Rahasia Merlin - 6
Kursi kayu tua berderit lirih mengikuti gerakan kami. Ketegangan dan sensasinya makin menjadi. Ini jauh lebih terbuka dari tadi. Sekali saja ada yang melintas dan menoleh ke jendela, tamatlah kami berdua.
“Mendesahlah, Sayang… please, aku ingin denger desahanmu,” bisiknya dengan suara berat, penuh permohonan.
Aku menatapnya sekilas, wajahnya memerah, matanya tajam menahan gejolak. Aku ingin menolak, takut terdengar sampai keluar jendela, tapi tubuhku sudah tak sanggup menahan arus yang menggila di dalamku.
“Fiiiz nikmaaat bangeeet,” desahku lolos, membuat Hafiz tersenyum puas. Tangannya menekan punggungku, mendorongku lebih rapat padanya, sementara pantatku makin berirama dalam bergoyang di pangkuannya.
“Ya, gitu… jangan tahan lagi, Cintaku…” katanya lagi, napasnya panas di telingaku.
Aku menggeliat, menggigit bahunya.
“Fiiiz keraaaas bangeeet....” Akhirnya desahan demi desahan keluar juga, terputus-putus di antara ciuman dan gigitan.
Kursi tua itu makin berderit, seolah ikut merasakan beban gairah kami yang semakin liar. Aku menekan bibirku ke pundaknya, menggigit kulitnya agar suaraku tidak terlalu keras. Tapi tubuhku berkhianat, setiap hentakan membuat desahanku lolos.
“Hmmhh… ahhh… gedeee bangeeet ssiiih...”
Hafiz mendongak, wajahnya memerah menahan nikmat. “Aku gila sama kamu, Mer… memekmu… ahhh…” suaranya berat, tercekat.
Tangannya menahan punggungku erat, sementara tanganku refleks meremas rambutnya, menariknya makin dekat. Panas tubuhnya menyelimutiku, dan setiap kali aku turun penuh di atasnya, aku merasa duniaku ikut bergetar.
“Fiz… aku… aku nggak kuat lagi…” aku berbisik, tubuhku gemetar, denyut itu makin tak tertahankan.
“Lepasin aja, Sayang… bareng…” balasnya, mengguncang tubuhku makin cepat.
Aku menggeliat, menekan wajahku ke lehernya, dan akhirnya tubuhku meledak. Gelombang hangat itu menyerangku tanpa ampun, membuatku hampir berteriak, tapi tertahan oleh gigitan di bahunya.
Hafiz pun tak bisa bertahan lama. Dengan geraman tertahan, dia mendekapku erat, tubuhnya menegang, lalu meledak bersama dalam pelukanku.
Kami sama-sama terkulai, masih duduk di kursi tua yang hampir ambruk, napas kami tersengal, keringat bercampur. Dia mencium keningku lembut, berbisik di telingaku,
“Aku nggak akan pernah lupa momen ini, Sayang…”
Aku hanya bisa menutup mata, masih merasakan denyut yang belum reda.
Belum sempat aku mengatur napas, dari luar terdengar suara sandal berderit melewati halaman. Jantungku langsung meloncat. Aku refleks menegakkan badan, menarik dasterku turun menutup pantatku.
“Bi Asiiiiih… ada di rumah nggak?” suara tetangga, samar-samar dari luar pagar memanggil ibuku.
Aku dan Hafiz saling pandang, wajah kami sama-sama panik. Hafiz buru-buru menarik celananya yang masih menggantung di lutut, tapi gerakan itu malah membuat kursi berderit keras. Aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku, nyaris ingin menangis karena takut ketahuan.
“Biii, tolongin kalau ada minyak goreng lebih, buat nanti sore, kirim ke rumah ya…” suara itu masih terdengar.
“Astaga… Hafiz, gimana ini?” bisikku terbata, tubuhku masih di pangkuannya.
Dia malah tersenyum kecil, memeluk pinggangku erat.
“Tenang, jangan jawab dulu. Nanti juga pergi sendiri.”
Napasnya masih berat, dan aku bisa merasakan batangnya yang belum sepenuhnya reda masih menempel erat pada vaginaku.
“Gila kamu, Hafiz… kalau ketahuan kita habis…” kataku gemetar, tapi dalam hatiku anehnya masih ada rasa enggan untuk menjauh.
Benar saja, beberapa menit kemudian suara langkah itu menjauh. Aku menunduk, napasku lega bercampur kesal.
Hafiz mencium bibirku sekilas, sambil tersenyum nakal. “Lihat? Aman kan… lagian, aku nggak bisa berhenti ngentotin kamu, Mer.”
Aku menunduk, wajahku memerah. Tanganku refleks menepuk dadanya pelan. “Dasar santi gila… kamu bikin aku hampir mati tahu!.”
Dia tertawa pelan, lalu meraih wajahku dengan kedua tangannya. Kali ini ciumannya berbeda, lembut, panjang, seakan ingin menghapus semua kepanikan tadi. Setelahnya dia berbisik,
Pelukannya begitu hangat, membuatku untuk sesaat lupa pada rasa takut. Yang tersisa hanya detak jantung kami yang masih berpacu kencang.
Kami akhirnya mandi bergantian, berusaha menutupi semua jejak kegilaan yang barusan terjadi. Air dingin yang mengguyur tubuhku terasa tak cukup untuk meredakan panas yang masih tersisa di dalam dada dan pikiranku.
Setelah makan dan mandi, kami kembali larut dalam kehangatan satu sama lain, kali ini tanpa terburu-buru. Sentuhan Hafiz lembut tapi tegas, membuatku hanyut dalam sensasi yang sudah lama kurindukan. Rencana pulangnya ke Tasik pun batal; ia tersenyum nakal seakan berkata, “Masih ingin bersama kamu malam ini.”
Malamnya kami tidur bebas berdua karena kedua orang tuaku sedang menjenguk kakakku yang baru melahirkan. Kesempatan itu memberi kami malam yang tenang, hanya kami berdua, laksana pengantin baru.
Keesokan paginya, Hafiz bersiap kembali ke Tasikmalaya. Pelukan terakhirnya lama, menyalurkan semua kehangatan malam sebelumnya, sebelum akhirnya ia pergi, meninggalkanku dengan rindu yang membuncah.
Aku benar-benar tak menyesal telah memberikan kehormatanku padanya, walau mungkin ini adalah pertemuan terakhirku dengannya. Kalau hamil bagaimana? Aku bahkan sudah siap dengan segala konsekuensinya.
Siangnya, saat aku melangkah ke warung yang biasanya sepi. Tapi hari ini suasananya berbeda; beberapa bapak-bapak nongkrong di teras, asyik mengobrol sambil menyeruput kopi. Begitu mata mereka menangkapku, suasana mendadak berubah.
Tatapan mereka seperti beralih, penasaran, penuh gairah, dan entah kenapa agak menuding, seolah mereka tahu sesuatu yang tak seharusnya. Aku otomatis menunduk, wajah panas, tangan memegang tas erat-erat.
“Eh, Mer… kok mukanya makin cerah ya? Kayak pengantin baru nih,” celetuk salah seorang di pojok, disambut tawa kecil teman-temannya.
Aku menelan ludah, berusaha tetap santai sambil mengambil beberapa barang. Tapi komentar-komentar ringan itu terus datang:
“Iya, iya… makin gemesin aja,”
“Hati-hati lho, jangan sampai ada yang kelewat liat,”
“Wah, aura kamu beda banget hari ini, Mer.”
Aku makin salah tingkah tak karuan, pipi panas, tangan gemetar, dan setiap gerakanku terasa diperhatikan. Suasana warung yang awalnya biasa kini terasa ramai, gaduh, tapi entah kenapa aku justru merasa tersanjung dan geli campur malu, seperti jadi pusat perhatian yang tak kuinginkan tapi tak bisa kuhindari.
Sebelum menuruni jalan setapak, bertemu Ustaz Holil. Matanya menatapku dari atas sampai bawah, tajam tapi penuh rasa ingin tahu. Ia mengenakan sarung, baju koko hitam, dan peci putih rapi, sosok yang langsung membuatku ingin muntah karena kearogannya saat menagih hutang.
Namun kali ini, sapaan Ustaz Holil terdengar hangat, sopan. Entah mengapa aku merasakan ada nada kagum dan… sesuatu yang lebih sulit kuartikan dalam setiap ucapannya. Aku bahkan merasa sedikit berdebar. Tatapannya tak bisa lepas dari lekuk tubuhku, seolah setiap gerakanku menarik perhatiannya lebih dari yang seharusnya.
Aku menunduk, mencoba tersenyum ringan sambil melangkah pelan, menahan rasa aneh yang merayapi seluruh saraf. Suasana yang semestinya biasa jadi canggung dan… ambigu, meninggalkan sensasi panas yang tak kuduga muncul dari pertemuan singkat itu.
Sampai di rumah, aku langsung berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku sendiri. Mataku menelusuri setiap lekuk, setiap garis wajah yang dulu kukenal. Benarkah aku telah berubah? Rambut, kulit, cara berdiri, semua terasa berbeda, lebih percaya diri, lebih memikat.
Senyum kecil muncul di bibirku, campuran heran, bangga, dan sedikit geli. Perubahan ini nyata, dan seolah membisikkan satu hal: Aku kini menyadari kekuatan pesonaku sendiri, dan bahwa aku bisa dicintai, bukan hanya karena tubuhku, tapi juga karena iner beautyku diriku.
Namun, di balik semua itu, ada rasa rindu yang terus menggelora, mengingatkan bahwa Hafiz telah meninggalkan jejak yang tak mudah dilupakan. Malam-malam hangat bersamanya, pujian lembut yang selalu membuat hatiku bergetar, atau sentuhan yang meninggalkan jejak hangat pada setiap sarafku.
Apakah benar semua perubahan ini karena Hafiz?
Hafiz Qurtubi, 23 tahun, asal Tasikmalaya, wajah khas Pasundan, bersih, teduh, dengan tatapan yang menenangkan dan senyum yang mampu meluruhkan resah.
Ia bekerja di sebuah factory outlet ternama di Bandung dan tinggal di kontrakan dekat kostku. Kehidupan sederhananya tak mengurangi kharisma alami yang ia pancarkan.
Sejak pertama kali bertemu, aku langsung terpikat, bukan hanya karena wajahnya, tapi karena alim, cara berpakaian rapi dan tutur katanya yang santun. Hafiz bukan tipe penggoda; keramahannya membuatku nyaman.
Hampir setiap pagi kami berjalan bersama menuju jalan raya sebelum dia naik angkot. Awalnya hanya sapa singkat, lalu obrolan ringan. Hafiz sering mampir ke kostku, kadang membawa jajanan atau lauk sederhana. Hingga akhirnya kami jadian.
Masih tak percaya, Hafiz yang kukenal alim, ternyata sangat nekat dan buas dalam bercinta.
Tapi sudahlah. Toh semua sudah berakhir. Jika benar ucapan Mbak Aulia, maka sebentar lagi Hafiz akan menjadi milik orang lain. Selanjutnya lebih baik aku fokus dengan diriku dan pelan-pelan melupakannya.
^*^
Jika menyukai cerita yang lebih panas tentang rumah tangga coba baca "DIGILIR SUAMI ORANG" cari saja di pencarian dan jangan lupa masukan ke daftar pustakamu.
