1. Seleksi
"Kamu, silakan maju!" teriak seorang komandan yang ada di dalam ruang gelap milik Batalyon 3.
Satu persatu para calon perajurit Angkatan Darat dari cabang Bintara menggerompok dan berjajar rapi. Barisan tanpa komando ini tidak banyak dari mereka berbaju loreng, hanya ada tiga di hadapan kami.
Akan tetapi, wajah mereka tidak ada senyumnya dan selalu memasang tatapan sinis. Kami yang kala itu sedang menunggu giliran seleksi, mengembuskan napas panjang berulang-ulang.
Termasuk aku yang sedari tadi hanya memekik tanpa bisa berbuat banyak untuk ke luar. Aku adalah tipe orang yang tidak bisa mendapat tekanan, karena beberapa seleksi di sini seperti menekan calon-calonnya agar bermental baja.
Seraya menatap bawah badan, aku pun merasa sangat malu dengan menunjukkan celana pendekku berwarna putih. Tidak memakai celana dalam, karena ini adalah ketetapan dari para tim seleksi yang merupakan petinggi TNI Angkatan Darat.
Di dalam ruangan ini hanya ada laki-laki, karena berjumlah kurang lebih lima puluh orang. Namun, banyak dari para sahabat berbadan sangat kekar dan sudah layak masuk. Sedangkan aku, sekadar bermodalkan putih dan rapi di bagian gigi.
Orang-orang bilang, ini adalah tahap akhir dari lulus atau tidaknya masuk ke cabang Bintara. Batalyon 3 sangat terkenal akan seleksinya, tidak semua calon bisa masuk ke sini. Bahkan, yang punya orang dalam serta ber-duit banyak pun belum tentu.
Dengan percaya diri, aku mencoba setelah benerapa bulan lalu lulus SMA. Ukuran badanku standar, tidak seperti sahabat yang lainnya karena sudah latihan fisik setiap harinya. Badan mereka berbentuk kotak-kotak layaknya seorang binaraga.
Belum lama berdialog dalam hati, satu persatu dari kami pun berjalan dan menghadap komandan yang sedang membawa buku catatan, memakai baret hijau lengkap dengan senapan laras panjang di sampingnya.
Awalnya aku sudah pesimis bisa lulus, melihat seleksi dari teman-teman yang sudah menghadap tadi. Banyak dari mereka tidak bisa menjawab pertanyaan, bahkan terlihat kedua bola mata sang komandan sangat acuh ketika menilai.
Tepat pada nomor terakhir, sesuai urutan daftar. Seorang komandan pun berdiri dan menatap dari jarak beberapa meter, dia melihat wajahku yang gugup ini dan gemetar hebat.
"Kau! Silakan maju!" teriaknya sangat gagah.
Aku berjalan dengan sedikit berlari, kemudian tibalah aku di hadapan tiga orang yang menjadi ketua seleksi. Mereka cengengesan melihat penampilanku, yang merupakan siswa paling pendek di antara 50 peserta lainnya.
Dengan menarik napas panjang, aku pun mencoba untuk tetap percaya diri kalau bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.
"Siapa nama kamu?" tanyanya.
"Siap! Jhonshon Ericson Macen Cullen!" jawabku ketus.
"Bagus juga nyalimu anak bawang. Siapa orang dalam-mu yang membawa kau masuk sini?" tanya satu lagi dari samping kiri, aku tak tahu namanya siapa.
"Siap! Tidak ada!" kataku tegas.
"Ha-ha-ha ... apakah kau sudah siap untuk kalah. Berdasarkan dari segi badan, kau tidak mungkin lulus, Kisanak. Lihat saja kau, pendek dan begitu tak menarik," ledek salah satu dari mereka.
Kemudian, dua orang komandan pergi dari ruangan. Aku kira hanya sebatas itu saja sistem seleksinya, dengan hati yang sangat sakit aku sudah pasrah kalau akan gagal dan terlempar jauh.
Sementara satu orang lelaki bernama Ferdy membangkitkan badan, dia berjalan ke samping badanku yang mencoba untuk di tegap-tegapkan. Dia berjalan memutar, lirikan mata ini mengikuti pergerakan kedua kakinya.
"Buka celanamu!" katanya.
'What! Buka celana? Apakah dia sudah gila, menyuruh aku untuk buka celana di sini?" tanyaku bermolonog.
"Apakah kau tidak mendengar perintahku? Buka celanamu sekarang!" pekiknya ngegas.
"Siap!" Lamat-lamat, aku membuka celanaku yang sudah turun hampir ke lutut.
Lalu, sang komandan pun berhenti di hadapanku dan membuka seluruh bagian celana hingga terlepas dari badan. Kali ini, aku hanya memakai sepatu kulit berwarna hitam yang telah dibagikan pada panitia.
Sang komandan pun berjalan dekat dengan meja, dia menyandarkan badan seraya mendudukkan badannya di pinggir meja sedikit. Aku menarik napas berat, karena inj adalah hal konyol yang pernah aku lalui.
Benda pusaka milikku pun masih off, karena aku tidak begitu suka mensturbasi atau lain sebagainya. Sehingga, ketika mendapat perlakukan seperti ini dia masih stand bye pada posisi diam.
Sang komandan menatap dengan tajam, dia memulai dari ujung kaki hingga pangkal rambut. Lalu, lelaki itu mengambil senuah rol dari dalam laci. Kali ini, aku memandang depan dan membiarkan dia hendak berbuat apa.
Tak lama setelahnya, komandan itu merogoh ponsel miliknya dan memerlihatkan sebuah video skandal antara anak SMA. Ya, video itu sangat panas sehingga mampu membuat aku menelan ludah.
Tepat di wajahnya, dia pun menayangkan sebuah tontonan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sementara suaranya sangat keras, teriakan dari sang wanita ketika mendapatkak tusukan dari laki-laki.
Lamat-lamat, alat perangku naik dan tegak sempurna. "Apa yang kau rasakan sekarang?" tanyanya.
"Siap! Tidak ada, Komandan!" jawabku.
"Yakin tidak ada?" tanyanya lagi.
Tanpa menjawab, aku hanya diam di tempat. Sang komandan mematikan ponselnya dan meletakkan di dalam kantong kembali. Melihat alat perangku yang naik itu, dia pun menatapnya dan mengukur panjang dari ujung kepala hingga pangkal buah zakar.
"Dua puluh tiga sentimeter, lumayan juga," ucapnya.
Lalu, dia pun menyentuh batang milikku dan mengelusnya hingga beberapa kali. Tangannya bergerilya mengenai ujung kepala dengan diameter lumayan besar, telah mekar sempurna.
"Kau blasteran?" tanyanya.
"Siap! Saya blasteran, komandan!" jawabku.
Sang komandan pun mengangguk, lalu dia menyentuh dua buah zakar yang menggantung di belakang batang. Telah bergelayuh manja dan dia meramas-ramasnya beberapa kali. Aku menahan geli, karena ini sangat mengundang nafsu.
"Ternyata ada dua, pasti ini anak kuat lari," ucapnya pelan.
Aku yang masih menatap depan sejurus, kemudian memekik karena tidak pernah terpikirkan kalau ini adalah bagian dari seleksi. Kemudian, aku melirik ke samping kanan. Sang komandan mengambil buku catatannya, akan tetapi dia tak menulis, justru mengelus benda pusaka miliknya.
Tanpa berani berkata apa pun, terlihat wajah-wajah sangat ingin bercinta datang darinya. Beberapa menit setelahnya, lelaki berseragam itu memperlihatkan pula apa yang sedang dia tutupi sejak tadi.
Kali ini memiliki ukuran yang hampir sama denganku, hanya saja beda panjang. Lebih panjang milikku dan tekstur warna miliknya kecokelatan, sedangkan milikku putih karena aku blasteran.
"Apakah kau mau membantu aku?" tanyanya.
"Bantu apa, Komandan?" tanyaku dengan nada halus.
"Bisa pegangkan punya saja, karena ada yang ingin mendapatkan kasih sayang," katanya.
Aku ingin menolak, akan tetapi tidak mungkin dilakukan. Alhasil, dengan tangan gemetar aku pun mulai menggerakkkan tangan untuk menyentuhnya. Tegangan sempurna itu mampu membuat aku menelan ludah beberapa kali, hanya saja, aku tidak bisa langsung meraba.
Sang komandan pun terdiam, kemudian dia mulai menoleh ke arahku yang masih bergeming. Tepat di dalam ruang gelap, kami hanya berdua menjalani sistem tak masuk akal dalam hidupku selama ini.
Belum pun aku memegang, ternyata suara telapak kaki seseorang terdengar dari luar. Dengan cepat, sang komandan memperbaiki resletingnya yang turun itu.
Sementara aku masih membuka celana, lalu seorang pria datang lagi. Kali ini berwajah sangat kalem, dia juga mengedarkan senyum manis padaku. Akan tetapi, dia juga membiarkan aku berpenampilan tak memakai sehelai benang pun dalam badan ini.
"WOW-ukuran yang lumayan, gila bener ...," ucap lelaki berseraham loreng itu.
"Sudah-sudah, kau bisa pakai kembali celanamu itu," kata Komandan Ferdy.
Dengan mengambil celana, lalu aku memakaimya dan kembali bergeming. Ternyata, Komandan Ferdy ke luar dari ruangan gelap dan aku tinggal berdua dengan lelaki tampan bernama Reza Aprilio.
Sepertinya dia tidak sangar, serta wajahnya tidak juga sange-an. Dengan langkah laju, dia datang dan menenteng buku catatan.
"Jhonson Ericson Macen Cullen," ucapnya.
"Siap! Komandan!" kataku.
"Kalau sama saya jangan pakai ucapan demikian, santai aja dan rileks. Oke, anggap kalau kisa satu usia," katanya.
Aku mengangguk malu, ini adalah orang pertama yang aku temui sangat lembut. Dia juga tak terlalu mau diangkat tinggi pangkatnya seperti yang lain. Karena, aku sudah bisa melihat dari gaya bahasanya.
"Kamu blasteran, ya?" tanyanya.
"Iya, Pak, saya adalah blasteran."
"Kenapa kamu mau masuk jadi perajurit. Kan, di luar sana masih banyak profesi menjanjikan. Contohnya saja Pegawai Negeri Sipil, Aparat Kepolisian, Dishub dan lain-lain."
"Karena ... saya hanya tertarik di dunia militer, ingin membanggakan kedua orangtua saya," jawabku.
"Mereka datang, atau bantu doa dari rumah?" tanya Pak Reza.
Aku bergeming, kemudian tatapan aku buang menuju lantai. Lelaki di hadapanku melirik, dia mendongakkan daguku.
"Kau kenapa? Semangat, ini sudah tahap akhir. Ayo, jelaskan pada saya kenapa kau tampak tidak semangat lagi," paparnya.
"Orangtua saya bantu doa di surga, Pak," jawabku ketus.
Mendengar ucapan itu, sang komandan pun diam. Lalu, dia mengambil catatan dan menulis sesuatu.
"Kalau kau tidak ada orang dalam, atau pun uang yang mumpuni. Mohon maaf, kau hanya bisa mengubur cita-citamu. Apalagi ... kau hanya mampu ditolong oleh doa oranv yang sudah tiada. Baiklah, tetap semangat apa pun keputusannya. Sekarang ... kau bisa tinggalkan ruangan ini."
"Siap! Komandan!" jawabku tegas.
Dengan berjalan sedikit berlari, aku pun ke luar dari dalam ruangan dan menuju ruang ganti. Baju yang aku letakkan di sana sudah berserak, kemungkinan terkena pijak oleh para calon perajurit lainnya yang simpang siur tanpa henti.
Sembari memakai baju berwarna hitam putih, aku berjalan ke luar dari Batalyon 3 dan ingin menuju halaman depan. Karena, di sanalah kami berkumpul. Tepat di depan teras, seseorang menyiku lenganku tanpa sengaja.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucapnya.
"Iya, enggak apa-apa," jawabku.
"Kalau boleh tahu, kamu berasal dari mana?" tanyanya.
"Aku berasal dari Medan," kataku.
"Oh, jauh. Kalau aku dari Jakarta. Di sini, kamu menginap di mana selama ikut seleksi?" tanyanya lagi.
"Aku nginap di rumah kawan, tetapi dia tidak diperbolehkan untuk mengajak temannya lagi. Lalu, aku akan mencoba cari penginapan saja dekat dengan Batalyon ini," jelasku.
"Oh, kalau kau enggak keberatan, boleh kok nginap di kosan aku. Kebetulan, aku sendirian di sana."
Seketika kami berhenti berjalan, aku pun menoleh kanan dan menatap mantap seorang lekaki yang sudah pasti lulus seleksi kali ini. Dari badannya, gaya bahasanya, dan pola pikirnya sangat layak masuk.
"Apakah kau tidak merasa direpotkan? Aku enggak mau kalau nanti ada yang tidak suka," kataku.
"Udah ... jangan kau pikirkan. Yuk, kita baris sekarang."
Tanpa aku kenali dia siapa, sekarang menjadi sangat akrab dan kami membaur bagai orang yang sudah kenal lama. Kami berbaris sama, mendengarkan aba-aba dari para komandan yang sedang berkata-kata.
Jujur saja, aku sudah mengeluarkan biaya banyak untuk ini. Uang yang diberikan oleh para saudara dari hasil donasi, aku daftarkan menjadi AKMIL dan ini belum seberapa jika mendengar dari kawan-kawan lainnya.
Mereka sudah menghabiskan ratusan juta untuk masuk sini, serta orang terdekatnya juga bagian dari kesatuan. Namun, aku hanya memasukkan doa saja yang terselip setiap detik.
Dengan harapan, kalau ini adalah yang pertama menuju jalan terbaik nantinya. Lalu, setelah apel sore digelar, kami baru saja akan mendapat pengumuman beberapa hari ke depan. Hasil itu sudah maksimal, dan tak dapat diganggu gugat.
Bersama dengan Antonio, aku pun ikut padanya menaiki taksi yang menuju ke luar Batalyon 3. Di dalam kendaraan aku hanya terdiam seribu bahasa, menatap langit-langit senja yang mulai memerah.
Tibalah kami di depan kosan yang berderet banyak, di sini banyak juga para siswa dari lain cabang. Ada yang Tamtama, Bintara dan lainnya. Aku masuk ke depan teras, bergeming menatap sejurus ke depan dan membuka sepatu.
"Hai, kau kenapa masih ada di luar. Buruan, gih, masuk. Sebentar lagi waktu azan tiba, apakah kau tak ibadah?" tanyanya.
Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kosan. Dengan mandi bergantian, kami pun membersihkan badan dan beban itu hilang sekaligus. Setelah beberapa minggu ini, kami latihan full di dalam Batalyon.
Namun, sekarang diberikan waktu untuk pulang ke luar hanya beberapa hari menjelang pengumuman. Hari tenang untuk mereka menetukan kandidat dari siapa yang akan lulus.
Setelah makan malam, aku duduk di atas lantai tanpa alas. Dengan menatap ponsel di tangan kanan, dan memerhatikan foto kedua orangtuaku yang telah tiada di alam ini.
Dari samping kanan, Antonio pun datang dan menyentuh pundakku. "Hai, kenapa kau diam saja?"
"I-iya, Ton, aku enggak semangat banget," jawabku.
"Kau tidak semangat kenapa, Jhon?" tanyanya lagi.
"Aku pesimis kalau lulus besok. Karena ... mengingat semua yang masuk ke sini adalah orang-orang yang populer," kataku.
Antonio pun menarik napas panjang, lalu dia mengembuskannya dari mulut.
"Kau kira, karena aku memiliki seorang ayah anggota juga, dapat dengan mudah lulus di sini?" tanyanya balik.
"Paling tidak ada bahan pertimbangan, lah. Kalau aku, hanya berbekal doa, itu pun dari alam yang berbeda."
"Sudahlah ... kalau yang namanya rezeki dari Tuhan itu tidak ada yang tahu. BTW-kau blasteran, ya?" tanyanya penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, aku pun mengangguk beberapa kali. Banyak yang tahu kalau aku adalah blasteran, padahal aku tak pernah mengaku dan justru menyembunykan identitas ini.
Beberapa faktor terlihat jelas, dari banyak hal yang terdapat dari badanku.
"Sudahlah ... kita tidur sekarang, menguatkan mental agar dapat menerima pengumuman besok. Apa pun keputusannya, itu bukan akhir dari segalanya dan masih ada jalan kesuksesan lainnya. Tidak satu menuju ke Roma, ingat itu."
Aku mengangguk, kemudian kami merebahkan kedua sayap. Meskipun aku tak bisa tidur, dan membayangkan akan pengumuman besok.
'Tuhan ... berikan aku kesempatan ini untuk membuat hidupku lebih dipandang ada dalam keluarga. Selama ini, kami tidak pernah mendapat pengakuan dari pihak mana pun. Sesungguhnya, Kau adalah yang Maha Mengetahui alam semesta.'
***
Pagi telah tiba ...
Lamat-lamat, aku membuka mata. Dalam samar, akhirnya membulat akibat cahaya yang sangat terang memasuki kaca jendela. Kicauan burung juga sangat nyaring di dengar, aku menatap arloji di tangan kanan.
Ternyata, pagi ini aku telah telat bangun. Sementara Antonio sudah tak ada lagi di atas dipan. Dengan melompat dari ranjang, aku bergerak menuju sebuah kamar mandi yang ketika kemarin membersihkan badan.
Lamat-lamat, aku membuka pintu yang sudah tertutup itu. Terbukanya pintu, memerlihatkan sebuah penampakan tak lazim di sana. Tepat pada posisi bergeming, Antonio tengah membasuh wajahnya dengan sabun pembersih.
Namun, dia seperti tak tahu kalau pintu kamar mandi sudah aku buka. Sebuah benda yang menggantung di tengah badannya, seolah membuat aku sangat terkejut. Saking syoknya, aku hanya sekadar menelan ludah beberapa kali dan bergeming.
Kali ini aku takut kalau Antonio tahu, dengan cepat aku menutup pintu kamar mandi dengan sangat rapat. Posisi badan ini menempel di pintu, lalu napas berubah menjadi sangat ngos-ngosan dalam bernapas.
Aku yang sudah bergeming, kemudian berdialog dalam hati, 'itu tadi apa, ya? Kok, sepertinya sedang tegang gitu. Enggak-enggak, aku enggak boleh ingat-ingat."
Sembari menyingkirkan badan di atas kursi, aku mendudukkan badan sembari menatap sejurus ke depan. Barulah beberapa menit setelahnya, Antonio membuka pintu kamar mandi.
"Jhon, kenapa masih diam saja di situ. Buruan mandi, bentar lagi kita ke Batalyon untuk lihat pengumuman," ucapnya.
"I-iya, Nio. Ak-aku ... ak-aku ... masih mau bernapas dulu," titahku terbata-bata.
Beberapa menit setelahnya, Antonio bergeming di depan lemari dan dia memilih pakaian. Namun, lelaki berbadan kekar itu membuka handuk sebelum memakai celana dalam. Alhasil, terlihat lagi sosis miliknya yang bergelayuh di sana.
Kali ini aku menarik napas lagi, menelan ludah beberapa kali dan segera memasuki kamar mandi. Penampakan demi penampakan sudah seperti hantu, aku tidak bisa beringsut dari pikiran jorok karena tampak jelas oleh mata.
Di dalam kamar mandi, aku membersihkan badan karena sudah sangat telat. Membasuh seluruh badan menggunakan air shower, dan aku memakai sampo serta sabun milik Antonio.
Setelah selesai mandi, aku pun bergerak menuju depan cermin. Di sana terlihat jelas pantulan sosok diriku yang sudah tak karuhan dalam bersikap. Entah kenapa, beberapa hari ini sangat membuat adrenalin meningkat dan klimaks.
Tidak sekadar di Batalyon, akan tetapi di tempat kosan milik Antonio. Dengan memakai baju kemarin berwarna hitam dan putih, ternyata sudah sangat bau apek dan amis. Bagaimana tidak, latihan demi latihan fisik sudah aku lalui kala itu.
Beberapa detik setelahnya, Antonio datang menghampiri aku yang masih menatap baju kemeja putih. Kali ini warnanya sudah berubah menjadi sedikit kecokelatan.
Seketika sentuhan mendarat di pundakku. "Jhon," panggil Antonio.
Mendengar panggilan itu, aku menoleh menuju wajahnya. "Iya, Nio. Ada apa, ya?"
"Kau jangan pakai baju itu lagi. Ini sudah bau dan nanti akan menggangu yang lain di sana," katanya.
"Ta-tapi, aku sudah tak punya baju hitam putih seperti ini, Nio. Kalau enggak dipakai, aku bisa kena hukuman," jawabku memperjelas.
Antonio membuak tas ransel miliknya, dengan motif loreng seperti pakaian dinas TNI. Karena ayahnya adalah seorang angkatan, dia punya semua yang berhubungan dengan Angkatan Darat.
"Ini, kau pakai saja bajuku yang masih ada. Walaupun besar, ini jauh lebih baik," katanya, seraya menyodorkan padaku.
Dengan rasa malu dan segan, aku mengambil sodoran itu dan memakai baju milik sang sahabat. Akhirnya terpakai sudah, walau kebesaran dan aku menggulungnya. Kali ini jauh lebih baik, karena aku tak percaya akan mendapat sahabat sebaik Antonio.
Kami pun sudah selesai, dengan memakan roti saja sebagai sarapan. Kami ke luar dari kosan dan bergerak menuju taksi. Beberapa orang yang datang dari luar wilayah juga melakukan hal yang sama, kami harus berkumpul pagi ini di lapangan Batalyon 3.
Bersama dengan Antonio, ada lagi satu taksi dengan kami yang merupakan orang di sekitar kosan. Dia adalah anak Bintara juga, kami sempat satu area ketika seleksi kemarin.
"Ya, Tuhan ... semoga aku lulus nanti," ucap Antonio.
"Tuhan ... aku pun ingin lulus juga, semoga semua mimpiku kenyataan," sambung lelaki yang di depan kami.
Aku sudah tidak bisa berkata apa pun. Semua doa sudah terajut sejak detik pertama. Namun, aku tidak percaya kalau bisa tembus melawan mereka yang sudah punya orang dalam.
Kami pun tiba di lokasi lapangan dengan tepat waktu, kemudian kami berlari dan memasuki halaman. Antonio sudah berlari lebih dulu meninggalkan aku. Tanpa sengaja, aku pun menabrak sebuah batu dan terjatuh di sebuah pinggir lapangan.
Brug!
"Aduh ...," kataku meringis.
Antonio tak menoleh, kemungkinan dia tak mendengar kalau aku sedang jatuh. Dengan sekuat tenaga aku bangkit dan mencoba berlari ke barisan. Namun, setibanya aku di barisan paling belakang. Seorang komandan menghentikan langkah.
"Berhenti!" pekiknya.
Seketika aku berhenti, seluruh siswa yang sudah berbari menolehku. Mereka pun menalan ludah karena pasti aku akan mendapatkan sebuah hukuman.
"Sudah berapa menit terlambat!" katanya ngegas.
"Siap! Dua menit, Komandan!" jawabku.
"Bagus, sadar diri kau ternyata. Sekarang, push up sebanyak seratus kali!" serunya.
Tanpa mampu menolak, aku pun push up dan menoleh wajah-wajah di dalam barisan yang tak kukenal satu irang pun selain Antonio. Sang sahabat baru saja sadar, kalau aku sudah mendapatkan sebuah hukuman itu.
Setelah seratus kali push up, akhirnya sang komandan menatap lagi badanku. Lalu, dia memukil dada ini berulang kali.
"Kenapa mata kamu berwarna kuning?" tanyanya.
"Siap! Saya blateran Portugis, Komandan!" pekikku.
"Oh, ada mantan penjajah ternyata masuk ke Batalyon ini. Apakah kau yakin bisa lulus di sini?" tanyanya.
Tanpa mampu berkata, aku hanya menadahkan tatapan menuju rerumputan. Tak berapa lama, datang lagi seorang lekaki memakai pakaian sama dengan Komandan Ferdy. Dia adalah Pak Reza, lelaki penyabar yang kemarin ikut menyeleksi.
Komandan Ferdy pun meninggalkan aku, karena sudah ada pengganti yang kemungkinan akan memberikan hukuman baru.
"Jhon, lain kali kalau datang jangan telat. Kau tidak bisa satu detik pun tertinggal dari waktu. Kalau bisa, datang lebih cepat sebelum waktunya," ucap lembut Pak Reza.
Aku mengangguk, lalu bergeming tanpa ucapan. Pak Reza mendongakkan wajahku, lalu dia mengedarkan senyum.
"Sudah, kau masuk ke barisan, karena sebentar lagi pengumuman akan dimulai," ucapnya.
Kali ini aku berlari menuju Antonio, dia telah menatapku dangan penuh was-was. Sementara di lututku, sudah ada darah yang mengalir akibat benturan bebatuan tadi. Semua menoleh ke bagian itu, akan tetapi tidak ada alasan apa pun bagi komandan.
Dengan bernapas panjang, kami mengarkan apa-apa saja yang sudah diberitahukan oleh para petinggi komando Batalyon 3. Ya, mereka secara bergantian memberikan nasihat serta arahan dalam melihat pengumuman.
Beberapa kertas sudah di tempel di dinding, kemungkinan kalau itu adalah hasil dari apa yang kami tunggu beberapa hari ini. Setelah sang komandan membubarkan, mereka ada yang kembali ke dalam kantor dan ada juga yang duduk-duduk di pos penjagaan.
Bersama dengan Antonio, aku pun berjalan menemui satu lembaran kertas yang berwarna putih dengan nomor lembaran 3. Yang lain sudah tahu kalau mereka lulus dan berteriak. Sementara aku masih meraba kertas itu dan melihat nama.
Dari lembaran tiga, menyatakan peringat 30 sampai 90. Namaku tidak ada sama sekali. Kemudian aku bergerak ke lembaran 2 yang ada di sampingnya. Di sana hanya tertera sekitar 20 nama saja. Rasa percaya diri telah patah lebih dulu. Aku pun mentah karena namaku tidak juga ke luar.
"Nio, apakah nama kamu ke luar?" tanyaku.
Antonio mengangguk, lalu dia menjawab. "Jhon, aku masuk rangking 72. Kalau kau masuk rangking berapa?"
"Sepertinya aku tidak lulus, Nio. Karena nama aku tidak ada di lembaran ketiga dan kedua," jawabku.
"Apakah kau sudah cek dengan benar. Jhon, kita yang lulus hampir 30%, aku yakin nama kamu ada di sana."
"Tapi kenyataannya enggak ada, Nio. Sudahlah, mungkin aku akan segera pulang ke Medan malam ini juga," kataku seraya mendudukkan badan di samping bunga kertas.
Antonio malah mencari namaku di dua lembar kertas itu. Sang sahabat sepertinya tidak percaya kalau aku tak lulus. Namun, kenyataannya seperti itu, dan tidak dapat dipungkiri lagi. Satu lembar kertas lagi belum di tempel, menyatakan peringkat 1 sampai 10 dari ratusan pendaftar.
Rasanya sangat tidak mungkin, sedangkan 100 besar saja namaku sudah tak muncul. Saking patah hatinya, aku pun mengembuskan napas panjang dan duduk dengan sabar.
Beginilah jika hidup tanpa orang dalam, serta uang yang kuat. Maka, akan tersisih oleh alam dan keadaan. Antonio duduk di sebelahku, dia merangkul pundak ini secara perlahan.
"Sabar, ya, Sob. Mungkin rezeki kamu belum tahun ini. Aku pastikan, kalau kau lulus tahun depan," ucapnya.
Mendengar ucapan itu, aku mengangguk. Lalu, kutoleh sang sahabat secara saksama. "Terima kasih, Nio. Kau adalah orang baik, dan semua urusanmu pasti akan tercapai."
Tanpa balas kata, kami hanya diam seribu bahasa. Pasalnya, aku pun tidak bisa berkata apa pun selain ikhlas. Bersama Antonio, kami bergerak dan menyaksikan beberapa siswa lainnya merasa puas dengan pencapaian.
Tepat berada di pos penjagaan, seseorang pun memerhatikan langkahku menuju ke luar gerbang. Sementara yang lulus, sudah diperbolehkan masuk ke dalam asramah dan mendapatkan pembekalan lanjutan.
"Hai," panggil seseorang, dari nada suaranya seperti aku kenali.
Seketika aku memutar wajah, kali ini Pak Reza sedang berdiri tegak. Lelaki yang aku kenal lembut itu pun seakan ingin mengajak berkata.
Aku menghampirinya, mendekat dengan langkah gontai, dan tibalah di depan pos. Tanpa berkata apa pun, kali saling tukar tatap.
"Gimana sama hasil pengumuman itu, Jhon. Apakah kau lulus?" tanyanya.
Tanpa menjawab, aku pun menggelengkan kepala. Lalu, Pak Reza pun turun dari pos dan menarik tanganku. Kami sekarang berada dalam ruangan yang sama, dengan dua orang lagi sebagai komandan.
Dalam posisi diam, aku menatap samping jalan raya di mana pertama kali aku datang ke Batalyon 3. Sentuhan lembut mendarat di pundakku, Pak Reza sepertinya ingin berkata sesuatu.
"Kau harus sabar, Jhon. Mungkin rezeki kamu bukan tahun ini. Kau harus semangat, karena tahun depan masih bisa ikutan lagi," ucapnya.
"Tapi saya tidak yakin bisa ikutan lagi, Pak. Mungkin ... saya akan kembali ke Medan dan membantu paman saya untuk kerja bangunan. Ini adalah mimpi terakhir saya," jawabku.
Salah satu dari teman Pak Reza menoleh padaku, mereka pun sepertinya pernah ada di posisiku, karena tak mau menjawab sama sekali.
"Saya pernah ada di posisi kamu, Jhon. Sudah dua kali saya gagal, dan ketiga kalinya berhasil. Mungkin kau bisa menjadikan ini pelajaran terbaik, karena kau masih muda banget," ucap sahabat Pak Reza.
"Iya, Pak, terima kasih semangatnya," jawabku.
"Hmmm ... jadi, kapan kau akan kembali ke Medan, Jhon?" tanya Pak Reza.
"Malam ini aja, Pak. Soalnya, enggak mau lama-lama takut merepotkan Antonio. Saya sudah menumpang satu malam di kosannya," jawabku.
"Hmmm ... baiklah, kalau kau sudah yakin mau pulang. Hati-hati di jalan. Ini, saya punya uang untuk kamu beli jajan." Pak Reza memberikan aku beberapa lembar uang.
Seketika aku menatap uang itu. Di sisi lain, aku ingin menerima karena kurang ongkos. Namun, di sisi lain aku tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Alhasil, aku pun tidak mau menerima pemberian itu.
"Maaf, Pak, saya tidak bisa menerima. Soalnya ... saya akan pulang dengan cara saya sendiri. Takutnya, tidak bisa membayar apa yang sudah Bapak berikan," kataku.
"Jhon, apakah kau yakin dengan ucapanmu?"
"Tanpa mengurangi rasa hormat, saya akan pulang dengan cara saya, Pak. Sekalipun tidak ada lagi sisa uang saya. Kalau begitu, saya mau kembali mengemasi pakaian. Selamat siang, Pak," ucapku.
"Selamat siang, Jhon," kata mereka.
Sekarang aku legah, karena pencapaian dan perjuanganku terhenti sampai sini. Belum rezeki, sudah menjadi pemikiran sebelum aku melihat pengumuman. Dengan menaiki taksi, aku pun bergerak menuju kosan milik Antonio.
Sang sahabat masih berada di Batalyon 3, karena dia lulus di rangking 72. Setibanya di depan kosan, aku masuk dan mengemasi pakaian. Tak berapa lama setelah selesai, Antonio pun pulang ke kosan juga.
Sang sahabat pun meletakkan sepatunya di samping tembok, dia bergeming setelah melihat aku mengemasi semua barang.
"Jhon, apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Nio, aku akan pulang malam ini. Jadi ... kita akan berpisah mulai nanti malam," ucapku menyentuh pundak sahabat.
Antonio bergeming, dia pun tidak bisa berkata apa pun selain menatap mantap ke arahku yang sudah ikhlas sepenuhnya.
"Jhon, apakah kau tidak mau meihat hasil pengumuman besok. Masih ada 10 nama lagi yang belum ke luar," ucapnya.
"Ha-ha-ha ... mustahil, Nio. Kau saja yang daftar dengan ayahmu masuk dalam posisi 72, apalagi aku. Hei, ini bukan dunia sihir dan magic. Enggak mungkinlah, sudah ada nama-namanya cikal yang terbaik dari ratusan peserta," jawabku ketus.
Kemudian, aku pun bergerak menuju akuarium dan melihat ikan-ikan. Antonio tak bisa melakukan apa pun, dia mendudukkan badan di atas ranjang. Tanpa menoleh sang sahabat, aktivitas kali ini memberikan salam terakhir pada ikan.
***
Sore telah tiba, aku pun bergeming di samping rumah menatap senja. Semburat arunika mulai menyingsing, panorama indah membawa suasana terbaik di Ibu Kota negara. Udara sejuk menghampiri, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di Jakarta.
Sungguh pengalaman yang tak mungkin dapat terlupakan. Beberapa menit setelahnya, sentuhan mendarat sempurna di pundakku, dia adalah Antonio yang merupakan sahabat terbaik.
Meskipun kami berbeda agama, dia Khatolik dan aku Islam, kedekatan kami sudah seperti abang beradik. Padahal kami kenal baru 3 hari saja.
"Jhon, apakah aku boleh minta sesuatu padamu," ucapnya.
"Minta apa, Nio? Aku enggak punya apa pun sekarang," jawabku.
"Jadi gini. Kan, besok kami akan pelantikan resmi menjadi angkatan muda. Apakah kau mau hadir, aku ingin berfoto denganmu di Batalyon," katanya.
"Tapi, aku malam ini akan pulang, Nio. Mana bisa kalau sampai besok," sergahku.
"Aku mohon, apakah kau tidak mau menerima permintaan aku kali ini, Jhon. Plis ...," ucapnya merengek.
"Hmmm ... gimana, ya, aku pun menunggu malam ini saja karena ada truk lintas pulau yang akan melintas. Kalau sampai besok, takutnya enggak bertemu lagi," paparku.
"Kau jangan khawatir, Jhon. Nanti, ongkosmu ke Medan aku yang tanggung. Tapi aku mohon, ini adalah permintaan buat kamu. Aku mau pamerkan sama ayahku di rumah, kalau kau adalah orang yang paling baik selama kira pelatihan."
"Baiklah, kalau itu mau kamu. Tapi ... aku enggak merepotkan siapa pun, kan?" tanyaku lagi.
Antonio pun menggeleng, lalu dia memeluk tubuhku sangat erat. Entah kenapa, ada yang aneh sejak pelukan pertama sesama lelaki aku dapatkan. Antonio mampu menggetarkan jantung ini, dia pun begitu tulus dalam berkata padaku.
Dengan menarik napas panjang, aku menutup mata dan sekadar menikmati indahnya senja. Bersama sang sahabat, kami menghabiskan waktu sore di bawah semburat kecokelatan.
Menjelang malam, kami bersama-sama berada di dalam kamar. Aku menatap ponsel, dan ingin memberikan kabar kalau tidak lulus seleksi. Namun, rasanya sangat malu. Kemudian hati kecil ini berkata, jangan melakukan itu.
Setelah hati dan pikiran singkron, akhirnya aku pun meletakkan ponsel dan mendengar percakapan telepon Antonio di atas ranjang. Dia melospek telepon miliknya.
[Hallo, Ayah ... aku lulus Bintara dengan urutan rangking 72.]
[Bagus, Nak, akhinya kau mencapai cita-citamu, ayah bangga sama kamu. Oh, ya, jangan lupa makan dan istirahat yang penuh. Karena ... ayah akan datang ke sana beberapa hari lagi.]
[Iya, Yah ... aku enggak menyangka bisa lulus, karena saingan kami sangat bangak sekali, Yah. Kalau ke sini, ajak mama sekalian. Aku pengen berfoto sama kalian.]
[Sudah pasti, Nak. Ayah bangga banget sama kamu. Ini Mama kamu, dia mau ngomong. Nio ... anak mama ....]
[Ma, puji Tuhan, nama Nio masuk rangking 72. Ini adalah berkat doa dari kalian di rumah, terima kasih.]
[Syukurlah sayang ... kami bangga sama kamu. Di sini semua menantikan kabar ini, ternyata kenyataan Tuhan ...]
Teriakan gembiran dari keluarga Nio pun bersorak, sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut sedang dari pencapaian orang lain. Kemudian, aku bergerak ke luar dari dalam kamar dan duduk di depan teras.
Aku tak mau mengganggu kebahagiaan orang, karena bintang lebih paham dengan isi dalam hati ini. Seraya menatap cahaya indah itu, aku pun bersimpuh dan menggoyangkan kedua kaki.
Tak berapa lama, sebuah sentuhan mendarat di pundakku paling belakang. Dia adalah Antonio, bergerak dan duduk di sebelah kanan.
"Kau lagi apa, Jhon?" tanyanya.
"Enggak ada, aku lagi menatap bintang-bintang. Oh, ya, aku ikutan bangga sama kamu. Bisa lulus dari ratusan orang. Apalagi kedua orangtua kamu, pasti enggak kebayang."
"Ya, begitulah. Ini adalah cita-cita yang aku inginkan sejak dulu, Jhon. Kau harus tahu, sampai bangun dari ranjang saja aku memanggil mamaku komandan. Semua itu pernah aku alami," celetuk Antonio.
"Ha-ha-ha ... lucu juga kau. Kalau aku, sih, tidak ada keturunan dari siapa pun kalau mereka adalah angkatan. Cuma, aku pernah bermimpi kalau aku akan lulus di saat ini. Itu aja, sih," kataku lagi.
"Kau pasti akan lulus, Jhon. Masih ada tahun depan dan tahun-tahun lainnya. Jangan patah semangat, karena kau lebih mudah tiga tahun dariku," jelas Antonio.
Kami berbincang panjang kali lebar, hingga suatu ketika tengah malam telah tiba. Kami pun sama-sama merebahkan kedua sayap di atas ranjang, aku yang sudah lelah dengan hidup kemudian tidur nyenyak.
Tidak ada pikiran tentang lulus atau tidak, semua sudah aku saksikan empat mata tadi pagi. Besok hanya sekadar menyaksikan momen foto bersama sahabat.
***
Setelah malam mulai menyingsing, fajar berhasil meboyong indahnya pagi. Kami masih bersiap-siap hendak kembali ke Batalyon 3. Para pasang mata menatap kami yang datang lebih awal, tidak tertinggal lagi.
Semua siswa yang lulus dan tak lulus berkumpul. Karena akan ada 10 nama lagi di kertas. Itu adalah orang-orang pilihan, karena menduduki pringkat paling bergengsi dari ratusan peserta yang seleksi.
Beberapa komandan memberikan nasihat dan pengarahan, siswa yang sudah lulus pun tersenyum semringah mendengar aba-aba yang bagai angin segar.
Setelah apel bubar, sebuah pengumuman akhir telah di tempelkan. Antonio pun bergerak menuju teman yang lain, masih bayak siswa yang berburu nama kelulusan untuk 10 besar.
Komandan pun memberikan aba-aba. "Kepada siswa yang lulus seleksi rangking 1 sampai 10 di harapkan berkumpul di lapangan."
Satu persatu siswa yang lulus dengan nilai terbaik bergeriak dan segera ke lapangan. Aku menatap dari kejauhan, lalu Antonio berfoto di sebelah.
Pak Reza datang menghampiri aku, dia lagi dan dia lagi. "Hai, kau tidak jadi pulang?" tanyanya.
"Enggak, Pak. Antonio ngajak aku untuk foto di sini," ucapku.
"Kenapa enggak melihat pengumuman. Siapa tahu nama kamu ke luar, Jhon," ucap Pak Reza.
"Mustahil, Pak, aneh-aneh aja," jawabku.
Melalui suara pengeras, komandan Ferdy pun berteriak. "Kenapa hanya ada 9 orang di sini. Apakah tidak melihat pengumuman yang saya tempel di sana. Coba segera berkumpul di lapangan."
Mendengar ucapan itu, kami saling heran. Karena satu dari 10 belum ada yang datang dan baris. Lalu, Pak Reza mendorongku untuk melihat keras di dinding.
"Jhon, kau harus lihat pengumuman. Sana, Jhon. Siapa tahu nama kamu masuk," teriak Pak Reza.
Antonio menatap ke arahku yang berlari dengan baju dan celana kebesaran. Setibanya di dinding, aku bergerak dari nomor urutan paling bawah, karena aku tidak sampai menunjuk dari atas.
10. Niko Syahputra
09. Mahendra Maherdika Purna Cipta
08. Jefri Ardiyansyah
07. Paska Parulian Mrg
06. Ridwan Purba
05. Raka Lesmana
04. Rizky Abdillah Sitanggang
03. Adi Purna Warman
02. Tri Anugerah Adjie Cipta
01. Jhonson Ericson Macen Cullen
"Astaga! Ak-aku ... ini nama aku yang ada di urutan satu. Kok-kok, kenapa aku!"
Bersambung ...
