberikan baju padaku, dia menyentuh pundak kanan ini.
Melihat hal itu, ketiga sahabat yang sedang menyisir rambut malah bergeming dari aksi masing-masing. Mereka berdiam dan menatap mantap ke arah kami sedang berdialog.
"Cepat pakai, karena sebentar lagi kita akan apel pagi, dan kau harus rapi. Ingat, jangan pernah terlambat. Aku enggak mau kalau kau kena hukum, dengar?!" sergah Antonio.
Tanpa menjawab, aku pun mengangguk dan mengambil sodoran darinya. Dengan kencangnya, lelaki berbadan tinggi itu berlari meninggalkan pintu kamar kami, dia melintasi taman kecil di pesisir asramah.
Aku kembali masuk dan memakai baju dan celana sodoran darinya, kali ini terlihat masih baru. Sementara para sahabat yang terheran itu pun seperti ingin berkata, akan tetapi tertahan.
Bambang pun datang menghampiri, dia menyiku lenganku. "Bro, tadi itu siapa?" tanyanya sangat kepo.
"Di-dia, dia adalah Antonio Kristiano," titahku terbata-bata.
"Siapa Antonio itu? Saudaramu bukan?" tanyanya lagi.
"Bukan, dia satu angkatan dengan kita. Tapi aku cuma kenal dengannya saat seleksi, orangnya baik banget sampai membawakan aku baju seperti ini," jawabku.
"Kami kira, dia adalah saudaramu atau kakakmu. Tapi, kenapa anak itu baik banget sama kamu, ya, Jhon?" tanya Raka Lesmana.
Mendengar pertanyaan itu, aku pun merasa kagum pada Antonio yang hadir bagai pangeran dalam hidup ini. Tidak ada satu pun di asramah yang peduli, bahkan mau berteman baik selain Antonio. Dia adalah laki-laki pertama yang aku kenal bagai seorang saudara, bahkan dia sempat berkata menyesal tidak satu kamar padaku.
Kali ini sudah rapi, bunyi serunai pun telah berkumandang dan itu tandanya para perajurit harus berada di lapangan sebelum waktu habis. Dengan cepat, aku berlari bersama ketiga sahabat lainnya.
Kami yang sudah siap sejak lama, berkumpul untuk melaksanakan apel pagi. Setelah itu barulah sarapan seadanya, dan ini adalah hari pertama untuk mengikuti kegiatan menembak sesuai dari jadwal. Aku tidak tahu bisa atau tidak, karena kalau tidak bisa akurat menembak akan kena hukuman.
Menduduki peringkat satu saat seleksi pertama kali bukan kebanggaan bagiku, ada beban terselip di sana yang menuntut aku harus sempurna. Namun, aku tidak memaktorkan kalau diri ini sempurna, karena aku juga manusia biasa.
Setelah berbaris rapi, Antonio menoleh ke arahku berjarak tidak shaf dari samping kanan. Wajahnya yang tampan, dan kedua bola matanya yang sipit itu seperti chinese mampu membuat lirikannya tembus ke ulu jantung.
Sesekali aku mengangguk ringan, seraya mendengarkan aba-aba dari para komandan di hadapan kami. Entah kenapa, sejak awal datang sampai saat ini, Antonio tak henti-hentinya melirik ke arah sini.
Sekarang aku fokus mendengarkan, tidak ada main-main lagi. Karena sedikit saja terlambat mendengarkan pemberitahuan, maka akan berdampak fatal untuk pembelajaran.
"Baiklah, kami akan berikan waktu satu menit dan silakan masuk ke dalam ruangan untuk mengambil senjata dengan urutan nama masing-masing. Lakukan ...!" teriak sang komandan.
Kami menghambur teratur, meninggalkan area lapangan dan bergerak menuju ruang penyimpanan senjata laras panjang. Sesuai dengan urutan nama, bukan dari abjad yang di mulai dari A. Aku mengambil lebih awal dan langsung membawanya kembali menuju barisan.
Sementara yang lainnya belum datang, apalagi Antonio yang berada di urutan paling akhir. Satu persatu, perajurit pun datang seraya membawa senapan masing-masing. Di lapangan yang sudah ada sebuah titik target untuk menembak, kami di hadapkan dengan lingkaran yang berjarak lumayan dekat.
Pagi ini kami hanya berlajar teknik ketika memegang senanpan yang baik, dan menentukan target menggunakan teropong kecil di senapan itu. Aku yang semula mengira kalau senapan itu ringan, sekarang terbayar lunas.
Ternyata senapan ini sangat berat, sehingga membuat pegal tangan kalau lama-lama memegangnya.
"Itu adalah senjata kalian sampai nanti dilantik menjadi anggota pertahanan. Jangan sampai salah letak, dan jangan sampai hilang. Karena kalau kalian menghilangkannya, bergeriliya menggunakan bambu runcing saja," ucap Komandan Satria.
"Siap, Komandan!" teriak seluruh perajurit.
Satu persatu dari kami berjajar rapi. Mencoba melihat target yang susah ditentukan titik tumpunya, baru kali ini aku memegang benda tersebut. Saking takutnya salah target, tangan ini malah gemetar.
Antonio terlihat biasa saja dari samping ketika memegang senjata, dia yang terlahir dari anak seorang kopassus itu darahnya telah mengalir menjadi sniper. Sedangkan aku hanya anak seorang petani, kutivasi wanita kuat yang ada di wilayah persawahan.
"Apakah kau sudah siap, Jhon!" ucap Komandan Reza yang datang tiba-tiba.
"Komandan," jawabku, fokus ini hilang sejak dia datang, dan aku meletakkan senapan di samping kanan.
"Ayo, angkat lagi, biar saya bantu," katanya, lalu dia membuat posisi yang nyaman padaku.
Tepat berada di belakang badan, Komandan Reza pun mendekatkan wajahnya tepat di pipi kanan ini. Sekarang lebih dekat, membuat orang-orang di sekitar menatap ke arah kami. Mereka merasa kalau Komandan Reza adalah peringgi paling humble di antara yang lainnya.
"Ini salah, tangannya jangan terlalu dekat dengan tropong. Nanti target bisa tidak fokus tiba-tiba, sekarang saya gerakkan ke sini, maaf," ucapnya.
Tangan kiriku dipegang oleh Komandan Reza dan dia menoleh ke wajah ini. Tatapanku fokus pada wajahnya yang mulus itu, tidak ada jerawat sama sekali. Dia adalah sosok ayah terbaik untuk semua perajurit muda.
"Apakah kau sudah paham, Jhon?" tanganya lagi.
Tanpa menjawab, aku mengangguk karena sejak tadi hanya memerhatikan wajahnya yang tampan dengan lesung pipi di wajahnya. Sungguh indah pahatan Tuhan, sampai membuat dia sempurna tanpa ada celah.
"Pa-paham, Komandan," titahku terbata-bata.
"Paham apa, Jhon? Kan, dari tadi kamu melihat wajah saya," sergahnya.
Mendengar ucapan itu, aku pun malu-malu dan kembali menoleh sejurus ke depan target. Kali ini dia mengajari lagi dengan teknik yang sama, aku pun tidak main-main kali ini meski ada getaran aneh terletak di dalam jantung.
Kemudian, Komandan Reza pun memposisikan badan ini sangat siap siaga dan tidak ada pergerakan sama sekali. Aku mengikuti ketika dia menyentuh pinggang dan paha ini, kemudian dia juga menyentuh dadaku agar busung ke depan.
"Nah, sekarang sudah pas. Kau adalah perajurit paling kecil di antara yang lain, tapi paling gampang diarahkan," ucapnya memuji.
"Benarkah, tetapi di sana banyak yang lainnya. Tuh, Antonio sudah berhasil membentuk pola sempurna dari posisi seperti kita," jawabku.
"Dia adalah anak dari kopassus terkenal di batalyon 3, kau tidak perlu menirunya. Semua orang punya cara tersendiri saat membidik, ini perihal ke-fokusan kita terhadap target, sekarang paham?" tanya Komandan.
"Siap, paham!" jawabku.
"Jhon, ini saya bukan yang lain. Kalau menjawab, biasa saja." Dengan senyum cengengesan, komandan pun menyentuh pundakku dua kali. "Sekarang, fokus latihan lagi dan saya perhatikan dari samping. Good luck," ucapnya.
"Baik, Komandan," jawabku.
Karena komandan Reza sudah berada di samping dengan memberikan pengarahan pada yang lainnya, aku pun mempraktikkan dan mencari titik target yang pas. Meskipun belum mendapatkan peluru untuk menembak, ini adalah latihan yang lumayan mengasa otak.
Yang tadinya sangat susah fokus, sekarang aku dapat menentukan di mana titik itu berada. Pembelajaran yang langsung diberikan oleh Komandan Reza begitu baik, aku sampai traveling ke wajahnya di kala sedekat itu ketika menatap.
Sekarang dia memerhatikan saja, membuat aku malu dan tak tahu harus berbuat apa. Selain memegang senapan dan membiasan diri pada latihan seperti ini. Tak berapa lama, Antonio menyiku lenganku.
"Jhon, apakah kau sudah paham?" tanyanya.
"Sudah, Nio. Ta-tapi, aku belum bisa menentukan target dengan pas ketika melihat pertama kali," jawabku sekenanya.
"Enggak masalah, nanti juga kau paham. Oh, ya, selepas istirahat aku main ke asramah kalian boleh," katanya lagi.
"Kalau tidak ada masalah ya silakan aja, Nio. Kan, kami enggak melarang siapa pun," jawabku.
Bersambung ...
