Bab 8 Tamu Tak Diundang
Perempuan berkulit putih bersih mengusap air matanya. “Kamu dengar ‘kan tadi ...? Aku serius minta diceraikan.”
Hati Clara dialiri rasa pedih menyengat. Bagaimana tidak, ia sudah seserius ini mengambil keputusan, tetapi lelaki yang dicinta, dan telah menumbuhkan benih di rahimnya tampak masih meragu.
“Cla, apa kamu yakin bukan mengandung karna suamimu? Kalian kan baru berjauhan sebulan lebih.“
“Gak, Ji! Nggak! Aku lama gak hubungan badan dengan Mas Agung. Bahkan sejak sebelum kamu datang! Aku lakuin itu cuma sama kamu, Ji ...!”
Wajah sang pria tampan, yang sebelumnya ia puja-puja tampak masih termenung. Keduanya memang sama-sama terkejut atas hasil tes pack Clara barusan. Mual juga pusing sejak kemarin, dan tamu bulanan yang tak datang di bulan lalu membuat Clara curiga akan keadaannya.
Terdorong rasa ingin tahu, tadi ia test di kamar mandi kantor, dan ternyata benar positif. Clara sebenarnya tak masalah, bayangan cantik atau tampan darah dagingnya dengan Adji cukup membuat ia senang. Anak itu akan jadi perekat cinta mereka.
Rasa takut pada kemarahan Agung, dan sanksi sosial berat jika aib ini terbuka kalah besar dengan dorongan cintanya pada Adji. Ia rela menebalkan wajah untuk memulai berumah tangga baru dengan lelaki yang dicinta.
Cinta terlanjur mendalam, hingga membunuh logikanya.
Namun ... sikap Adji begini menanggapi kehamilannya, sudah meruntuhkan segala asa itu.
“Nanti kita pikirkan lagi, Cla.” Adji tiba-tiba beranjak dari duduknya.
“Kenapa harus nanti, Ji? Aku sudah buktikan serius sama kamu!” Ia menahan tangan yang biasa memberi belaian memabukkan, memohon tak ditinggal begitu saja.
“Aku syok, Cla. Bukannya kamu bilang kita main aman? Kenapa sampai-agh! Aku belum siap melepas lajang! Kamu tau kan aku takut terikat pernikahan dalam seusia sekarang.”
“Itu cuman alasan, Ji! Apa yang salah? Usia kita sudah dua puluh delapan tahun? Kita dewasa! Kita saling cinta! Kalau kamu takut komitmen sejak awal kenapa kamu lakuin itu ke aku?!”
Bola mata Adji melebar. “Aku yang lakuin kamu bilang?” Wajahnya berubah meremehkan. “Kamu duluan menggodaku, Cla. Pakaianmu!” Ia menunjuk dada perempuan pasi itu. “Gaya, dan gestur tubuh kamu yang memancing aku!”
“Iya, Ji ... tapi tolong jangan pergi dulu ....” Sambil terisak Clara memegang tangan pria tampan yang akan meneruskan langkah.
“Aku butuh waktu nenangin pikiran." Tangan Clara diempas hingga terlepas. Lantas pria itu cepat meninggalkan ruangan.
Ruang kerja Clara, yang pernah menjadi saksi bisu panas bara cinta mereka, kini dingin membekukan tulang. Perempuan itu terduduk dengan perasaan ngilu di sofa, matanya menyorot kosong lantai.
Hanya beberapa menit ia merasa jatuh dalam kebingungan, hingga tangannya bergerak meraba perut, bersama dengan sebuah ide di pikiran.
Ia bergerak, merasa menemukan jalan keluar dari masalah ini. Jika Adji menolak bertanggungjawab, Clara tak mau hancur sendiri dengan keberadaan anak itu di rahimnya.
Raut wajahnya tegang mengetik pesan cepat untuk Adji.
[Kalau kamu gak tanggung jawab, aku akan buang anak ini, Ji! Kita berdua yang nanggung dosanya!]
Pesan tak terbaca hingga puluhan menit berlalu. Merasa tidak ada jalan keluar lain, Clara gegas menyambar tas, dan meninggalkan kantor MLP.
Sore begini biasanya sudah ada bidan praktik buka. Ia sengaja memilih tempat yang jauh dari lokasi rumah. Namun, baru mobilnya parkir di halaman sebuah klinik, suara telepon mengejutkannya. Ia yang tegang dan ngilu membayangkan janin dibersihkan sampai terlonjak.
“I-iya, Bu.”
Tangis wanita di sana memenuhi gendang telinga Clara.
“Ibu nangis kenapa? Ada apa?” Ia sebenarnya sedikit kesal, tapi teringat seumur hidup tak pernah dengar Susana menangis sesakit itu, dan memintanya segera pulang. Ia menduga ada yang berat terjadi.
Jangan-jangan …?!
Clara takut terjadi sesuatu pada anak-anaknya.
“Ya, aku pulang sekarang, Bu!”
☕☕
Satu jam yang lalu ....
Susana yang baru saja pulang dari ruko mendapati ada sedan mengkilap, ber-plat dua angka cantik di halaman. Ia tergopoh masuk untuk mendapati siapa sang tamu istimewa itu.
Tampaklah wanita berparas cantik duduk anggun di ruang tamu. Mayang. Si nyonya Dikta Natanegara, Mami dari Adji Natanegara.
“Eh, Bu Mayang? Sudah lama kah menunggu? Aduh, kok pembantu saya tidak ada yang telpon kalau Bu Mayang ada di sini. Kalau tau saya pastilah cepat pulang.”
Dengan sumringah kemudian Susana menawarkan sang tamu suguhan, menyangka ada kabar baik yang akan diterima.
“Tidak usah. Saya tidak lama Bu Susan. Saya cuma mau mengingatkan Clara untuk menjauhi Adji. Dia istri orang. Sudah berkeluarga. Sedangkan putra saya masih lajang. Harusnya Clara tau menempatkan diri.” Kalimat bernada datar, dan wajah tanpa senyum Mayang membuat hati Susan jadi tawar.
Namun, ia coba tetap tersenyum. “Ah, anak-anak itu memang dari dulu saling suka ‘kan, Bu? Kita-“
“Dengan tegas saya katakan sekarang, sebelum hubungan mereka terlanjur jauh. Saya tidak bisa menerima perbuatan salah itu Bu Susan! Sayangnya saya baru mengetahui ini. Andai tau dari awal pasti sudah saya cegah.”
Kening mulus Mayang lantas terlipat. “Oh, sepertinya Bu Susan sudah mengetahui ini sejak lama. Kenapa Anda malah mendukung perbuatan anak perempuan Anda, yang jelas sudah bersuami? Oh, tidak. Mana bisa putra saya masuk ke keluarga tidak tau malu seperti ini," lanjutnya.
Mendadak merah padam wajah Susana, hatinya terpukul dan tersinggung berat. “Saya hanya ingin anak-anak bahagia, Bu Mayang. Pernikahan Clara jauh dari kata baik. Saya yang tau derita anak saya.”
“Tidak usah katakan apapun, Bu Susan.” Mayang berdiri cepat. “Urusan rumah tangga Clara tidak ada hubungannya dengan Adji ataupun keluarga kami. Saya peringatkan, jika terjadi apa-apa dan Bu Susan membiarkannya, saya pastikan tidak ada tanggung jawab! Permisi!”
Wanita dengan tampilan elegan, dan tas mahal di tangannya meninggalkan rumah keluarga Bahranudin, dengan dagu terangkat.
“Dasar sombong! Kalau Clara Adji saling cinta kenapa dia yang ribut? Cih!”
Ke dapur untuk mengambil minum, Susana berusaha mendinginkan panas hatinya atas ucapan sang tamu tadi. Namun ia malah tak sengaja melihat alat tes hamil di dalam keranjang sampah.
