Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia Merlin - 4

Beberapa detik yang terasa seperti keabadian itu membuat dunia benar-benar hanya milik kami berdua. Tubuh kami terkulai lemas, napas terngah-engah, namun tubuh masih saling terikat. Keringat bercampur dalam pelukan yang panas, nyaris membuatku lupa kalau semua ini terjadi di rumah orang tuaku yang hanya berjarak beberapa langkah saja.

Tubuhku masih gemetar ketika akhirnya Hafiz merebahkan dirinya di sampingku. Napas kami sama-sama tersengal, tapi matanya tetap menatapku penuh cinta.

Perlahan, dia menunduk mencium keningku, lalu bibirnya bergerak turun ke pipi, ke leher, hingga dadaku. Setiap sentuhannya terasa lembut, seperti ingin menghapus jejak sakit dan tegang yang barusan kualami.

“Terima kasih, Sayang… kamu sudah memberikan aku yang paling berharga dalam hidupmu,” bisiknya lirih di telingaku dalam suara bergetar.

Air mataku menetes lagi, kali ini bukan karena sakit, bukan pula karena takut, tapi karena bahagia yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku menutup wajahku di dadanya, menangis pelan. Hafiz hanya mengusap kepalaku lembut, mencium rambutku sambil berulang kali berkata,

“Aku cinta kamu, Mer… selamanya dan aku akan bertanggung jawab.”

Dalam dekapannya, aku merasa aman. Malam itu, untuk pertama kalinya aku bukan hanya merasa diinginkan, tapi juga dimuliakan dengan cinta yang hangat oleh lelaki pujaan hatiku.

Tak berapa lama, samar-samar terdengar azan Subuh dari kejauhan. Suara itu menembus hening malam, seperti sebuah panggilan yang menyadarkan kami dari dunia kecil yang baru saja kami ciptakan.

Hafiz menatapku sebentar, senyumnya tipis namun hangat. Dengan pelan, dia mengecup bibirku sekali lagi, lalu bangkit dari ranjang.

Gerakannya hati-hati, seolah takut menimbulkan suara. Aku hanya bisa menatapnya. Tubuhku masih lemas, hatiku terasa kosong karena harus berpisah bahkan hanya untuk beberapa langkah.

Dia meraih celana dan bajunya, lalu beringsut keluar kamar.

Saat pintu tertutup perlahan, hatiku mendadak terasa hampa. Kasurku yang tadi hangat seketika berubah dingin dan sepi.

Aku menarik selimut, memeluknya erat, masih bisa mencium samar wangi tubuhnya dan spermanya yang tertinggal.

Air mataku menetes lagi, kali ini bukan karena sakit ataupun bahagia, tapi karena rasa rindu yang begitu cepat menghantam, padahal dia baru saja pergi ke ruangan sebelah.

Kudengar langkah pelannya menuju kasur di ruang tengah. Setelah itu hening kembali, hanya suara azan yang bergema, lalu disusul kokok ayam yang memecah dini hari.

Dari balik selimut aku masih pura-pura terlelap, padahal telingaku jelas mendengar suara dari dapur. Ibu sudah sibuk menyalakan kompor, suara wajan beradu dengan sendok kayu, aroma bawang tumis perlahan masuk ke kamarku.

Di sela-sela kegiatan ibu, samar kudengar ia bergumam sendiri.

“Kasihan Nak Hafiz, semalam pasti kedinginan tidur di ruang tengah. Anak sebaik itu kok mau repot-repot ikut Merlin ke kampung…” Suaranya penuh iba, tulus dari hati seorang ibu.

Aku tersenyum tipis di balik bantal. Andai saja ibu tahu semalam tubuh Hafiz malah bermandikan keringat memeluk dan menenggelamkan anak perawannya dalam kebuasannya.

Senyumku makin sulit kutahan, tapi aku buru-buru menutup mulut dengan bantal agar tak terdengar.

Di ruang tengah, samar kudengar suara Hafiz bangun. Ia berdeham pelan, lalu menyapa ibu dengan sopan.

“Selamat pagi, Bu…” Nada suaranya ringan, seolah semalam ia benar-benar tidur nyenyak tanpa gangguan.

Ibu langsung menyambut ramah, “Pagi, Nak Hafiz. Maaf ya kalau semalam kedinginan, semoga nggak masuk angin…”

Aku menggigit bibir, menahan geli sekaligus deg-degan. Rasanya aku ingin meloncat keluar kamar, memeluknya lagi, tapi aku harus menahan diri. Ada peran yang harus kujalani: anak manis yang baru bangun, tak tahu apa-apa.

Akhirnya aku membuka mata perlahan, pura-pura baru terbangun. Kubenarkan rambutku sebentar, lalu keluar kamar dengan langkah malas sambil mengucek mata.

Di ruang tengah kulihat Hafiz sudah duduk rapi, menyapa bapak yang baru pulang dari masjid. Senyumnya tenang, seolah semalam tak terjadi tsunami di kamarku. Dadaku langsung berdebar, ingatan hangat semalam menyeruak begitu saja.

“Waduh ini perawan ibu, baru bangun,” sapa ibu sambil meletakkan piring berisi tempe goreng di meja.

Aku hanya mengangguk, “Iya, Bu… habis semalam dingin banget,” lalu melirik sekilas ke arah Hafiz.

Dia menatapku sebentar, ada kilatan nakal di matanya yang hanya bisa aku tangkap seorang. Senyumnya tipis, seolah berkata: ‘Siapa yang telah menjebol perawanmu, Sayang?’

Pipiku langsung panas, buru-buru aku mengalihkan pandangan.

“Tidurmu nyenyak, Mer?” tanya bapak ramah.

Aku tersenyum kaku, “Iya, Pak… nyenyak sekali.” Dalam hati aku nyaris tertawa, karena hanya aku yang tahu betapa tidak tenangnya tidurku semalam.

Hafiz ikut menimpali dengan suara tenang, “Alhamdulillah, saya juga tidur nyenyak, Pak. Rumah ini benar-benar nikmat dan nyaman.”

Ibu langsung menimpali, “Padahal di ruang tengah, dingin, lho…”

Aku hampir tersedak ludahku sendiri mendengar kalimat itu. Hafiz cepat menyambung dengan nada bersahaja, “Ah, saya malah suka, Bu. Jadi segar rasanya bangun pagi ini.”

Aku meliriknya lagi, kali ini tak bisa menahan senyum kecil. Kami berdua tahu betul: kesegaran yang ia maksud bukan hanya karena udara malam. Lalu kami pun sarapan bersama, walau hanya cuci muka di kamar mandi.

Belum lama setelah sarapan, terdengar ketukan keras di pintu.

“Assalamualaikum,” sapanya, suaranya jelas dan terdengar.

Sesuai dugaan itu adalah Ustaz Holil. Seorang tokoh agama namun terkenal tegas dan arogan, apalagi jika sedang menagih hutang. Baru saja dia masuk, jantungku langsung tak menentu, karena tahu apa yang akan dia bicarkan.

“Maaf Pak Jaya. Saya gak bisa basa-basi, datang ke sini buat nagih hutang yang tiga juta itu,” katanya. Matanya menatap ayahku penuh arti.

“Masalahnya gak ada waktu lagi, Pak Jaya. Uangnya mau saya dibeliin kambing qurban. Sebaiknya segera dilunasi.” Pungkasnya.

“Iya Pak Ustaz kami paham,” suara bapakku bergetar.

“Dan sebaiknya anak kamu ini segera dinikahkan. Jangan bawa-bawa lelaki dari kota apalagi sampai nginep. Bisa menimbulkan fitnah.”

Aku menelan ludah, merasa malu luar biasa. Hafiz duduk di sampingku, tatapannya tetap tenang, tapi ada sinyal di matanya: jangan khawatir, aku urus ini, Mer.

Bapak mencoba menjelaskan, “Pak Ustaz… saat ini kami sedang tidak punya uang tunai, tunggu sampai panen jagung bulan depan. Kami mohon bersabar.”

Ibu menambahkan dengan nada lembut tapi gugup, “Mohon waktu sebulan lagi, Pak Ustaz… kami akan lunasi secepatnya.”

Ustaz Holil menggeleng pelan, menatapku dan Hafiz.

“Terus apa gunanya anak kamu kerja di kota, kalau pulang tidak bawa uang. Mendingan dikaeinkan saja, biar ada yang nafkahi dan bisa bantu orang tua,” katanya sambil menatapku tajam.

Dadaku berdegup kencang. Aku ingin lari dari situasi canggung ini, tapi Hafiz menepuk lenganku, memberi sinyal agar tenang.

Hafiz tersenyum tipis, mengambil ponsel dari sakunya.

“Baik, Pak Ustaz. Saya minta nomor rekening Bapak, sekarang juga saya transfer semuanya,” katanya dengan suara tenang tapi mantap.

Ustza Holil lantas menyebutkan deretan nomor rekeningnya dan jari-jari Hafiz pun bergerak cepat, beberapa detik kemudian layar ponsel menunjukkan konfirmasi transfer berhasil.

Ustaz Holil menatapnya, awalnya terkejut, lalu tersenyum tipis. “Bagus, cepat dan rapi,” ujarnya, lalu mengangguk kepada ayah dan ibu. “Sekarang semuanya selesai. Anak muda ini memang bisa diandalkan.”

Bapak dan ibuku hanya menunduk, menahan malu pada Hafiz, juga mungkin bingung harus mengucapkan terima kasih dengan cara apa.

Aku menatap Hafiz dengan kagum, malu dan hangat. Ia bukan hanya penyayang, tapi juga sosok yang selalu tenang di tengah situasi yang bisa membuatku panik. Sekali lagi, aku menyadari, ia bukan sekadar kekasih, tapi pahlawan yang melindungi dan menenangkan keluargaku.

Setelah itu, Ustaz Holil pamit dengan langkah mantap, meninggalkan kami dalam keheningan yang terasa lebih ringan namun masih menyisakan canggung.

Aku menoleh pada Hafiz, hanya bisa tersenyum malu, sementara ia membalas dengan senyum hangat yang membuatku merasa aman, meski pipiku masih memanas karena canggung dan rasa kagum.

Tak lama setelah itu, Bapak dan Ibu bersiap berangkat ke sawah.

“Mer, jangan lupa jagain rumah. Kalau ada tamu, bilang kami di sawah,” pesan ibu sambil mengikat selendang di pinggang.

Bapak menepuk bahuku, lalu mereka berdua keluar dengan santai. Suara sandal bapak dan ibu menjauh, lalu hening.

Aku membereskan piring, sementara Hafiz duduk manis sambil merokok dan sesekali melempar senyum yang membuatku sulit menahan degup jantung.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel