Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Sistem Baru

Seharian ini, kami sedang berada di tengah lapangan yang baru saja mendapatkan pengumuman dari seorang petinggi dari angkatan darat. Dia adalah Komandan Satria, berbadan kekar dan baru saja memberikan penghargaan pada kami sebagai angkatan Bintara lulusan tahun ini.

Wilayah tempat aku berpijak ini adalah kali pertama dalam sejarah tempat seleksi paling ditakuti oleh siapa pun, bahkan kebanyakan dari mereka merupakan anak dari panglima, jendral, brigadir, pegawai negeri sipil, dan lainnya.

Sedangkan aku hanya anak seorang petani, itu pun lahir tanpa ayah yang jelas. Sampai saat ini, aku tak pernah tahu siapa ayahku, dia merupakan orang berkebangsaan Portugis akan tetapi telah lama menetap di negara ini.

Mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, dan kabarnya dia sempat terlibat berbagai organisasi terkenal. Namun, sang ibu mengatakan kalau ayahku adalah seorang pengusaha, dia berada di negaranya saat hamil sekitar empat bulan.

Sementara ibu sudah tidak ada, karena aku adalah anak yatim dan kematiannya sudah aku saksikan sendiri beberapa bulan lalu. Berkat dari rumah yang dia punya, serta beberapa persawahan, akhirnya membantu aku untuk masuk seleksi Bintara tahun  ini.

Sekarang sudah dinyatakan lulus, akan tetapi sampai saat ini aku belum percaya seratus persen. Banyak anak-anak lainnya berbadan kekar dan tinggi tidak lulus seleksi, kemungkinan sudah jalan dan takdir Tuhan.

Dengan berbekal uang yang hanya ada seratus ribu, itu pun diberikan oleh Komandan Reza Aprilio selaku orang paling berpengaruh dari kopassus. Aku kenal dia tidak sengaja, di usia mudanya sudah menduduki jabatan bagus dan sangat membuat siapa pun ketika menatap menelan ludah.

Bukan karena seram dan mengerikan. Akan tetapi ketampanannya yang mampu membelah tujuh benua dan tujuh samudra. Aku pun sempat menganggap dia layaknya seorang abang, akan tetapi hanya anggapan fana di dalam hati.

Kali ini terik matahari mulai menyingsing, memboyong udara yang lumayan dingin dan rembulan pun datang dengan cepat. Hari pertama ketika menginap di dalam asramah, ini adalah kamar paling populer berdasarkan peringat pengumuman.

Aku tidak tahu sistem di tempat ini, karena malam pertama yang lumayan nyaman, dan aku mendudukkan badan berdekatan orang yang tidak aku kenali sebelumnya.

"Hai, apakah kau yang bernama Jhon?" tanya salah seorang dari mereka bertiga.

"I-iya, aku adalah Jhon. Kalian siapa?" Aku bertanya balik.

"Aku adalah Raka," jawab salah satunya.

"Kalau aku adalah Bambang," jawab yang satunya lagi.

"Dan aku, adalah Fikram. Aku tidak menyangka kalau satu kamar dengan si peringkat satu tahun ini. Karena ... yang aku tahu kalau kami tidak mungkin bisa sepertimu."

"Biasa saja, aku bukan apa-apa tanpa doa orangtuaku. Walaupun sekarang—"

"Sekarang apa, Jhon?" tanya mereka serempak.

"Walaupun sekarang kedua orangtuaku sudah tiada," sambungku.

Mereka pun terdiam mendengar pengungkapan ini. Aku tidak bermaksud membawa mereka pada sebuah permasalahan keluargaku, apalagi curhat perihal kesedihan. Ini adalah jalan dari Tuhan, dan aku akan selalu mendengarkan kata hati sesuai kata dari ibuku.

Ketika kami sudah mandi, malam suara azan pun terdengar dari luar asramah. Orang-orang mengenakan sajadah di leher dan membawa sarung. Aku hanya ada celana keper, itu pun pemberian dari Antonio. Kami berpisah kamar, sampai saat ini aku tak tahu dia di mana.

Namun, karena Antonio beragama Kristen, kemungkinan kami tak akan pernah bertemu di dalam musholah yang ada di dalam batalyon ini. Dengan langkah laju, kami pun tiba di dalam musholah dan muat untuk semua orang beragama muslim.

Semua yang ada di dalam sini sangat terlihat anak-anak orang kaya, akan tetapi aku tidak tahu dari mana asal mereka semua. Setelah sang imam membacakan surah al-fatihah, aku melihat sosok ibuku di dalam pergerakan salat. Namun, mendadak hilang sejak seseorang datang dan menyentuh badan ini.

Konsentrasiku hilang, sejak kehadiran lelaki berbadan tegap bergeming di posisi shaf nomor tiga. Aku tidak peduli padanya, walaupun dia menoleh dengan tatapan sinis. Setelah selesai salat, kami bubar dari dalam musholah dan mendapatkan pengumuman makan malam.

Sebelum kami masuk ke dalam ruangan itu, tidak lupa agar berkumpul di depan teras dan yang memimpin adalah orang paling dulu ada di asramah itu. Lalu, mereka memberikan sebuah pengetahuan terlebih dahulu dan kami mendengarkan.

"Silakan masuk, di mulai dari barisan paling kanan. Ingat, rapi dan segera mengambil apa yang kalian ingin makan!" teriak seorang lelaki berseragam loreng itu.

Aku berjalan bagai anak bawang di tengah kerumunan orang-orang berwajah sangar. Tidak ada satu pun yang aku kenali, selain Antonio saja. Sementara Komandan Reza belum ada di sini, mungkin dia sudah pulang ke rumah.

Setelah masuk, kami pun mengambil piring dan aku mendapatkan jatah makan yang lumayan banyak lauknya. Tiba-tiba, ketika kaki ini melangkah di samping koridor, para tentara yang merupakan lebih dulu di sini mencegahku.

"Berhenti!" katanya.

Aku pun berhenti, kemudian menoleh. "Ada apa, ya, Bang?" tanyaku.

"Kau mau ke mana?" tanyanya lagi.

"Aku mau ke belakang, karena bangku sudah tidak ada lagi," jawabku sembari menolehnya sebentar.

Kemudian aku berjalan dan ingin pergi, ketika dua tapak kaki ini beranjak, seseorang pun memberhentikan lagi langkah ini. Sekarang berjumlah dua orang, mereka berwajah sedikit sangar.

"Kau tidak dengar apa yang sahabat aku katakan! Kalau dia belum menyuruh pergi, kau jangan pergi dari sana, paham!" pekiknya ngegas.

"Paham, Bang!" jawabku tegas.

Kedua lelaki berkaos loreng itu bangkit dari bangkunya, lalu mereka bergeming di hadapanku. Lamat-lamat, mereka pun menyentuh baju ini dan menatap dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Aku menarik napas panjang, sementara yang lainnya tidak ada yang peduli.

Ada pun yang peduli, akan tetapi hanya diam dan melirik saja. Lamat-lamat, salah satu dari mereka mengambil piring yang saat ini aku bawa. Karena sudah sangat lapar, aku pun tetap menariknya agar tidak diambil.

"Bang, tolong jangan mengambil makanan milikku!" ucapku ngegas.

Mereka malah tepuk tangan, kemudian mereka tersenyum dan merasa menang. Sementara yang lainnya hanya dian melihat aku mendapatkan trapi mental luar biasa di malam pertama, karena yang lainnya tidak merasakan apa yang aku rasakan.

"Berani melawan dia," ucapnya lagi.

Dengan merebut paksa, mereka berhasil mengambil makananku di dalam piring. Lalu, mereka pun menarik lengan ini agar memutar seratus delapan puluh derajat. Aku menatap depan lagi, dan di sana ada seorang lelaki pertama dalam memberhentikan langkah.

"Silakan, kau ambil lagi nasimu di sana," katanya.

Aku berjalan menuju tempat pengambilan makan malam, satu persatu tempat nasi kutatap dan tak ada sisa. Hanya ada sayur dan sambal yang terlihat sangat pedas. Ruangan ini seolah menjadikan aku budak dari kultivasi tahan lapar, ternyata sistem rimba berlaku di Batalyon 3.

Rasa kecewa pun hadir, aku mengambil sayur saja dan bergerak menuju posisi belakang dengan beda koridor. Kali ini mereka berhasil melucutiku, bahkan tertawa penuh kemenangan di sana. Namun, aku tidak peduli dan bersikap santai saja.

Setelah duduk, seorang lelaki satu angkatan memberikan aku nasi di dalam piring. "Apakah kau lapar?" tanyanya.

Seketika kutoleh dia, "tidak begitu. Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku.

"Tidak apa-apa, anggap aja kalau ini nasi dari Tuhan. Semua anggota berhak makan di sini, dan kau juga," jawabnya.

Tanpa menjawab, aku pun menatapnya yang mulai menyunyah sisa sayurannya. Aku langsung makan malam, sebelum akhirnya satu persatu perajurit di dalam ruangan ke luar dan kembali ke asramah.

Kali ini, aku berjalan sendirian, lalu datang seseorang dari samping. Dia adalah Antonio, menyiku lengan ini dan dia berhasil membangkitkan minatku untuk tersenyum semringah.

"Jhon! Kau kenapa tadi?" tanyanya.

"Aku tidak apa-apa, Nio. Hanya sedikit kesal saja," jawabku sekenanya.

"Sabar, ini adalah awal kita yang merupakan anak baru. Lama-lama, nanti juga terbiasa," katanya memberikan semangat.

"Iya, aku sudah terbiasa hidup seperti ini, kok, Nio. Oh, ya, apakah kau berada di asramah yang satu deretan paling depan itu?" tanyaku lagi.

"Enggak, asramah kami paling belakang. Kan, di sana hanya orang-orang yang masuk rangking 10 besar. Kau adalah salah satunya," kata Nio.

Kali ini kami berpisah di sebuah jalan yang terbelah dua. Aku ke kanan, dan Antonio ke kiri. Walau begitu, kami sama-sama pada tujuan utama yaitu asramah. Malam yang penuh dengan bintang, kemerlap alam semesta seakan senyum padaku.

Setelah berjalan sendirian, tibalah aku di dalam asramah dan para sahabat telah ada di sana. Kami belum diperbolehkan pegang ponsel, karena harus fokus belajar dan berlatih.

Ketika aku masuk, para sahabat pun bangkit dari lantai dan duduk menemuiku. Mereka mendekat, dengan memasang wajah heran.

"Kalian kenapa menatap aku seperti itu?" tanyaku pada mereka.

"Jhon, yang harusnya bertanaya itu kami. Kau kenapa tadi di ruang makan?" tanya mereka balik.

"Ak-aku, aku tidak kenapa-napa," jawabku.

"Lalu, kalau kau enggak kenapa-napa, mereka berbuat seperti itu bermotiv apa?" tanya Raka.

Dengan menaikkan kedua pundak, aku pun tidak menjawab sama sekali apa yang sahabat pertanyakan. Sampai saat ini, aku tak merasa punya musuh atau pun salah dalam berprilaku. Tiba-tiba saja, mereka memperpakukan aku seperti itu.

Sudahlah, nungkin ini adalah reflesksi mental menjadi seorang angkatan. Aku tidak akan baperan atau pun takut, karena dapat membunuh karakter diri ini sendiri nantinya.

"Sudahlah, jangan bahas itu lagi. Sekarang ... kita akan fokus besok, karena latihan akan segera di mulai," ucap Fikram.

"Tapi aku tidak yakin kalau bisa ikuti semua perintah dari Komandan, banyak sekali yang harus kita pahami," sergah Bambang ngegas.

"Itu adalah pilihan kita, Bambang. Lagian ... ada sebuah hal perlu kita pahami, kita ini lulusan terbaik, pasti mata mereka akan tertuju pada ruang kamar kita," imbuh Raka mengulas.

"Apakah semua itu dilihat dari prestasi awal. Bukannya, semua yang lulus di sini adalah orang-orang berprestasi?" tanyaku.

Mereka terdiam, karena ini adalah pertama kali kami pahami sistem mengerikan Batalyon 3. Namun, aku masih penasaran akan kehidupan di sini, yang katanya sangat mengerikan lebih dari hukum rimba. Meskipun di malam pertam aku sudah di tandai oleh orang lebih tinggi jabatannya, aku tidak gentar sama sekali.

Beberapa menit setelah berkata, suara azan kembali berkumandang. Kami yang berada di dalam kamar asramah kembali ke luar dan berlari sangat kencang. Pasalnya, peraturan di sini juga ketat akan keagamaan.

Kami pun mencari tempat untuk ambil air wudhu, satu persatu masuk ke dalam musala dan langsung merapatkan shaf. Aku kembali mendapat shaf nomor tiga, sudah seperti menjadi langganan.

Beberapa menit setelah salat, kami pun berdoa masing-masing. Aku mengirimkan sebait fatihah pada almarhum ibuku, dan pada ayahku yang tidak tahu di mana rimbanya. Lalu, sebait fatihah untukku sendiri.

Doa pun selesai, aku membuka mata dan orang-orang tidak ada satu pun di dalam musala. Lalu, aku ke luar dan bunyi serunai sangat menggema di lubang telinga kami. Itu tandanya, semua perajurit akan melakukan apel malam.

Antonio yang berlari dan dia bergerak dari kamarnya, menemuiku. Kali ini dia berbaris di sampingku, kami menjadi sangat dekat dalam waktu singkat. Malam ini mampu membuat aku sangat nyaman, akan tetapi tidak tahu dengan kehidupan kami setelahnya.

"Apakah kau sudah selesai salat, Jhon?" tanya Antonio.

"Sudah, Nio. Kau di mana saja tak pernah kelihatan kalau siang," jawabku.

"Aku di dalam kamar, paling kalau latihan baru ke luar. Saat kalian salat, kami juga ada di dalam kamar," jawabnya berbisik.

"Kamu! Yang berada di barisan shaf ketiga, maju ke depan!" teriak seorang komandan.

"S-saya, Komandan?!" tanya Antonio.

"Iya, siapa lagi kalau bukan kau. Apakah ada pocong baris di sana?!" pekiknya.

Akibat percakapan kami tadi, Antonio pun mendapat panggilan oleh sang komandan. Kami yang terbilang masih baru tidak tahu peraturan saat baris, malam ini kami paham sedikit.

"Sekarang push-up seratus kali!" pekik sang komandan di samping Antonio.

Sang sahabat pun push-up dan dia sesekali melirik ke arahku. Padahal kami berdua bersalah, malah hanya dia yang maju. Antonio merupakan orang yang paling hebat kalau push-up, dia tahan sampai ratusan kali.

Saat itu, aku menelan ludah dan tidak mampu menatap. Karena keringat sang sahabat telah ke luar membasahi badannya. Setelah sampai seratus kali, komandan mepersilakan dia baris di sampingku.

Napasnya ngos-ngosan, membuat aku merasa kasihan. Lalu, Antonio menoleh le arahku. Dia mengedarkan senyum manis dan kali ini fokus. Pengarahan pun usai, kami sudah boleh pergi dari lapangan.

"Nio, apakah kau lelah dengan hukuman tadi? Aku mau minta maaf, gara-gara aku kau kena imbasnya," ucapku.

"Ah, santai aja kali. Kau tidak bersalah, kok, aku yang mungkin bicaranya terlalu kuat. Santai aja kali, Jhon,"

"Nio, apakah kau sudah punya baju untuk latihan besok?" tanyaku lagi.

"Ada, kalau kau ada enggak?"

Tanpa menjawab, aku menggelengkan kepala saja. Sementara baju yang sekarang aku pakai adalah milik Antonio, ini sudah sangat bau kalau harus dipakai lagi besok.

"Besok pagi temui aku di kamar mandi, pasti akan aku berikan baju yang enggak aku pakai. Oh, ya, kalau bisa subuh-subuh," ucapnya.

"Ta-tapi, aku enggak mau membuat kau repot, Nio. Sudah banyak bajumu yang aku pakai saat ini," jawabku.

Nio pun mendekap pundak ini, dia seperti telah lama kenal dengan aku. "Kau jangan sungkan-sungkan, aku akan melakukan apa pun asal kau bisa tetap di sini."

Bersambung ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel