Bab 2 Penolakan
Pukul 20. 25 Agung pulang.
“Assalamualaikum.”
“Ayah! Ayah datang!” Kayla Adzania langsung menyambut. Lari menghampiri dan memeluk kakinya.
“Jawab waalaikumsalam, dong, sayang ayah.” Agung menunduk, mengusap kepala anak itu penuh cinta.
“Waalaikumsalam, Ayah.”
“Masyaallah anak ayah hebat. Jam segini belum bobo?"
“Kay nunggu Ayah.”
"Oh, gitu." Agung mendekati Clara yang tengah duduk di ruang itu juga, mengulurkan tangan dan disalim dengan tanpa semangat.
“Halo, Dek Ega.” Agung mengusap sesaat kepala bayi 5 bulan, yang dipangku baby sitter di sebelah sang istri.
Meski ada mama papa mertua juga di ruang ini, Agung tak menyalim mereka.
“Jangan cari muka! Tugasmu itu cukup kerja yang benar! Bahagiakan anak cucu kami. Bukan bermanis-manis!” Kalimat papa mertua hari itu selalu Agung ingat, ketika awal pulang ngojek, dan dua orang tua tersebut menolak ia salim.
Bahkan kehadiran dirinya saja saat ini seolah tak terlihat, mata pasangan pengusaha perumahan dan ruko itu hanya fokus melihat layar televisi 75 inci, persis layar bioskop, yang tengah menayangkan sinetron Indonesia.
“Ayah, Kay punya celita. Ayah mau dengal?”
Kayla minta gendong, begitu Agung angkat tubuhnya tangan mungil itu langsung menggelayut manja di leher, dan bicara tepat di depan wajahnya. “Cerita Kay bagus, deh, Ayah.”
“Oya? Hm, kalau Ayah mandi dulu baru dengar, gimana? Nanti Kay boleh lama ceritanya."
Kayla mengangguk-angguk. “Ya, Ayah.”
"Oke, Kay tunggu dulu, ya.” Agung mengecup pipi Kayla, lalu menurunkannya.
“Oke, Ayah. Kay tunggu Ayah.”
Senyum Agung merekah pada putri ceriwisnya itu. Kemudian ia meninggalkan ruang keluarga menuju kamar.
Saat pulang kerja, pertama ia lakukan adalah menghitung hasil kerja tadi, lalu uangnya ditaruh di laci meja rias sang istri, menyisakan beberapa puluh ribu saja untuk uang bensinnya esok hari.
Agung tidak mengojek resmi. Ia beriklan mandiri dengan menyebar brosur dari rumah ke rumah. Siapa tahu mereka butuh ojek. Selama hampir hampir setahun ngojek ia sudah punya puluhan pelanggan tetap.
Uang 200 ribu masih mampu ia berikan untuk pegangan istri perhari. Jauh lebih sedikit memang dari pemberiannya dulu, mungkin itulah sebabnya sang istri makin bersikap dingin padanya.
☕☕
Pukul sepuluh malam. Setelah putrinya tertidur, Agung yang barusan jadi pendengar cerita Kay--tentang mainan, dan teman bermainnya--perlahan beranjak untuk kembali ke kamarnya dan istri.
Clara tampak juga sudah nyenyak.
Sudah berbaring, Agung tak bisa memejamkan mata. Ia menoleh sesaat pada punggung istri yang membelakanginya.
Usianya dengan Clara terpaut hampir 9 tahun, mereka dulu pacaran setahun sebelum menikah. Perkenalan mereka cukup manis.
Ia yang sudah menjadi manager kebun kala itu dikirimi surat oleh seorang mahasiswi, teman dari salah satu rekan kantor. Awalnya tak ia tanggapi karena dikira hanya bercanda, tapi ternyata Clara serius menyukainya.
Gadis itu bahkan meminta nomor telepon, dan menghubunginya beberapa kali dalam seminggu. Begitu ada kesempatan bertemu, siapa juga tak tertarik pada fisik gadis berkulit putih, dan berbodi sempurna, wajahnya pun sekilas mirip artis Celine Evangelist4, kata orang-orang. Suara Clara juga manja menggoda.
Saat mereka menikah Clara masih kuliah di semester 7. Keputusan yang sempat ditentang, mengingat Agung bukanlah pengusaha, ia hanya dianggap karyawan oleh kedua mertuanya.
“Ra ….” Agung terdesak rindu pada wanitanya. Ia merengkuh pinggang istri perlahan, sembari bergeser merapat.
Mencium wangi segar bunga di rambut Clara seperti ini, mampu melepaskan penatnya di jalan seharian.
“Uh! Apaan sih, Mas? Ganggu aja!” Clara tersentak bangun, menggeliat, melepas tangan Agung dari perutnya. Ia berbalik dengan tatapan sangat terganggu.
“Mas pengen, Ra ... kita sudah lama nggak.”
“Aku capek!” Pemilik wajah bulat telur, berdagu lancip itu mendengkus, seraya berbalik membelakangi lagi. Kali ini memberi jarak lebar, sampai posisinya tersudut di pinggir ranjang.
“Ra …?” Agung kembali menggapai pinggangnya.
Tergeragap Clara duduk dengan tatapan marah.
"Aku bilang lagi capek, Mas Agung Sulistyo! Paham?” dampratnya dengan mata melotot tajam.
Agung yang merasa tersinggung pun duduk. “Ra, saya suamimu. Saya punya hak untuk-“
“Hak apa? Aku juga punya hak 'kan nolak? Aku lagi nggak mood!”
“Kamu cukup diam saja. Sudah hampir tiga bulan saya nahan, Ra ...."
Clara mendelik. “Kasih aku minimal lima ratus ribu lagi sehari! Baru kita bikin anak!” ujar perempuan itu sembari bangun, dan meninggalkan kamar.
Tertinggallah Agung menarik napas panjang, juga mengusap wajah yang kecewa.
Karena kurang terpenuhinya masalah ekonomi istri sudah berubah dingin. Selama pindah di rumah mertua ini Clara melayaninya hanya dalam hitungan jari.
Agh! Agung menahan pusing mendera. Ia keluar kamar untuk mengambil minum di dapur. Istrinya sudah tak terlihat, mungkin sudah melanjutkan tidur di kamar Kayla.
Saat meneguk air, mata Agung tak sengaja tertuju pada Erine—adik kandung Clara--yang menuju dapur sambil mengikat rambutnya. Pakaian tidur gadis 21 tahun itu memang panjang, tapi bentuk badannya tetap tampak, Agung lekas menunduk pandangan.
“… Mas Agung haus juga?” tegur gadis itu santai. Suaranya serak karena sisa kantuk.
Mata Agung masih tertuju pada meja, saat melirik napasnya dirasa terhenti, melihat Erine membungkuk mengambil minuman di kulkas. Saat otaknya masih diselimuti hasrat, setan pun makin membuka peluang dosa matanya.
“Astaghfirullah …!” Agung segera menyadarkan dari pikiran kotor, dan gegas kembali ke kamar.
☕☕
Hari Jumat, seperti biasanya Agung pulang lebih cepat. Ia sudah di rumah jam sepuluh siang, bersiap untuk jumatan di masjid terdekat.
“Mas Agung, Baby Ega tadi nangis kenceng banget. Aku sama Mbak Nuri sampe bingung nenangin,” lapor Erine yang duduk di ruang tengah.
“Mbakmu mana?” Agung menyimpan sepatu di rak.
“Mas nggak tau? Mbak Clara kan kerja di Modern Land.” Erine menyebut nama kantor property milik orangtuanya.
Kening Agung langsung mengernyit. “Kerja di sana? Dari kapan?” Sejak menikah, hingga putus kerja, papa mertua saja tak pernah menawarkan ia bekerja di sana. Mereka bilang, kalau ia dan Clara harus bisa cari usaha sendiri.
“Baru beberapa hari ini.” Erine menjawab dengan mata tak lepas dari buku di tangannya. “Emangnya Mbak Clara nggak bilang, ya, Mas? Kok, bisa gitu, sih, suami istri nggak saling terbuka. Mas Agung nggak tanya-tanya kali?”
“Mas ke kamar dulu," ujar Agung sambil berlalu ke arah kamar.
“Yah, Mas Agung kurang peka. Mbak Clara tuh kelihatan kalau minta diperhatiin lebih, Mas!”
Tak ia hiraukan kalimat Erine.
