Bab 4 Hubungan Terlarang
Suara ketukan mengalihkan mata Clara dari laptop ke arah pintu. "Eh, hai, Ji." Perempuan berblazer marun itu berdiri, dengan sedikit senyum canggung.
“Hi, Cla.” Alis pria itu menaik melihat reaksi Clara masih sama. “Kok, bengong? Aku boleh masuk ‘kan?”
“Oh, sorry, sorry. Masuk, Ji. Duduk.” Clara menunjuk kursi di depan mejanya.
Kalau melihat perubahan wow sosok si mantan, dari cowok tengil semasa remaja menjadi pria tampan nan menawan begini, Clara kadang salah tingkah sendiri.
Lelaki berkemeja abu itu sudah duduk di hadapannya, dengan menahan senyum dikulum. “Kamu gak pernah berubah, ya. Suka bengong. Tampang gitu tuh yang bikin aku gemas. Tolong, Cla, tolong jangan pancing, ntar aku bisa kelepasan.”
“Kelepasan apa?” Clara turut duduk sembari merapikan anak rambut yang jatuh di kiri pipinya.
“Kelepasan jatuh cinta lebih dalam lagi sama kamu.”
"Hahahaa," tawa perempuan muda itu tak tertahan dibuatnya. “Bisa aja kamu, Ji. Udah ah. O ya, kamu ke sini mau bahas Prima Family? Rasanya team kita sudah beres deh kemarin obrolkan?”
“Santai dong, Cla, masa kita bahas kerjaan mulu. Aku kebetulan lagi santai, pas lewat sini eh mobilnya malah berhenti sendiri. Kayaknya ketarik magnet kamu.” Tatapan mata Adji Natanegara tersorot lekat padanya, menciptakan rona merah muda di pipi Clara. Debar jantung saat bersama Adji diam-diam kerap sulit ditenangkan.
“Plis deh, jangan bikin aku gak nyaman.”
“Gak nyaman kenapa?” Pria beralis tebal itu memajukan badan, menumpu dua tangannya di atas meja kerja Clara, dan tatapan tak lepas pada mata dan bibir perempuan itu saat bicara.
“Sejak kita ditakdirkan ketemu lagi, aku ngerasa ada jalan nasib baik buat kita. Ingat di awal kamu bete, dan aku berhasil bikin kamu ketawa? Aku mau kamu banyak ketawa, Cla. Kamu itu berharga, berhak bahagia.”
Clara tertunduk. Ada rasa bersalah terlanjur menumpahkan rasa tidak bahagianya bersuamikan Agung. Lelaki itu pernah ia keluhkan habis-habisan di depan Adji. Sejak itulah sang mantan, yang sedang ada kerjasama dengan proyek besar kantornya ini malah jadi gencar mendekat. Bodohnya, ia tak sanggup menolak atau mengusir Adji menjauh.
Kembalinya getaran cinta semasa remaja membuat Clara terkadang lupa ia adalah seorang istri, dan ibu dua orang anak. Seperti sekarang, usai ngobrol sedikit kaku di awal, lalu nyambung dan saling nyaman kemudian. Janji makan malam pun terlanjur terucap.
Padahal saat pertama bersua lagi, ia sempat ingin menjauhi Adji lantaran rasa bersalah menyergap hati.
Dua bulan kemudian ….
Lepas dzuhur, Agung mendapat penumpang yang minta dijemput tak jauh dari kantor sang istri. Saat melintas, ia melihat Clara di dalam mobil dengan lelaki muda, sepertinya mereka baru sampai.
Meski hanya beberapa detik, sebab pandangan harus fokus pada jalan, ia sempat menangkap dua orang itu berbagi tawa lebar bersama. Ah, istri yang semakin jauh darinya justru tampak dekat dengan pria lain, dengan wajah amat bahagia.
Jangan pikir negatif, Gung, Clara begitu pasti hanya untuk urusan kerjaan. Begitu kalimatnya menghibur diri, menekan rasa cemburu yang mengusik.
Sudah pernah ia tegaskan bulan lalu, saat menangkap istri makan berdua dengan pria yang sama, kalau dirinya tak akan bisa mentolerir jika ada pengkhianatan. Sekali berkhianat tidak ada kata maaf. Agung menegaskan itu agar Clara menjaga batas.
"Mas, dia itu yang bikin proyek aku sukses. Udah deh jangan bikin malu gini! Pulang duluan sana! Gimanapun aku jelasin kamu gak bakal paham," ujar Clara setengah mengusirnya malam itu.
Setelah kejadian tersebut Agung mencoba percaya, meski tetap saja was-was melihat Clara tiap ke kantor berpenampilan selalu maksimal. Pakaian kian berbahan melekat di badan. Jika diingatkan, sang istri malah mengoceh panjang lebar, lalu mendiamkannya berhari-hari, atau mengeluarkan kalimat pedas persis sang ibu mertua.
“Dikira kerja aku jadi babu apa? Maklum sih Mas biasa ngantor di hutan, jadinya mau nyamain istri tampil kayak monyet-monyet jelek!”
Clara memang perempuan yang gamblang saat bicara, jika dilawan sama keras maka sudah lama pernikahan ini hancur.
“Kiri depan, Mas.” Suara penumpang di balik punggung mengaburkan lamunan Agung, matanya melirik spion, ketika kiri lengang ia baru membelok ke sisi.
☕☕
Agung menatap kartu nama yang diberikan seorang teman lamanya tadi. Mereka tak sengaja bertemu saat Agung shalat Ashar. Ngobrol sebentar, dan tak disangka dari obrolan itu ada secercah harapan.
Dulu ia dan teman itu bekerja dalam satu bagian di Agro, sekarang sang teman sudah kembali mendapat posisi lebih baik dari sebelumnya, bahkan gaji pun hampir sama seperti Agung dulu.
Teman itu meminta ia datang secepat mungkin ke perusahaan tempatnya bekerja, kebetulan ada posisi kosong yang sesuai dengan kemampuan Agung.
Tawaran menarik, tapi entah kenapa justru membuat Agung dilema. Antara menerima ataukah tetap menekuni pekerjaan yang ada. Jika diterima sudah pasti ia harus pindah ke Sumatera, tempat perusahaan itu berada.
Apa Clara akan rela, mengikutinya pindah ke luar pulau bersama anak-anak?
Jika dulu saat bekerja di Agro, istri dan anak memang tinggal di rumah kota ini, sementara ia pulang tiap akhir pekan. Jarak tak sampai seratus kilometer ditempuh setiap Jumat sore, dan balik Minggu malam demi weekend bersama keluarga tercinta. Namun, kalau pindah ke pulau yang jauh, tentu ia tak akan bisa seperti itu lagi.
