Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Rasa Bersalah

“O, ya? Gajinya besar gak, Mas?”

“Ya, kata Minto hampir sama seperti sebelumnya. Kebetulan mereka sedang butuh posisi itu secepatnya.” Malam ini Agung membicarakan berita itu pada sang istri di kamar.

“Kenapa Mas kelihatan ragu? Kalo emang bagus ya ambil aja, mumpung ada kesempatan.”

“Ra, saya harap jika ini lancar, saya diterima, kita semua pindah ke sana ya?"

Clara terkejut bukan main. “Ya, gak bisa dong, Mas. Aku kerja. Gimana dengan kerjaan aku yang udah makin dipercaya Bapak. Siapa yang bisa urus usaha Bapak kalau bukan aku? Masa si Erine?"

"Satu lagi, coba Mas bayangkan kalau kita kerja berdua, kebutuhan anak-anak pasti akan terpenuhi. Mereka bisa dapat yang terbaik dari kita, Mas.”

Agung menatap lekat wajah sang istri, yang masih lanjut menghapus sisa make-up wajahnya di depan kaca. “Kalau dari mas saja sudah cukup, akan lebih baik yang anak-anak dapat adalah perhatian kita, Ra. Waktu kita bersama mereka.”

Clara setengah melotot membalas tatapannya dari pantulan cermin. “Mas! Tau gak gimana bosannya aku di rumah? Hidupku kayak gak ada artinya! Bangun urus anak, makan tidur, bolak-balik gitu terus. Bosan!”

“Kamu bisa sambil cari kegiatan lain, Ra.”

“Gak! Aku juga mau punya karier, Mas. Lihat si Lisa. Dia kerja di bank sampai malam, dari awal nikah sampe sekarang, gak ada masalah. Suaminya baik-baik saja. Anak-anaknya juga hidup normal. Masa Mas Agung Sulistyo ini gak bisa kayak Ferry itu? Buka mata dong lihat gimana suksesnya orang. Jangan main larang aja sama istri. Istri tu bukan boneka yang bisa diatur-atur, atau diharuskan jadi babu di rumah!”

Clara sudah makin persis ibunya, yang hobi mengomel pedas panjang lebar. Tanpa ia sadari wajah suami yang menatap lantai itu merasa tertampar.

“Baiklah kalau begitu maumu. Tapi kalau mas sudah ada tempat nyaman di sana Kayla sama Ega ikut saya.”

Mata Clara mendelik. Ia sudah pindah duduk di sisi lain tempat tidur, bersiap baring. “Memangnya kamu bisa urus anak-anak? Jangan aneh-aneh, ya. Ibu gak akan mungkin kasih izin.”

“Ayah mereka itu saya. Ibu hanyalah nenek. Saya yang lebih berhak.”

“Apa maksudmu, Mas? Jangan pancing ribut ya!”

“Selama ini kamu mana perhatikan anak-anak, Ra? Bangun siang, kerja, lalu pulang larut saat mereka sudah tidur begini.”

“Aku kerja karena kamu gak mampu, Mas! Lalu, kamu sendiri bisanya apa buat anak-anak?”

Rahang Agung menegang. Ia pun membaringkan badan untuk meredakan emosinya.

“Dasar suami banyak mau. Bisa gak ya bikin aku tenaang aja sedikit. Bikin istri itu yang enak. Jadikan ratu. Bukan dibikin tertekan begini!” Clara terisak membelakanginya.

Keributan singkat ini membuat keduanya tak saling bicara lagi di keesokan hari.

☕☕

Hari ketiga sejak keributan itu, Agung sudah membuat keputusan.

Siang hari saat semua persiapan berkasnya sudah beres ia menghubungi Clara. Dua kali ditelepon tak diangkat, pesan ia kirim hingga lima belas menit kemudian juga tak ada balasan. Pria berwajah manis ini mampir ke kantor sang istri, bagaimanapun ia harus pamit baik-baik sebelum pergi. Namun, harapannya tertelan karena tak mendapati Clara di tempat.

Karena waktu terus bergerak mendekati jadwal penerbangan, Agung hanya bisa berpamitan dengan anak-anak dan mertuanya di rumah. Sementara pada orang tua sendiri di kota sebelah Agung hanya pamit lewat video call tadi.

"Kerja yang benar sampai ada hasilnya. Buktikan dengan nyata pada kami!" Bapak mertua menyindir.

"Ya, biaya dua anak dan istrimu di sini banyak, seminggu saja sudah habis berjuta-juta! Jangan bisanya cuma jadi parasit. Tidak punya uang numpang, eh, ada uang bisa-bisa lupa diri. Lupa anak istri!"

Kalimat mertua itu makin meyakinkan kalau ia tepat memilih pergi. Berharap ini jadi jalan awal hidupnya tak dihina lagi. Seperti dulu saat penghasilan besar, sikap kedua orang tua itu bisa bermanis-manis di depannya.

☕☕

Waktu sudah hampir tengah malam Clara baru sampai rumah. Ia langsung masuk kamar dengan tergesa, dan wajah tegang, lantas buru-buru menuju kamar mandi untuk membuang rasa tak nyaman dalam diri dan perasaannya.

Setengah jam kemudian ia baru selesai. Hanya mengenakan kimono handuk perempuan berkulit putih itu membaringkan diri di tempat tidur. Membiarkan rambutnya yang basah menempel di bantal.

Geriknya gelisah, sesekali menggigit bibir, atau tangan memeluk dada seolah kedinginan. Wajahnya beberapa kali terpaku pada lamunan

Ia memejamkan mata, berharap lekas tidur agar bisa lebih tenang. Kejadian tadi nikmatnya hanya sementara, sebab saat usai rasa bersalah menghantuinya.

Meski ia sudah membalas pesan suami, dan meminta maaf karena terlalu sibuk sampai tak sempat memeriksa ponsel, hatinya belum bisa tenang.

Agung tadi mengabarkan keadaannya baik, dan ceritakan singkat mengenai pekerjaan barunya. Clara diminta bersabar karena perpisahan ini hanya sementara.

Dalam hati kecil Clara sebenarnya turut senang, gaji suami akan lebih baik dibanding ngojek hingga malam. Bukankah itu keinginannya sejak berbulan-bulan ini? Namun, di sisi lain, ia tengah terjerat kuat dalam perasaan lama bersama seseorang lain. Semakin hari dirinya sulit terlepas, dan kiat terjerat kuat.

"Ji ...." gumam bibir Clara setelah puluhan menit matanya terpejam.

"Mas Agung ...?" Tak lama tubuhnya menegang. Mata dan pangkal alisnya mengkerut.

"Mas ...!" Dalam pandangannya, pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Ia terperanjat, menyadari diri tengah bergum*l panas dengan bibir seseorang.

Lelaki berkaus putih di sana berdiri tegap di depan pintu.

“Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan?!" tegur pria itu dengan wajah syok.

Ia dan pasangannya sontak tergesa saling melepaskan diri, merapikan pakaian yang sudah tak utuh.

“M--Mas …!”

“P-Pak?!” Pasangannya turut panik.

 “Astaghfirullah, Ra …! Kenapa kamu sampai begini, Ra …?” Lelaki itu bersuara gemetar, dua telapak tangannya terkepal.

Sementara perempuan berdaster mini ini gegas turun dari tempat tidur, tak sadar menjatuhkan pakaian dalamnya di lantai. Dengan wajah pasi, ia langsung merangkak mendekati kaki sang suami, bersimpuh dan terisak.

“M-Mas … ampuni aku, Mas … ampun … aku salah, aku khilaf, Mas …!”

“Kamu! Tetap di situ!" tegas Agung menunjuk pasangan gelap Clara, begitu melihat pria muda itu akan pergi.

“Apa di pikiranmu sampai tega melakukan ini, Ra ...? Sudah kuperingatkan, kenapa kamu sampai melakukannya ...?" Walaupun dikuasai emosi pria ini tetap bertanya dengan nada lunak.

Padahal tak cuma sekali ia menemukan ibu dari dua anaknya dekat dengan pria lain, meski ini adalah yang paling gila tertangkap matanya. Sungguh tak disangka, orang yang ia pertahankan tega bermesraan di kamar tidurnya.

Tangis Clara makin pecah, tertunduk dalam di atas punggung kakinya.

“Aku tobat, Mas … aku benar-benar tobat ….”

Kaki Agung bergerak menjauh darinya, saat itulah mata Clara sontak membulat penuh, baru tersadar kalau ia dan Adji tertangkap basah di kamar mereka.

Mana mungkin ... kami gak lakuin itu di kamar ini tadi ....

Clara mengangkat kepala, heran dengan apa yang tampak di depannya.

Ini mimpi! Pasti mimpi!

Ia memaksa diri terbangun, tapi sampai bapak, dan ibunya, juga beberapa tetangga banyak masuk ke kamar ini, hingga ia dan Adji menjadi bahan tontonan, mimpi buruknya belum pergi.

"Bunda ...?" Kayla ada di dekat pintu, menatap mereka dengan kebingungan.

"Saya serahkan kamu pada mereka, Ra." Agung menunjuk kedua mertua dengan mata kecewa. "Kita akan ketemu di pangadilan," ujarnya lagi tegas sembari menggendong Kayla menjauhi kamar.

"Mas ...! Mas!" Clara bangkit mengejar, tapi terlambat. Agung sudah secepat kilat membawa Kayla dan Ega meninggalkan rumah ini.

"Seret mereka!"

"Ya!"

"Arak pezina itu keliling!"

Semakin banyak orang mengerumuni, meneriaki ia yang tak berani mengangkat wajah. Teriakan Adji di dalam sana terdengar mengerikan dan penuh kesakitan.

"Mas Agung jangan pergi ...! Tolong aku, Mas!" teriaknya merasakan pukulan keras di lengannya hingga tersungkur di lantai.

"Awhhh ...!" Clara terbangun merasakan tubuhnya jatuh dari ketinggian. Ia membuka mata dan melihat sekitar. Ternyata dirinya tergeletak di lantai.

"... benar aku cuma mimpi ...." Napas lega terembus begitu menyadari tidak ada Agung maupun warga di sini.

Gara-gara apa dilakukan bersama Adji tadi, ia merasa bersalah hingga terbawa mimpi buruk.

Ting!

Suara pesan. Clara beranjak menggapai ponselnya di bawah bantal.

[Rindu kamu, gak sabar ketemu besok]

[I love you, Beb]

Dua chat dari Adji.

'Ampun ... gimana bisa aku terjebak hubungan terlarang ini ...?'

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel