Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Perasaan Tak Nyaman

 Agung mendapat telepon dari Erine saat di perjalanan pulang bekerja. Ia meminggirkan motor dinasnya untuk menerima.

“Assalamualaikum, ada apa, Rine?”

“Waalaikumsalam. Mas Agung, ini Kay mau ngomong. Dia nangis nih.”

“Ya, Kay, kenapa?" Ia mendengar sesaat putrinya di sana bicara sambil terisak.

"Ya ... ayah dengar. Siap. Kay yang pintar. Ya, nanti ayah telpon lagi. Ini ayah masih di jalan.”

Setelah beberapa saat bicara panggilan pun ditutup. Beruntung di kebun ini sinyal ponsel tetap kuat, jadi Agung mudah dihubungi kapanpun anak butuh dengar suaranya. Kayla sangat dekat dengannya, sejak awal hingga hampir sebulan terlewati, sulungnya itu bisa dua atau tiga kali sehari menghubungi.

Agung kembali melajukan si hitam putih Rx King, kendaraan operasional untuknya mengawasi pekerjaan karyawan di lapangan. Tadi sore sebenarnya sudah jam pulang, cuma ia kembali ke kantor menyelesaikan beberapa pekerjaan, dan baru beranjak menjelang Magrib sekarang.

Harus siaga menyusuri jalan tak rata, yang sisi kiri kanan penuh deretan pohon sawit, masih satu kilo meter lagi menuju komplek rumah para pekerja.

Saat Agung tiba di sini, posisi manager yang dijanjikan sang teman keburu diisi oleh saudara si bos perusahaan. Jadi ia ditempatkan sebagai asisten kepala kebun, yang bisa juga mengontrol kegiatan semua divisi. Pekerjaan yang tak bisa santai di kantor seperti dulu, mengingat tanggung jawabnya sungguhlah besar.

Walau begitu, Agung tetap semangat, sebab selain gaji lumayan, ada tunjangan pangan, uang makan, juga pertanggungan biaya kesehatan untuk diri dan keluarga kecilnya. Insyaallah hasil keringatnya di sini tak akan sia-sia.

“Baru pulang, Pak Agung? Sudah mepet Magrib, bah.”

“Iya, Pak Dino, silakan duluan. Saya mau mandi dulu.”

Sesampai di rumah mungil yang lokasinya berderet dengan puluhan bangunan lain, ia disapa ramah beberapa tetangga yang akan menuju surau. Ke dapur, ia masih sempat mencuci ubi ungu, dan mengukusnya dengan api kecil. Akan matang sementara membersihkan diri dan shalat nanti.

Selama di sini Agung jarang makan malam. Ubi kukus itulah yang cukup membuatnya kenyang, walau hanya ditemani air hangat saja. Salah satu hasil tanaman di belakang dapur

☕☕

“Ayah ...? Ayah lagi apa? Kapan Ayah pulang?”

Pukul enam lebih dua puluh lima menit, ia menghubungi Kayla. Suara imut anak ceriwis itu langsung bertanya banyak.

“Ayah habis salat magrib. Sekarang ayah lagi minum sama makan ubi.”

“Ubi lagi Ayah? Kenapa Ayah makan ubi terus? Kay enggak suka ubi. Kemarin dibelikan Tante Eline gak enak rasannya, Ayah.” Bulan lalu, usai ulang tahun ke empat, Kayla sudah bisa menyebut R meski masih agak ditekannya.

“Hehe, ternyata Kay Cantik penasaran ya sama rasa ubi.”

“Iya, Ayah. Rasanya tawar. Enakan es krim.”

 Lagi-lagi senyum Agung terkembang. “Kalau buat ayah es krim kurang enak. Enakkan ubi.”

“Kalau gitu nanti kapan-kapan kita buat es krim ubi ya Ayah. Kata Tante Erine enak.”

“Boleh, Sayang Ayah. O ya, tadi kenapa Kay nangis?”

Anak itu terdiam sebentar, saat telpon di jalan tadi Kay cuma bilang kangen, tapi Agung tahu pasti ada alasan lain putrinya rewel.

“ … Kay kangen Ayah … Kay sedih Bunda sering pergi … Bunda gak mau sama Kay lagi ….”

Kayla kembali hampir menangis, terdengar Erine langsung menenangkannya, mengatakan kalau bunda Kay sedang kerja.

Agung mengajak Kayla bercanda lagi, hingga sebelum panggilan berakhir anak itu sudah kembali ceria.

Usai Isya, lelaki berbaju koko hijau lumut ini menghubungi sang istri. Namun panggilannya tidak diangkat. Clara tampak terlalu sibuk, hingga lupa bertanya keadaannya hidup di luar kota sendiri.

Clara tak pernah mau bicara panjang saat menerima telepon, bahkan lebih sering mengabaikan panggilannya seperti saat ini, lalu beberapa jam nanti perempuan itu mengirim pesan, minta maaf tak tahu teleponnya karena sibuk. Selalu terulang begitu.

☕☕

Jam hampir menunjuk angka sebelas malam. Susana gelisah putrinya belum juga pulang, sementara rumah sudah sepi karena penghuninya sudah dipeluk mimpi. Hanya dirinya yang sejak tadi merasa agak gelisah.

Suara mobil masuk halaman, Susana terburu-buru keluar membuka pintu.

“Ibu belum tidur?” Keluar dari mobil, Clara melewatinya sambil menenteng dua tas berlogo toko fashion.

“Kamu pergi sama Adji, Ra?” Wanita bertubuh ramping di usia paruh baya itu menutup pintu, lalu tergopoh mengejar langkah Clara.

“Ya."

"Di mana dia? Kamu pulang sendiri?"

"Ya iyalah dia pulang ke rumahnya, Bu, masa ikut ke sini. Udah deh, Ibu mending tidur aja sana.” Clara masuk kamar langsung manyun melihat ibunya menyalip lebih dulu.

“Ra, ibu khawatir orang-orang tau hubungan kalian. Makanya secepat mungkin kamu lepas dari si Agung itu kalau memang serius sama si Adji.”

Clara dengan santai melepas blazer dan kemejanya, meninggalkan kaus dalam dan hotpants. Ia melangkah santai menuju kamar mandi.

“Mas Agung pelan-pelan juga bosan aku cuekin, Bu. Biar dia yang duluan gugat. Memangnya alasan apa aku tiba-tiba minta cerai? Yang ada alamat dicurigai ntar,” ucapnya sembari menutup pintu.

“Gimana dengan keluarga Adji, Ra? Apa mereka tau?” suara Susana sedikit keras mengalahkan air yang Clara buka.

Namun pertanyaan itu tak dijawab, mungkin Clara tak mendengarnya.

Sampai putrinya keluar dari kamar mandi Susana masih menunggu. “Dari keluarganya Adji ... siapa saja yang tau hubungan kalian?”

“Adeknya.” Clara menyisir rambutnya yang basah.

“Trus?”

“Ya, gak gimana-gimana, Bu. Kami itu sebatas cuma having fun, saling suka.”

 “Saling suka? Menurutmu ibu tidak tau hubungan kalian sejauh mana?” Tatapan mata Susana menembus depan baju tipis yang Clara kenakan.

“Apaan sih, Bu. Aku gini tuh karena kesalahannya Mas Agung juga. Kalau istrinya bahagia dan merasa cukup dengan dirinya, gak akanlah nyari kebahagiaan lain di luar.”

“Sudah tau kamu tidak bahagia dengan Agung, kenapa bertahan? Ajukan cerai secepatnya, setelah masa iddah baru kamu serius dengan Adji.”

“Ya, aku juga lagi mikir ke situ. Mana tenang juga sembunyi-sembunyi gini.”

“Jangan ditunda Clara. Ini demi kebaikan kamu sendiri,” pesan wanita itu sebelum meninggalkan kamar.

Dua minggu lalu Susana mendapati putrinya diantar pulang Adji. Keduanya saling menyatukan bibir beberapa saat sebelum Clara turun, tanpa menyadari ia ada di dekat pagar. Tentu saja saat itu jantungnya dirasa berdentum keras. Beraninya Clara seperti itu di lingkungan rumah. Bagaimana jika tetangga melihat?

Namun Clara memang sekeras batu. Meski sudah ia tegur tak bermain api dulu sebelum urusan dengan Agung selesai, malah hampir setiap hari pulang terlambat di malam hari, lalu mandi keramas seperti tadi.

Batin Susana sangatlah khawatir terjadi sesuatu. Bukan karena ia ingin mempertahankan Agung sebagai menantu. Keluarga Adji jauh lebih kaya dan terpandang, banyak orang terdekatnya duduk di posisi penting pemerintahan, dan pegawai pertanahan. Dengan Clara menikahi Adji, bisnis keluarga sudah pasti akan mulus.

Susana maunya Clara cepat menggugat cerai Agung agar hatinya turut tenang.

Kembali di kamarnya, Susana mencoba memejamkan mata. Puluhan menit diam kantuk mulai menyerang, sebentar lagi ia mungkin terlelap, tapi pergerakan di tempat tidur memanggil kesadarannya kembali. Ia membuka perlahan mata yang berat, tampak punggung suami jalan mengendap.

Wanita ini berpura tidur ketika pria berbadan tinggi besar itu berbalik. Hitungan detik kemudian terdengar pelan pintu tertutup rapat.

Kenapa orang tua itu? pikirnya kesal telah dibuat kembali terjaga.

Susana pun duduk sembari mengusap mata. Susu untuk tulang yang biasa dikonsumsi sore tadi terlupa, ia mau diminum sekarang saja. Mungkin bisa membantu memancing kantuk.

Di dapur sepi, padahal dikira suaminya di sini tadi, keluar kamar mengendap karena takut ia terbangun, tapi ternyata tidak ada.

“Pak? Bapak?” Di ruang tengah sampai depan tidak ada orang. Kembali ke dapur Susana mengecek pintu dapur. Terkunci, tapi anak kuncinya tak menempel di situ.

"Di mana anak kuncinya?" Entah kenapa perasaannya jadi tidak nyaman teringat sang suami yang tidak ada di dalam rumah.

'Jangan-jangan ...?'

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel