Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia Merlin - 5

Belum sempat aku menarik napas lega, tiba-tiba Hafiz sudah berdiri di belakangku. Tangannya melingkar di pinggangku, membuatku hampir menjatuhkan piring yang masih kupegang.

“Hafiz… jangan sekarang,” bisikku panik.

Dia justru menempelkan bibirnya di leherku, hangat, penuh nafsu. “Aku kangen semalam… belum puas,” suaranya rendah, hampir seperti geraman.

Aku meronta kecil, “Tapi… gordeng dan jendela terbuka, Fiz! Kalau ada tetangga lewat gimana?”

Dia hanya terkekeh pelan, matanya liar tapi penuh manja. “Biarin… kita pelan aja. Aku nggak tahan lihat kamu kayak gini, Mer.”

Aku benar-benar panik. “Ih aneh, katanya santi kok buas!”

“Sttt santri kan masa lalu, hehehe.” Desahnya sambil meremas lembut vaginaku.

Aku makin panik, ruang tengah tempat Hafiz mendekapku masih terbuka ke arah jalan kecil di samping rumah. Gorden tipis berayun pelan diterpa angin, jelas sekali dari luar bisa terlihat bayangan kami.

“Fiz, tolong… kalau ketahuan gimana?” suaraku bergetar, antara takut dan terbakar oleh dekapan eratnya dan elusan tangannya yang sudah makin nakal. Tubuhku gemetar hebat.

Dalam sekejap celana dalamku sudah melorot hingga ke mata kaki, membuatku hampir tersungkur karena panik. Sementara itu, celana trainingnya pun sudah tergeletak di lantai. Tangannya menekan pundakku, hingga aku membungkuk di sandaran kursi kayu tua.

“Astaga… Hafiz, jangan di sini… jendelanya kebuka!” bisikku terbata, separuh protes, separuh merintih karena tangannya tak henti mengelus vaginaku.

Namun tanpa basa-basi, tubuhnya sudah merapat di belakangku, batangnya yang tegak dan panas langsung menerobos keras dalam vaginaku dari belakang. Aku hampir berteriak, namun hanya bisa menahan dengan menggigit bibir, sampai suara lirih lolos begitu saja.

“Hafiiiiiiiz…” Suaraku terdengar begitu tipis, tertahan, namun justru membuat tubuhku semakin gemetar. Aku ingin menahan, tapi panas tubuhnya yang menempel erat membuat seluruh logikaku luluh.

Ranjang kayu di kamar semalam masih bisa menutupi suara dengan berderitnya, tapi kursi kayu di ruang tengah ini berbeda, setiap gerakan terasa lebih berbahaya, lebih terbuka. Suara kain bergesek, desah tertahan, bahkan bayangan kami yang samar terlihat dari jendela membuatku benar-benar dilanda kepanikan.

“Hafiz… jangan keras-keras… ada orang lewat nanti…” bisikku terburu-buru.

Dia mendekap pinggangku lebih erat, suaranya rendah di telingaku, “Sttt… tenang aja, Sayang. Kita main cepat… aku nggak kuat lagi.”

Tubuhku makin bergetar, setengah karena takut, setengah karena gelombang nikmat yang tak bisa kucegah sama sekali.

Akhirnya tubuhku tak lagi melawan, mengikuti setiap ritme liarnya. Napasku terengah, pinggulku yang nungging bergerak menyesuaikan hentakan Hafiz yang makin gencar dari belakang.

Tangannya menarik kepalaku, membuatku menoleh, lalu bibir kami bertemu dalam ciuman basah yang menahan desahan agar tidak pecah ke udara. Ciumannya brutal, penuh gairah, bercampur dengan desakan tubuhnya yang semakin menggila.

Aku hampir tak sanggup bernapas, tapi justru itulah yang membuat tubuhku makin terhanyut. Sensasi yang kurasakan pagi itu benar-benar berbeda, lebih liar, lebih bebas, lebih menantang.

“Mer, memek kamu enak banget.... aku gila sama kamu,” bisiknya di sela ciuman, suaranya nyaris tak terdengar namun membuatku semakin lemas.

Sementara itu, pikiranku berkecamuk. Setiap kali kursi berderak keras, setiap kali tubuhku terdorong maju hingga nyaris menabrak meja, aku takut setengah mati. Kalau ada orang lewat… kalau ada yang mendengar… habislah aku.

Dan anehnya rasa takut itu makin membuat seluruh tubuhku seperti terbakar. Ketegangannya tak tertahankan, membuat setiap hentakan genjotan Hafiz, terasa berkali lipat nikmatnya dan tadi malam.

Aku tak lagi bisa berpikir jernih, seluruh diriku hanya tenggelam dalam ciuman panas dan genjotan liar Hafiz yang membuatku hampir pingsan oleh gelombang sensasi.

Dan tubuhku langsung kaku begitu terdengar suara riuh ibu-ibu yang lewat di depan rumah.

Suara sandal mereka menyeret di tanah, disertai obrolan riang khas pagi buta. Hafiz sigap menarik batangnya dari vaginaku, lalu mundur dengan langkah terburu-buru ke dekat lemari. Wajahnya pucat tapi matanya masih menyala penuh adrenalin.

Aku berdiri kaku di ruang tengah dengan napas masih berantakan, bajuku kusut, rambut acak-acakan, sementara celana dalamku tergeletak di lantai, melorot di dekat kaki kursi. Aku menunduk cepat, mencoba merapikan, tapi justru rasa panik makin menelanku.

Bi Ani, tetangga yang cerewet itu, tiba-tiba menoleh dari luar pagar.

“Merliiiin… eh ada Merliiiin!” teriaknya riang sambil melambai.

Darahku seakan berhenti mengalir. Aku tersenyum kaku, gelagapan.

“I-iya, Bi… pagi…” suaraku bergetar.

Dari pojok mataku bisa melihat Hafiz masih jongkok di dekat lemari, bagian bawah tubuhnya masih telanjang, buru-buru ia meraih celana trainingnya.

“Kapan pulang, Meeeer. Lagi ngapain? Baru bangun ya? Hahaha, tidur terus, nanti rejekinya dipatok ayam lho!” Bi Ani terkekeh, sementara dua ibu lainnya ikut menoleh, melambaikan tangan.

Aku nyaris pingsan saking gugupnya. Celana dalamku masih tergeletak di lantai! Dengan cepat aku menendangnya ke bawah meja, lalu berlari kecil ke pintu depan, berusaha menutupi pandangan mereka ke dalam rumah.

“Eh, mari mampir dulu, Bi…” ucapku asal, sambil menutup setengah daun pintu. Dalam hati aku berdoa, jangan sampai mereka melangkah masuk, jangan sampai mereka melihat Hafiz di balik lemari yang masih panik setengah mati.

"Ah, gak usah Mer, Bibi mau panen di sawahnya Pak Hasan. Neng Erina juga ada, mau ikut ke sawah. Merlin mau ikut gak?" Bi Ani berteriak dari balik pagar.

"Oh iya, nanti deh kalau udah beres, nyusul, udah lama juga gak ketemu Erina," jawabku basa-basai.

"Ya udah, Bibi berangkat dulu ya. Daah Merlin cantiiiik.." Bi Ani ganjen melambay pergi laksana Harimau Malaya.

Aku menarik napas lega begitu Bi Ani dan ibu-ibu lainnya berjalan menjauh, obrolan mereka makin lama makin samar di telingaku.

“Ya Allah…” aku langsung bersandar di pintu, keringat dingin mengucur dari pelipis. Lututku lemas seakan tak sanggup menopang tubuh.

Hafiz muncul dari balik lemari, wajahnya merah padam, celana sudah kembali terpasang tapi rambutnya masih berantakan, namun gantengnya makin maksimal. Ia menatapku dengan senyum getir.

“Nyaris aja…” bisiknya pelan, lalu menahan tawanya yang tertahan-tahan.

Aku mendelik, setengah marah setengah lega.

“Kamu tuh gila, Hafiz! Bisa habis kita kalau ketahuan…” Aku memukul dadanya pelan, tapi justru itu membuatnya semakin tergoda.

Dia meraih tanganku, menarikku mendekat. “Tapi seru kan, Mer… rasanya beda. Jantungmu deg-degan, tubuhmu juga bergetar… aku tahu kamu menikmatinya.”

Aku memalingkan wajah, mencoba mengusir bayangan tadi, tapi entah kenapa dadaku ikut bergetar lagi. Bukan hanya karena rasa takut nyaris ketahuan, tapi juga sensasi liar yang tadi sempat menyala di tubuhku.

Daan begitu menoleh, mataku terbelalak. Hafiz sudah kembali memelorotkan celana trainingnya, batang rudalnya menegak gagah, berdenyut seolah menantangku. Ia duduk di kursi makan butut dekat jendela, lalu menepuk pahanya.

“Ayo sini… duduk sama aku.” Suaranya rendah, namun ada bara di dalamnya.

Aku refleks menutup wajah dengan kedua tanganku.

“Kamu gila ya, Fizzz…” bisikku, antara kesal dan malu. “Dasar santri mesum!”

Tapi entah kenapa, justru rasa hangat merambat di tubuhku, membuat langkahku pelan-pelan mendekatinya.

Dan dengan tangan yang agak gemetar, aku mengangkat perlahan dasterku sampai ke pinggang, membuat Hafiz mendesah lirih penuh gairah lapar.

“Ya ampun, Mer… cantik banget memek kamu,” bisiknya sambil meraih pinggangku.

Akhirnya aku duduk di pangkuannya, tubuhku langsung tersentak saat batangnya menempel tepat di bibir vaginaku yang sudah basah..

“Fiz… jangan di sini, nanti ada yang lihat…” suaraku gemetar. Tapi tanganku justru melingkar di lehernya, dan bibirku tak bisa menolak ciumannya yang rakus.

“Turuninnya pelan-pelan, Sayang… biar terasa,” bisiknya tepat di telingaku, membuat bulu kudukku meremang.

Dengan tangan bergetar, aku memegangi batangnya, menuntunnya tepat ke lobang vaginaku. Tubuhku bergetar, mulut kami kembali saling berciuman rakus dan penuh nafsu menutupi ketegangan.

Perlahan, aku menekan tubuhku turun. Napasku tercekat, tubuhku serasa tersayat tapi sekaligus dipenuhi arus panas yang tak bisa kutolak. Aku menggigit bibirnya, berusaha menahan suara yang hampir pecah.

Hafiz mendesah berat, tangannya mencengkeram pinggangku erat-erat.

“Ya Tuhaaaan, Mer… enak banget memekmu… pelan aja, biar kita sama-sama nikmatin,” suaranya serak, seperti menahan gejolak.

Aku menggeliat, mengatur napas, sedikit demi sedikit membiarkan vaginaku menelan penuh batangnya. Masih ada sedikit rasa sakit bercampur dengan sensasi yang menghanyutkan, membuatku tak sadar aku sudah bergerak naik-turun perlahan.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel