Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Mantan?

Agung yang kembali bekerja usai jumatan merasa hati tak nyaman. Ia kecewa sang istri tak izin bekerja di luar. Meski itu usaha milik orang tua sendiri, paling tidak dengan menyampaikan padanya ia akan merasa dihargai sebagai suami.

Sepulang mengantar penumpang sore ini, pria berwajah manis ini melintasi arah kantor Modern Land Property. Ia sengaja berhenti di halaman ruko, seberang kantor Clara. Duduk di motornya, sembari menunggu dihubungi penumpang.

Tak lama, terlihat perempuan ber-blazer peach, berpadu celana panjang jeans keluar dari kantor berlogo ML tersebut. Clara, bersama seorang lelaki tinggi yang membukakan pintu Pajero untuknya.

Wajah Agung menegang, dadanya dirasa tertekan sesuatu besar. Ia gegas mengikuti kendaraan itu.

Agung terhenti di kejauhan, saat melihat arah mobil menuju proyek baru sang bapak mertua. Dari obrolan Bahranudin ia pernah dengar, kalau MLP tengah bekerjasama dengan salah satu property lain membangun area Prima Family--sebuah kompleks rumah elite di kota ini.

Perempuan yang memang pandai bicara, sesuai dengan jurusannya kuliah dulu, menjelaskan sambil menunjuk sekitar pada pria di sebelahnya.

Agung tak mungkin mendatanginya. Istri yang masih berbodi ala perawan tersebut tampak benar-benar bekerja. Justru ia lah yang merasa malu menguntit begini.

Meninggalkan tempat itu, Agung kembali menerima penumpang dua orang berturut-turut.

Jika penumpangnya berpakaian rapi ala kantoran ia banyak bertanya, 'apakah ada lowongan yang bergaji lumayan?' tak lupa sedikit promosi tentang pekerjaan lamanya dengan tanpa bernada sombong. Ia katakan hanya sedang butuh pekerjaan yang lebih baik.

Sangat sulit mencari gaji besar seperti yang dulu didapat di Agro. Paling-paling kalau di kantoran hanya dapat 5 jutaan per bulan, masih kalah besar dengan hasilnya sekarang. Walau ngojek terlihat seperti pekerjaan rendahan di mata mertua, rezeki Agung termasuk cukuplah lancar. Pelanggan tetap sudah lumayan. Ada yang royal juga dengan tak mengambil uang kembalian darinya.

Agung pernah dapat 500 ribu sehari. Walaupun penghasilan tak tentu, tapi setiap hari pastilah ia bawa hasil tak kurang dari 100 ribu.

Lebih disyukurinya lagi adalah ia tak pernah bermasalah dengan kesehatan, sehingga bisa tiap hari bekerja tanpa absen.

☕☕

“Kenapa gak bilang mas kalau kamu sudah kerja, Sayang?” Saat malam, sebelum keduanya tidur, Agung mengajak istri bicara.

“Emangnya kenapa? Belum juga aku gajian sudah nanya-nanya,” sahut Clara dengan nada tak nyaman.

“Cuma nanya. Kenapa tidak bilang dulu? Mas kan suamimu. Harusnya apa-apa itu kita bicarakan.”

“Bapak sibuk ngurus pembangunan ruko, makanya aku yang ditunjuk bantuin proyek baru ini. Jelas?” Clara membaringkan badan, bersiap tidur.

“Mas akan berusaha lebih keras biar kamu tak capek ikut kerja." Istri pulang lebih larut darinya tadi, itu yang membuat Agung merasa tak enak hati.

“Kamu mau larang aku kerja, Mas?! Emangnya mau kerja apa biar dapet uang banyak?" Emosi Clara tersulut.

“Mas sedang pikirkan."

"Mikir doang bisanya. Cuman Agro Jaya yang mau terima orang lulusan kuliah online. Status sarjana dari universitas abal-abal, siapa yang mau terima? Apalagi dengan gaji gede? Mana ada!”

"Ya, saya memang sarjana aba-abal. Tapi saya tak pernah absen kasih kamu dan anak-anak nafkah, Ra.” Mata Agung memerah menatap wajah Clara yang melengos padanya. Sudah tak ada manis tersisa seperti dulu.

“Eh! Ngasih uang seuprit aja perhitungan! Kalau nggak ikhlas ngasih, ntar kuganti kalau sudah gajian!”

“Saya bukannya tidak ikhlas."

“Trus apa? Apa?! Uang segitu beli lipstick aku aja nggak bisa, Mas. Apa yang aku pakai itu harus yang mahal. Kalau ngikutin gaya kamu terus, lama-ama aku bisa kayak gembel!”

“Astaghfirullah. Istighfar, Ra. Hidup itu berputar. Mas akan berusaha-“

Buk! Pukulan guling tepat mengenai wajah Agung, menghentikan kalimatnya.

“Udah deh, diam! Gak usah pake janji janji! Buktiin aja Mas bisa kasih aku nafkah kayak dulu. Kalau kurang dari itu, sori!” Lagi-lagi malam ini Clara meninggalkan kamar.

‘Kenapa kamu jadi sekeras itu, Ra ...?’

Agung butuh air hangat untuk melancarkan darahnya yang dirasa membeku. Sampai di dapur perutnya dirasa keroncongan, baru ingat sejak tadi pulang kerja ia lupa belum makan.

Kalau sisa makanan sudah dimasukan kulkas saat tiba di rumah, maka ia tak nyaman memanaskan, ibu mertua pernah marah saat ia menyalakan kompor malam hari.

Kadang lelaki ini makan Sego Kucing sebelum pulang, sayangnya tadi terlupa karena sibuk isi pikirannya.

Ia memanaskan air di teko listrik, bermaksud menyeduh mie kuah saja.

“Ngapain kamu malam-malam di dapur?” Papa mertua tiba-tiba muncul dari pintu belakang, melihatnya penuh selidik.

Agung tak menjawab, matanya salah fokus pada sesuatu di balik depan sarung lelaki usia 56 tahun itu. Si Junior berdiri, dan ada cetak basah pada sarung coklat yang dipakainya.

“Kamu itu ditanya malah bengong! Dasar tolol!” Vicky Bahranudin menutupi gugup, setelah mendapati tatapan menantu jatuh pada depan sarungnya, lelaki berkumis tipis itu mengomel sembari tergopoh meninggalkan dapur.

“Ngapain Papa dari luar?” gumam Agung seraya melirik pintu. Itu arah menuju deretan kamar dua orang pembantu rumah ini. Mereka memang tinggal terpisah dengan rumah utama.

“Kamu, ya, memang menantu tidak tau diri! Malam-malam bikin ribut saja!” Nenek lampir, eh, Susana—si ibu mertua malah muncul dengan wajah merah. Mencabut colokan listrik dan melempar mie yang tengah Agung pegang.

“Bisanya makan aja! Duit memang berapa kamu kasih ke anak saya?! Kayak kerja capek setengah mati tapi tidak bawa apa-apa!”

Agung menahan napasnya yang tersengal. Sungguh, seemosi apa pun ia tak mungkin memukul wanita yang bagai memergokinya seperti pencuri saat ini.

Matanya hanya menatap bongkahan mie yang berserakan di lantai, sementara telinga sengaja ia tulikan. Cacian, jenis hewan-hewan di kebun binatang kini ditujukan padanya.

“Kalau tidak bisa tidur mending sana narik lagi! Ngojek! Biar pulang bawa duit banyak!” ujar wanita itu mengakhiri kemarahan sembari berbalik.

Agung tak mau menatap punggung ibu mertua yang melenggang pergi, jika itu dilakukan ia yakin akan ada kebencian dan amarah juga di hati. Biarlah, ia anggap Susana adalah ibu kandungnya, yang hanya marah sebentar, lalu kemudian lupa.

Bukankah ibu kandung tak akan menyimpan dendam pada putranya?

“Ibu marah lagi, Mas?” suara Erine muncul saat Agung memungut bongkahan mie di lantai.

“Biasa, Rine.”

“Oh, Mas Agung mau makan mie? Kebetulan Erine juga mau. Sini biar Erine yang masak.”

Agung mengambil sapu. Ia melihat Erine dengan santai menyalakan kompor listrik, dan memasang panci kecil di atasnya.

“Tenang, Mas Agung. Ibu nggak pernah marahin aku,” ujar Erine dengan senyum manis.

Agung tahu, di rumah ini meski sayang juga pada Clara, mertuanya jauh lebih sayang pada Erine. Semua mudah diberikan, termasuk mobil untuk hadiah ulang tahun mahasiswi ini tiga bulan lalu.

Jika mendengar se tan berbisik, ingin Agung menggaet saja si adik ipar, memberi pelajaran untuk mertua juga Clara yang cuek padanya. Erine sangat ramah, dan satu-satunya yang tak pernah memandangnya rendah. Sikap gadis itu juga sangat santai membuat orang di dekatnya nyaman.

“Itu buang aja, udah jatuh. Ntar Mas Agung sakit perut lagi.” Erine mengambil mie baru. Sosis juga bakso dari dalam kulkas ia potong. “Mas mie kuah atau goreng?”

Usai menyimpan sapu dan serok Agung duduk di kursi makan. “Kuah. Tidak usah pakai apa-apa punya saya, Rine.”

“Alaah, malu-malu. Pokoknya apa yang Erine bikin harus dimakan. Mas Agung kan kerja berat, makannya harus banyak.”

Agung hanya diam, menunggu makanannya selesai dimasak, setelah makan nanti ia akan cepat kembali ke kamar. Godaan kerap berkeliaran di kepala saat begini, ia tak mau malah berbuat tak pantas pada iparnya nanti. Bagaimana pun ketusnya sifat Clara, Agung tetaplah tipe pria setia.

“Mas cinta nggak sama aku? Mas nggak akan tinggalin aku ‘kan?” Begitu posesif dulu pertanyaan Clara ketika malam pertama mereka.

“Kalau nggak cinta kita nggak nikah, dong, Sayang.”

“Artinya Mas cinta?"

Agung mengangguk.

"Mm, aku juga cintaaa banget sama Mas Agung. Kemana Mas bawa aku pasti ikut.”

Indahnya masa awal pernikahan yang ia dan Clara reguk saat itu. Istri yang begitu manja dan memujanya. Berbeda dengan Clara saat ini.

“Mas! Ih, kok, ngelamun? Itu mienya udah jadi lho, ntar ngembang lagi.” Suara Erine membuyarkan lamunan Agung.

“Eh, iya, makasih, Rine.”

“Masama, Mas Agung. Makan gih! Mas, jangan banyak pusingin Mbak Clara. Sifatnya emang gitu. Tapi Mas, Erine ingatin harus hati-hati. Istrinya dijagain, jangan dianggurin, hehee. Soalnya Erine denger di kantor kadang ada mantannya Mbak Clara dateng, loh.”

“Uhuk! Uhuk!!” Agung tersedak kuah gurih berbumbu pekat kari. Beberapa saat ia terbatuk, dan baru terhenti setelah meminum air yang Erine sodorkan.

“Sori, bikin kaget, ya, Mas? Erine cuman ngingatin.”

Agung mengusap muka dan matanya yang dirasa basah. Ia pun kemudian meminta Erine katakan seberapa yang ia tahu tentang mantan Clara itu.

Apa yang disampaikan si ipar kemudian membuat selera makannya menghilang.

Benarkah perubahan Clara ada hubungannya dengan si mantan itu? Apa selama ini menolaknya di tempat tidur karena ada orang lain di hati sang istri?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel