Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Permintaan Clara

“Bapak dari mana semalam?” Sekarang jam lima tiga puluh, Susana terbangun, langsung melihat suaminya sudah duduk di tepi ranjang, dengan leher berkalung handuk.

Semalam ia tak menemukan anak kunci pintu dapur, lalu kembali ke kamar dan tertidur karena mengantuk. Tanpa tahu kapan lelaki yang dulu gagah dan tampan di usia mudanya itu kembali.

“Eh, Bu. Sudah bangun?" Lelaki itu menoleh padanya sekilas, lalu beranjak langsung menuju kamar mandi.

“Bapak mau mandi pagi-pagi?” Susana tergeragap bangun, wajah menampakkan panik. Isi kepalanya terdorong curiga berat akan gelagat suami.

Masa iya sang suami puber kesekian lagi? Ah, Susana harap kejadian lama tak terulang.

“Kenapa? Bukannya kau tau aku pasti mandi setiap pagi? Kayak baru nikah kemaren saja, tidak tahu kebiasaan suami,” gerutu lelaki itu.

Susana terdiam. Benar juga. Selama ini suaminya memang tiap subuh mandi keramas, mau itu setelah mereka berhubungan ataupun tidak. Alasan Bahran mandi adalah tak betah badannya lengket dan gerah.

“Aduh, aduhh, pikiranku ini pasti jadi aneh gara-gara masalah Clara!” Susana beranjak bangun untuk melupakan pikiran buruknya.

Ia ke dapur mencuci muka. Sudah tidak ada rasa bersalah bangun kesiangan dan meninggalkan kewajiban, sebab selama ini ia dan suami memang angin-anginan melaksanakan perintah agama itu.

 ☕☕

 Jam tujuh, suasana kamar anak-anak Agung dan Clara mulai ramai suara. Ega dan Kayla sudah bangun lima menitan tadi. Ega langsung tak bisa diam, bergerak ke sana kemari diawasi siaga oleh Nuri. Baby sitter yang memang tidur bersama Ega kamar luas ini. Sementara Kayla yang menumpang tidur di kamar sang adik semalam memeluk boneka Barbie-nya.

Menjaga dua anak balita awalnya Nuri tak kewalahan, tapi setelah Ega mulai jalan barulah terasa sulitnya mengawasi keduanya. Kayla jadi sering melakukan apa-apa sendiri.

Beruntung Erine senantiasa gesit membantu Nuri ketika sedang di rumah.

“Dek Ega, ayo, ganti popok dulu baru jalan, ini sudah penuh lho,” ujar Nuri sambil menangkap anak lelaki yang tertawa dan akan lari menjauh darinya.

“Hup! Kena, deh!” Anak itu terkikik senang karena berhasil ditangkap, ia pun langsung dipeluk Nuri untuk memakai popok baru.

“Nah, kalau sudah ganti, Ega boleh main di luar nanti.”

“Hai, hai, met pagiii ponakan tanteee!" Erine muncul di ambang pintu dengan cerianya menyapa.

Ega tetap lari-lari sambil tertawa gembira. Sedang Kayla balas menyapa Erine dan memeluknya sesaat.

"Uhh, si Ega emang gagah, aktif banget. Udah mau lomba lari aja.” Erine tersenyum lebar sembari menggeleng kepala, melihat anak usia tepat setahun itu kejar-kejaran dengan Nuri.

"Iya nih, ngajak olahraga terus. Hehee. Mau kuliah, Mbak Erine?" tanya Nuri setelah sukses menangkap Ega dan menggelitiknya.

"Ya, Mbak. Bentar lagi berangkat." Tampilan Erine sudah rapi, dan tampak segar dengan rambut ikat satu di tengkuk. Setelan kemeja kuning pisang berkerah, dipadu celana jeans.

“Nah, dia ngajak main di luar ini." Nuri setengah lari mengikuti Ega ke luar kamar.

“Tante Erine mau pergi?” Kayla membawa boneka Barbie-nya mendekati Erine.

“Iya, tante ada kelas jam delapan nanti. Kay langsung mau mandi?”

“Enggak, nanti aja.”

“Ya udah, kalau nanti mandi bangunin bundanya untuk bantuin. Kalopun mandi sendiri, minta dilihatin ya. Jangan sendiri, ok?” Erine agak khawatir karena Kay berani mengisi air hangat, dan masuk dalam bathtub, mungkin mengikuti cara bundanya berendam. Ia takut anak itu terkena air panas kalau salah buka keran.

“Oke, Tante. Kay mau telpon Ayah sekarang boleh?” Mata Kay berkedip-kedip memohon.

“Boleh. Yok, ikut ke kamar tante.” Erine mengajaknya ke kamar karena ponselnya tertinggal di sana.

Tidak sulit menghubungi Agung, sesibuk apa pun kalau ditelepon pasti diangkat.

“Ini Kay langsung ngomong sendiri, tante mau siap-siap.” Smartphone ia berikan pada keponakannya, lalu menuju kaca rias untuk memberikan sedikit polesan tipis bedak padat di wajahnya. Kemudian mengambil tas, dan menunggu Kayla selesai baru pergi.

“Ayah dari bangun tidur tadi ngapain aja?” Seperti biasa, Kayla banyak tanya apa yang ayahnya lakukan. Lalu diam, mendengar suara di seberang telepon.

Tak sampai lima menit pembicaraan yang membuat Kay pagi-pagi tertawa senang itu berakhir.

“Tante, kata Ayah, Ayah mau belikan Kay boneka lagi.”

“Oya? Kan boneka Kay udah banyak.”

“Biar tambah banyak, Tante. Kamar Kay nanti penuuh boneka.”

“Yee, maunya. Mending beli makanan, Kay.”

“Tapi Kay suka boneka.”

“Tante suka makanan.” Erine keluar kamar, Kay mengikutinya.

“Kay suka boneka.”

“Makanan.”

"Boneka!"

"Makanan!"

"Boneka!!"

Keduanya berdebat sengaja Erine arahkan langkah ke dekat kamar Clara.

"Makanan aja, Kayy!" Erine semangat menggodanya, kalau dilawan begini suara Kay akan semakin keras. Itu bagus, biar penghuni kamar sebelah, yang masih molor di saat matahari sudah naik itu bisa cepat bangun.

"Bonekaaa!"

"Makanaaan!"

"Bonekaaa!!!"

“Apa-apaan kalian?! Pagi-pagi berisik!”

Nah, itu, Erine tersenyum berhasil memancing target keluar kamar.

“Tuh bundanya Kay sudah bangun, sana minta temanin mandi.” Erine berbisik sambil setengah mendorong pelan bahu Kay mendatangi Clara.

“Tante berangkat dulu, Kay, daah, assalamu’alaikum …!”

“Huh, ganggu aja!” Hampir berbalik lagi masuk kamar, langkah Clara dihadang Kayla.

“Bunda lihatin Kay mandi nanti, ya, kata Tante Erine bahaya kalau Kay sendiri.”

“Memangnya kamu mau mandi apa main air?”

“Mandi.”

“Ya sudah kalau mandi, mandi aja. Jangan main air! Gitu aja apa susahnya!" Suara keras bundanya membuat Kayla mengerucutkan bibir, dan bergerak menjauh.

Sebelum menutup pintu kamar ia sempat melihat bundanya memijit-mijit kepala dan mengeluhkan pusing.

Gadis kecil ini tiba-tiba merindukan ayahnya di sini. Lelaki yang selalu memasang senyum lebar, dan antusias mendengar apa pun yang ia katakan.

☕☕

Jika di akhir pekan Agung pulang kerja tak terlalu sore, maka saat itulah ia langsung menuju lahan kebun mininya. Tanah kosong sepetak yang masing-masing tersedia di belakang dapur rumah dinas. Semua karyawan bebas memanfaatkan untuk area pribadi.

Agung rutin menyibukkan diri di sana, menanam sayur atau merawat tanaman yang sudah ada. Walau sebenarnya di awal ia hanya meneruskan urus tanaman pemilik sebelumnya yang sudah resign, istri karyawan itu—kata mereka, sangat rajin bercocok tanam. Karenanya masih ada Ubi, juga deretan tomat, cabe juga aneka tanaman bumbu di sekitar ketika ia pertama datang.

Area tak lebar, hanya 4x6 meter, tapi itu cukup menampung banyak tanaman sayur.

“Duh, duhh, masih panas sengatan matahari, kau rajin pula berjemur, Pak Agung. Orang itu kalau tidak kerja, ya, santailah di rumah, baring-baring. Masih kurang kah jam kerja kau nih?” Lelaki berlogat Batak, yang tak lain staf kantor--posisi sedikit tinggi di atas Agung--bicara dari beranda dapurnya.

"Cari keringat, Pak Horas,” sahut Agung sambil tersenyum.

“Hehehee, keringat macam apa yang kau cari di situ, bah? Mendingan cari keringat itu yang enak, Pak Agung. Bawa bini kau ke sini, pastilah sering mandi keringat, heheh.”

“Bicara apalah Abang tuh? Malu adek, Bang.” Suara wanita dari dalam rumah terdengar memprotes ucapan lelaki itu.

“Memang benar kata Abang, Dek. Pak Agung itu hampir sebulan sudah tidak berkeringat enak di rumah, makanya hari masih panas dia nyari keringat di kebun, heheh,” lelucon lelaki berkumis lele itu terlontar sembari menaikkan dua alisnya. Sengaja menggoda Agung yang hanya tersenyum-senyum.

“Abang macam mulut perempuan saja julidnya.”

“Macam mana tak jadi mulut perempuan. Mulut Abang sering nempel sama bibir kau.” Lagi kekeh Horas terdengar panjang. Sebahagia itu ia menggoda istrinya.

Pria itu berwajah garang, tapi kalimatnya sering memancing tawa, Agung pun tak lepas tersenyum mendengar debat lucu suami istri itu berlanjut seru.

Tempat ini memang jauh dari keramaian, tapi tak juga terlalu sepi. Beragam watak, warna kulit, dan budaya berkumpul menjadi satu. Apalagi di komplek karyawan lapangan. Suku dari sabang sampai Merauke hampir semua ada.

Agung berkhayal bisa menjemput istri, dan dua anak bersamanya di sini suatu hari nanti. Kebetulan di PT. Rimba Perkasa ini punya pos kesehatan yang cukup bagus, tersedia juga tempat penitipan anak, sekolah TK hingga SMP yang letaknya dekat dengan rumah penduduk, tapi masih terjangkau dari sini.

Ada bus antar jemput untuk anak-anak sekolah. Jadi, tidak ada alasan ia dan keluarga harus berpisah lama. Kayla dan Ega bisa sekolah di sini.

Setelah gajian kedua nanti, ia akan bicarakan itu pada Clara.

Dari info yang ia dapat, mutu sekolah di perkebunan tak kalah bagus dengan sekolah umum lain.

☕☕

Kurang lebih satu jam mencabuti rumput liar, sampai menyiram tanaman dengan selang panjang, Agung kemudian kembali ke rumah.

Beginilah cara ia melepas energi negatif saat sedang sendiri. Dengan lelah dan berkeringat, malam hari ia bisa istirahat nyenyak tanpa dihinggapi pikiran berat.

Dering ponsel saat akan mandi ia kira dari Kay lagi, ternyata memunculkan nama lain.

Clara?

Bibirnya tersenyum mendapati nama 'Istriku' muncul di layar. Dengan cepat ia mengelap tangan yang basah pada serbet.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, aku mau ngomong penting, Mas.” Nada suara yang tak nyaman sedikit menyurutkan senyumnya.

“Ya, ada apa, Ra?” Sepertinya serius karena Clara meminta maaf sebelum memulai kata. Telinga Agung terpasang penuh mendengar.

“Astaghfirullah, Ra … rencana mas setelah gajian bulan depan akan pulang jemput kalian.”

“Bukan masalah uang. Apalagi jemput kami! Aku mau pisah karena merasa kita sudah nggak cocok lagi, Mas!”

“Gak cocok bagaimana? Mas sampai ke sini semuanya demi keluarga kita-“

“Aku sudah nggak ada perasaan lagi sama Mas Agung. Tolong ngerti aku!” kalimat itu disertai tangisan, terakhir Clara ucap sebelum panggilan diputus sepihak.

"Ya Allah... ada apa dengannya?"

Agung menghubungi balik berulangkali, tapi di-reject, detik kemudian ia pun terduduk lemas.

Mimpi apa semalam, sampai ia mendengar permintaan cerai oleh wanita yang dicinta?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel